Wednesday, May 28, 2014

Macam-Macam Kesenian di Bali

Kesenian
Di Bali pada umumnya, upacara atau odalan tidak akan lengkap tanpa adanya hiburan baik yang ditujukan untuk kepentingan pemujaan kepada para Dewa, maupun yang bersifat entertain bagi para tamu atau masyarakat sekitarnya. Odalan di Pura biasanya merupakan malam penuh pentas berbagai macam bentuk kesenian yang berlangsung tiap malam dan terkadang berakhir sampai pagi hari.
Pengiring utama dalam setiap pementasan adalah grup gambelan setempat dengan instrumen yang terbuat dari perunggu, metalphone, gong, cengceng dan kendang.
Perangkat gambelan ini umumnya dimiliki oleh desa tersebut dan biasanya ditempatkan di Balai Banjar. Belum ada melodi lagu-lagu musik Bali yang sudah ditulis atau didokumentasikan. namun ia diwariskan secara turun menurun dari generasi ke generasi hanya lewat ingatan.
Pertunjukan yang sering dilakukan antara lain :

Wayang Kulit


Image
Pertunjukan wayang biasanya diiringi oleh empat alat musik yang melantunkan iringan gambelan untuk sekitar 60 karakter wayang yang terbuat dari kulit sapi yang diukir dan dimainkan sang dalang.  Ki dalang harus demikian terampil dan berpengetahuan luas.  Ia tidak memanipulasi semua karakter tetapi memberikan suara yang berbeda - beda pada setiap karakter.  Drama tradisional meliputi berbagai tema yang sangat luas, yang paling populer adalah tema dari cerita Hindu, seperti epos Mahabharata.



Kecak
Image
Bersumber dari suara riuh nan harmonis yang berasal dari kelompok penari laki-laki yang mengakibatkan trans pada upacara Sang Hyang, dikembangkanlah jenis tarian baru yaitu Tari Kecak.  Biasanya sekitar 100 penari mengatur orkestra sendiri saling bersahutan dengan  melodi suara vokal yang melengkapi gerakan ritmis, sebuah panggung bundar diciptakan untuk mementaskan lakon cerita ramayana yang ditengah-tengahnya dinyalakan sebuah lampu minyak.

Wayang Wong (Parwa)


Image
Ini merupakan kesenian yang langka dan sakral.  Hanya dipentaskan pada hari-hari tertentu bila ada upacara agama piodalan di Pura Pura di Bali. 
Kesenian ini biasanya mengambil cerita ramayana sebagai tema dan semua penarinya menggunakan topeng.  Pengiringnya adalah sekelompok orang dengan seperangkat gambelan batel pewayangan yang biasanya terdiri dari empat buah gember wayang, dua buah kendang, satu buah cengceng, satu buah klenong, satu buah kempul dan satu buah kajar.

Barong dan Rangda
Image
Pertarungan metafisik yang tiada akhir antara kebaikan dan kejahatan secara simbolis diperankan terus menerus dari waktu ke waktu oleh dua karakter yang bertentangan.
 
Pementasan tarian ini dapat memperkuat suasana magis tempat / desa dimana tarian ini dipentaskan serta senantiasa menjaga keseimbangan antara kekauatan kebaikan dan kejahatan


Topeng


Image
Tari Topeng merupakan salah satu jenis tarian yang menuntut kemampuan dramatik, memerlukan keterampilan dan adaptasi penokohan dan perilaku agar cocok dengan karakter topeng yang dipakai.
Kombinasi dari literatur kuno dan sejarah lokal digabung dengan interpretasi kontemporer merupakan aktor yang belajar secara intens dan personal.  karakternya merupakan karikatur dari semua sifat manusia, baik yang bajik maupun yang konyol dan komedi yang penuh lelucon aktual merupakan kunci dari pementasan kesenian ini.


Arja dan Drama Gong
Image
Pertunjukan Arja yang merupakan Opera rakyat Bali bisa menarik semua penduduk desa yang mulai pentas sejak tengah malam sampai menjelang pagi.
Kisah roman percintaan diambil dari cerita klasik kerajaan Jawa yang diramu dalam lakon tragedikomedi dan romantika yang dijamin dapat memukau penonton.
Tokoh utama sebagai orang istana kerajaan bergerak dengan  tarian lemah gemulai sambil melantunkan tembang Bali serta berbicara dalam bahasa Bali halus yang diterjemahkan oleh punakawannya.
Arja telah kehilangan popularitasnya oleh drama gong sekarang ini karena drama gong tidak terlalu banyak musik dan tarian sehingga lebih mudah dipahami oleh kalangan masyarakat awam.

Legong Keraton


Image
Mungkin merupakan tarian yang paling istimewa adalah Legong Keraton.  Sebuah tarian yang secara tradisional dipentaskan sebagai hiburan bagi raja.
Wanita muda yang mengenakan pakaian tari istimewa warna emas dari ujung kepala hingga siku itu mengnakan hiasana kepala dengan untaian bunga "Jepun" (kamboja), melenggok dengan gerakan yang lincah dan mempesona yang menguraikan tentang Kerajaan Lasem bersama kekasihnya .  Penarinya nampak bagaikan esensi wanita dengan kecantikannya.


Tari Baris

Image
Tari Perang, Baris Gede merupakan tarian yang bersifat Maskulin dan menampilkan sensitivitas tinggi dalam berbagai mood dan ekspresi dalam satu gerakan tari.  Baris Gede sebagai tarian sakral biasanya dipentaskan selama ada upacara  dan biasanya ditarikan oleh 10 orang penari atau lebih dengan mengenakan pakaian perang yang anggun dengan membawa senjata berupa tombak, pedang dan perisai.  Mereka menari dalam  barisan dengan posisi agresif sebelum mereka melakonkan perang tanding satu dengan yang lain.


Mengenal Sejarah Badung

Sebuah perahu dagang (skunar) terdampar di pantai timur Kerajaan Badung pada jam 06.00 tanggal 27 Mei 1904. Perahu dagang itu bernama Sri Komala berbendera Belanda yang berlayar dari Banjarmasin mengangkut barang dagangan milik pedagang Cina bernama Kwee Tek Tjiang.

Oleh karena kandas dan perahu pecah, maka para penumpang Sri Komala menurunkan barang yang masih bisa diselamatkan antara lain peti kayu, peti seng dan koper kulit. Nakhoda meminta bantuan kepada syahbandar di Sanur untuk menjaga keamanan barang-barang yang diturunkan. Atas permintaan pemilik barang dan atas saran Sik Bo, seorang warga Cina di Sanur, peristiwa kandasnya perahu dilaporkan kepada Ida Bagus Ngurah, penguasa daerah Sanur dengan tujuan untuk ikut mengamankan barang-barang yang telah diturunkan itu.

Sesuai keterangan Kwee Tek Tjiang dan sesuai juga dengan keterangan nakhoda yang diutus serta didampingi Sik Bo pada waktu menghadap Ida Bagus Ngurah, dilaporkan bahwa barang dagangan yang diangkut terdiri dari gula pasir, minyak tanah, dan terasi. Untuk memeriksa kebenaran laporan itu, Ida Bagus Ngurah selaku penguasa Sanur berangkat ke tepi pantai untuk memeriksa langsung. Isianya ternyata sesuai dengan laporan, dan ada tambahan barang berupa roti kering dan sedikit uang kepeng. Berkat bantuan 11 orang tenaga kerja, barang-barang yang masih tersisa di kapal diturunkan dan diangkut. Kesebelas orang itu melakukan tugasnya dengan jujur dan tidak ada yang mencuri.

Utusan Raja Badung datang ke pantai mengadakan pemeriksaan pada tanggal 29 Mei 1904, dua hari setelah perahu itu terdampar. Pada waktu itulah Kwee Tek Tjiang membuat laporan palsu kepada utusan raja dan menyatakan rakyat telah mencuri 3700 ringgit uang perak serta 2300 uang kepeng. Tentu saja laporan ini tidak dapat diterima oleh utusan raja karena tidak disertai bukti.

Oleh karena tidak puas, Kwee Tek Tjiang menghadap langsung kepada Raja Badung yang menolak pengaduan itu, karena selain dipandang tidak sesuai, Kwee Tek Tjiang juga menuduh rakyat Badung merampas perahu itu pada tanggal 27 Mei 1904. Tuduhan itu diulangi lagi oleh residen setelah mendapat laporan, dan bahkan langsung menuntut agar Raja Badung memberikan ganti rugi sebesar 3000 ringgit. Oleh karena rakyat telah menyatakan kejujurannya melalui sumpah, maka pihak Raja Badung tetap pada keyakinannya bahwa apa yang dituduhkan itu hanya merupakan tipu muslihat.

Keyakinan yang teguh dari raja dan rakyat Badung dipandang membahayakan kedudukan pemerintah kolonial di Bali, khususnya Residen (J. Escbach, kemudian G. Bruyn Kops sejak tahun 1906). Perlu diketahui bahwa Van Hentz, Gubernur Jenderal di Batavia sangat berambisi untuk menaklukan seluruh Hindia Belanda, bahkan dapat memecat residen apabila dipandang perlu.

Oleh karena itu residen dan bawahannya perlu menyelamatkan kedudukannya meskipun harus mengorbankan kedaulatan Raja Badung. Residen J. Escbach mengusulkan agar Raja Badung tetap dikenakan denda 3000 ringgit (7500 gulden). Meskipun telah diultimatum, Raja Badung saat itu, I Gusti Ngurah Denpasar, tetap menolak tuiduhan dan tuntutan sampai batas waktu pada tanggal 9 Januari 1905.

Penolakan tegas Raja Badung mengakibatkan pemerintah kolonial mengirim kapal angkatan laut ke perairan Badung  untuk melakukan blokade ekonomi. Tindakan kejam pemerintah kolonial melalui patroli angkatan lautnya semakin sering dilakukan, lebih-lebih sikap raja Badung yang tidak menunjukkan tanda-tanda menyerah terhadap tuntutan ganti rugi. Meskipun pihak kerajaan Badung mengalami kerugian setiap hari sebesar 1500 ringgit dari pemasukan pelabuhan akibat blokade ekonomi itu, Raja Badung tetap tegus pada keyakinannya menolak tuduhan Gubernurmen. Sementara itu blokade ekonomi di darat juga dilakukan dengan cara bekerja sama dengan raja-raja tetangga seperti Gianyar, Bangli, Klungkung, Tabanan, dan Karangasem, namun kerajaan-kerajaan tetangga itu sulit memutuskan hubungan dengan Raja Badung karena kepentingannya masing-masing. Blokade ekonomi yang dilancarkan di laut atau di darat ternyata gagal dan tidak mampu membuat Raja Badung menyerah. Kondisi ini mengakibatkan semakin tegangnya hubungan politik antara Kerajaan Badung dan Pemerintah Gubernurmen.

Oleh karena Raja Badung tetap pada keyakinannya, maka Gubernur Jenderal Van Hentzs mengirim surat secara langsung kepada Raja Badung pada tanggal 17 Juli 1906. selain kepada I Gusti Ngurah Pemecutan dan I Gusti Ngurah Denpasar, Van Hentzs juga mengirim surat kepada Raja Tabanan, I Gusti Ngurah Agung, raja yang dengan tegas memihak Raja Badung. Surat Gubernur Jenderal itu pada pokoknya mengulangi tuntutan pemerintah yang diajukan sebelumnya, bahkan jumlah ganti rugi yang dituntut lebih besar yaitu 5173 ringgit (12.932,50 gulden). Jumlah ini termasuk biaya blokade yang sudah dikeluarkan pemerintah Gubernurmen dan harus dibayar oleh  Raja Badung. Substansi penting dari isi surat itu adalah batas waktu yang diberikan. Gubernur Jenderal mengancam akan mengambil tindakan militer apabila Raja Badung dan Tabanan tidak memberikan jawaban yang memuaskan sampai tanggal 1 September 1906.

Ancaman dari Gubernur Jenderal di Batavia tidak sedikitpun mengubah pendirian Raja Badung. Sekalipun pemerintah tertinggi Hindia Belanda di Batavia mengeluarkan surat perintah untuk mengadakan untuk mengadakan untuk mengadakan ekspedisi militer pada tanggal 4 September 1906, Raja Badung telah siap menanggung resiko demi membela kedaulatan kerajaan (Nindihin Gumi Lan Swadharmaning Negara). Dengan didahului pernyataan sumpah menurut Agama Hindu, raja dan rakyat Badung lebih yakin untuk menolak ultimatum dan ancaman Belanda.

Ekspedisi militer V sampai di Selat Badung pada tanggal 12 September 1906. Kekuatan armadanya berjumlah 16 buah kapal, yaitu 9 buah kapal perang, dan 7 buah kapal pengangkut. Kapal-kapal perang tersebut di antaranya ”De Hortog Hendrik, Koningin Wilhelmena, Der Nederlander”, dilengkapi dengan meriam berbagai kaliber. Seluruh personil yang ikut dalam ekspedisi itu berjumlah 3053 orang yang terdiri atas 2312 orang personil militer dan 741 orang sipil termasuk wartawan perang.

Utusan dikirim pada sore harinya untuk menyampaikan ultimatum kepada Raja Badung dan Tabanan agar menyerah dalam tempo 2 x 24 jam. Ultimatum ditolak tegas, sehingga pasukan Belanda mendarat di Pantai Sanur pada tanggal 14 September 1906. Pabean Sanur diduduki dan dijadikan benteng pertahanan mereka untuk melakukan serangan ke arah Kesiman sebagai benteng terdepan Raja Badung.

Laskar Badung yang sudah siap perang memperkuat bentengnya masing-masing di depan Puri Kesiman, Denpasar, dan Pemecutan. Dengan gagah berani mereka berani menjaga puri meskipun dihujani tembakan meriam dari Kapal ”De Hortog Hendrik”. Keesokan harinya Laskar Badung menduduki beberap desa yaitu Taman Intaran, Buruan, dan Sindu. Di Sindu terjadi kontak senjata antara Laskar Badung dan Batalyon 11 Pasukan Belanda.

Namun Laskar Badung yang datang dari Kelandis dan Bengkel bergerak menuju Kepisah dan mencapai Tanjung Bungkak, menyusul 500 laskar dari Kesiman di bawah pimpinan I Gusti Gde Ngurah Kesiman bergerak ke selatan. Sebagian dari mereka bersenjatakan tombak, keris, pedang, dan senapan telah menduduki sebagian besar wilayah Sanur. Mengetahui kehadiran laskar Badung yang terutama terlihat jelas dari Laskar Tombak, maka pasukan Belanda melepaskan tembakan salvo dari benteng pertahanan mereka yang berjarak hanya 100 meter. Terjadilah pertempuran hebat, satu melawan satu di seluruh Desa Sanur pada tanggal 15 September 1906. Di kedua pihak jatuh korban. Pasukan Belanda banyak yang mengalami luka-luka, sedangkan dari Laskar Badung  tercatat 33 orang tewas dan 12 orang luka akibat tembakan meriam.

Laskar Badung di Renon memasang ranjau dari bambu untuk membendung dan menghambat serangan pasukan kavaleri Belanda yang menggunakan kuda. Pertahanan di desa-desa yang mengelilingi 3 puri, yaitu Puri Kesiman, Puri Denpasar, dan Puri Pemecutan diperkuat termasuk desa-desa di Renon, Lantang Bejuh, Sesetan, Panjer, Kelandis, Bengkel, dan Tanjung Bungkak.

Pasukan Belanda di bawah pimpinan Rost Van Toningen bergerak meninggalkan benteng di Pabean Sanur pada tanggal 16 September 1906, jam 07.00. Pasukan itu bergerak mengikuti jalan besar ke sebelah barat menuju Tanjung Bungkak, yang terdiri atas batalyon 18 dan 20, sedangkan batalyon 11 bergerak di sebelah kiri. Kedatangan batalyon 18 dan 20 di Desa Panjer disambut oleh serangan gencar dari sekitar 2000 orang anggota Laskar Badung. Karena matahari hampir terbenam, dengan cepat pasukan Belanda meninggalkan medan pertempuran untuk kembali ke bentengnya di Sanur. Pada waktu mereka tiba di benteng, sekitar 30 orang anggota laskar Kerajaan Badung dari Kesiman menyerang Pabean Sanur namun tembakan yang dilepaskan angkatan laut Belanda berhasil memukul mundur laskar kerajaan. Perang sehari pada tanggal 16 September di sekitar Panjer dan Sesetan sangat melelahkan pasukan Belanda, sehingga keesokan harinya pada tanggal 17 September 1906 pasukan Belanda lebih banyak tinggal di benteng untuk membahas taktik penyerangan terhadap kota dan ketiga puri Kerajaan Badung. Meskipun demikian, meriam artileri yang ditempatkan dekat benteng mulai ditembakkan bersama-sama dengan tembakan meriam dari kapal perang. Tembakan-tembakan meriam itu diarahkan ke Puri sekitar kota dan Puri kesiman.

            Taktik untuk menyerang dan mengepung ibu kota dari sebelah utara atau dari belakang Puri Denpasar   yang didahului dengan penyerangan ke Puri Kesiman, baru diputuskan pada tanggal 18 September 1906. Keputusan itu baru diambil dengan pasti setelah ada laporan dari mata-mata Belanda bahwa I Gusti Gde Ngurah Kesiman yang ikut menyerang benteng Belanda di Sanur telah terbunuh.

            Pada Tanggal 18 September 1906, sejak jam 08.00 sampai dengan jam 18.00, meriam penembak yang teletak disebelah kanan benteng ditembak kearah kota. Sebanyak 216 tembakan meriam diarahkan ke Puri Pemecutan dan Denpasar, beberapa mengenai Puri dan   lebih banyak jatuh diluarnya. Sebanyak 1.500 orang laskar yang tidak gentar menghadapi gertakan Belanda melalui tembakan meriam, kemudian memperkuat benteng pertahanan di tepi timur Kesiman, di dekat kebun kelapa antara Tepi sungai Ayung dan Desa Tangtu.

            Pada tanggal 19 September, jam 07.45, Pasukan Belanda sudah siap menyerang Kesiman. Gerakan Pasukan Belanda dimulai dari Pantai menuju keutara. Sementara itu laskar Kerajaan Badung yang mempertahankan Desa Tangtu menyerang Rost Van Toningen pada batalyon 20 sehingga seorang prajurit Belanda luka berat. Serangan laskar Badung dapat dihentikan oleh 2 peleton batalyon 11 yang mengejar. Mereka melanjutkan serangannya untuk menduduki Puri Kesiman dengan kekuatan 3 batalyon yaitu batalyon 11 mengambil posisi sayap kanan, batalyon 20 ditengah dan batalyon 18 diposisi sayap kiri disebelah timur sungai Ayung.

            Pada jam 10.45 kedudukan laskar kerajaan Badung sudah mendekati jarak 350 meter dari pasukan Belanda yang paling depan, sehingga asap mesiu yang mengepul sekitar kedudukan laskar Badung menjadi sasaran tembak pasukan Belanda. Laskar Badung maju dengan magsud melawan dengan sangat berani dan heroic, tetapi tembakan gencar mengenai mereka dan roboh. Kelemahan pada pihak laskar Badung terletak pada teknik persenjataan. Meskipun menggunakan meriam kecil (lila) dengan tembakan yang sangat lambat namun ternyata senjata ini menjadi pembangkit semangat untuk berperang. Semangat heroic yang rela berkorban, berperang sampai titik darah penghabisan dan pantang menyerah adalah kewajiban leluhur setiap laskar Badung di Kepisah maka Puri Kesiman dapat diduduki oleh tiga batalyon pasukan Belanda pada jam 15.30. Jatuhnya pertahanan di Puri Kesiman mempermudah pasukan Belanda kesebelah barat untuk menuduki Puri Denpasar dan Puri Pemecutan.

            Pasukan belanda bergerak kearah Barat meninggalgan Puri Kesiman dan menuju tepi Barat Desa Sumerta pada tanggal 20 September 1906, jam 07.00 bersamaan dengan gerakan pasukan, tembakan meriam dari benteng belanda di Sanur diarahkan ke Puri Denpasar dan Pemecutan, sebanyak 60 peluru meledak di dalam dan sekitar puri sehingga menimbulkan kerusakan.

            Laskar Badung ditepi barat Desa Sumerta melakukan perlawanan untuk mempertahankan tepi timur Denpasar. Pada jam 08.00 pasukan Belanda dibagi tiga bagian. Batalyon 18 berbaris kesebelah kiri  menuju Desa Kayumas, batalyon 11 kesebelah kanan jalan (utara) menuju batas Timur Denpasar. Pada waktu batalyon 18 berangkat keselatan, sejumlah laskar Badung yang mempertahankan Kayumas menembak dengan meriam (lila) tetapi dibalas pasukan Belanda. Pada jam 09.00 Raja I Gusti Ngurah Denpasar telah mendengar bahwa  pasukan Belanda telah masuk ke kota Denpasar. Di Puri Denpasar telah berkumpul keluarga dan pengikut swetia Raja, kira-kira 250 orang, Raja memerintahkan untuk membakar Puri Denpasar.

            Pada Jam 10.30, batalyon 11 pasukan Belanda telah menduduki perempatan. Pada jalan Denpasar menuju Tangguntiti. Pada jam 11.00 Raja dan Rombongannya keluar puri. Laki-laki dan Wanita semuanya membawa senjata yang terdiri atas keris dan tombak. Anak-anak juga demikian dan bayi digendong. Rombongan ini bergerak kesebelah utara melalui pintu gerbang  Puri dan keluar jalan besar, sampai di persimpangan jalan Jero Belaluan. Rombongan meneruskan perjalanan sampai jarak sekitar 300 meter dari batalyon 11.

            Rombongan diperintahkan untuk berhenti melalui penterjemah. Meskipun sudah berulang kali diperingatkan, tetapi rombongan maju terus hingga semakin dekat, sampai mjarak 100 meter, 80 sampai 70 langkah dari kedudukan pasukan Belanda, pada jarak terakhir, raja dan rakyat Badung berlari kencang dengan tombak dan keris terhunus menerjang musuh.

Saat itulah tembakan salvo dilepaskan sehingga beberapa orang jatuh tersungkur termasuk raja I Gusti Nguah Gde Denpasar, Raja Badung Gugur. Pengikut yang masih hidup melanjutkan penyerbuannya dan tembakan gencar pasukan Belanda diteruskan. Pada waktu itulah terjadi peristiwa yang mengerikan bagi orang Belanda. Dengan Cara melawan Pantang menyerah, berperang sampai titik darah penghabiskan, raja dan rakyat Badung rela dan iklas membela kebenaran yang luhur. Tewas membela kebenaran adalah sorga bagi mereka dan keyakinan ini tetap teguh mereka pegang sampai saat terakhir, sesuai dengan ajaran agam mereka, Hindu.

            Rombongan kedua dari Puri, kemudian muncul dijalan besar, dipimpim oleh saudara tiri raja yang masih berumur 12 tahun dengan tombak yang sangat panjang  di tangan dan hampir keberatan, pasukan Belanda dikepung. Saat itu, komandan  pasukan dan juru bahasapun memperingatkan agar berhenti, tetapi rombongan ini tidak menghiraukan dan menyerang dengan ganas. Satu persatu mereka gugur kena peluru. Tumpukan mayat sebelumnya semakin bertambah.

            Sementara itu, di dekat perempatan jalan dari Denpasar menuju Tangguntiti dan Kesiman masih terjadi seranag laskar kerajaan Badung. Laskar Badung yang masih menduduki Jero Taensiat melakukan serangan sporadis terhadap kedudukan pasukan Belanda. Oleh karena peperangan yang tidak seimbang antara pasukan militer propesional lengkap dengan persnjatan modern pada waktu itu terhadap laskar konvensional yang hanya memiliki jiwa dan semangat pantang menyerah dalam mempertahankan kedaulatan negeri dengan segala patriotisme dan heroismenya, maka setiap serangan pelawanan laskar Badung dapat dijinakkan.

             Pasukan Belanda bergerak keselatan menuju dan menduduki Puri Denpasar pada jam 13.00 dari depan Puru Denpasar, pasukan Belanda melanjutkan penyerangannya ke Puri Pemecutan pada jam 15.00.

            Raja Badung dari Puri Pemecutan, I Gusti Gde Ngurah Pemecutan, memerintahkan untuk membakar Puri sebelum melakukan perlawanan terhadap pasukan Belanda. Pada jam 15.00 batalyon sudah meninggalkan halaman depan Puri Denpasar dan sampai di Puri Suci tidak terjadi perlawanan laskar kerajaan Badung, sebab konsentrasi pertahanan Kerajaan Badung berada disebelah kiri depan Puri Pemecutan. Tembakan gencar yang dilepaskan pasukan belanda bertujuan membebaskan jalan didepannya dari serangan mendadak laskar Badung karena sejumlah laskar semakin mendekati kedudukan pasukan Belanda.

            Laskar Kerajaan Badung yang bertahan diseberang sungai melepaskan tembakan kearah batalyon 18 setelah jarak tembak 700 meter dan tepat mengenai sasaran sehingga 2 orang dari pasukan Belanda  menjadi korban. Dibalas dengan tembakan artileri meriam kaliber 3,7 mengakibatkan Laskar Badung  berguguran.

Pasukan Belanda bergerak maju mendekati Puri Pemecutan dan pada waktu itu serangan laskar Badung dilakukan. Raja I Gusti Ngurah Pemecutan yang di usung dengan tandu berkumpul dengan para punggawa, istri, dan keluarganya di Puri Pemecutan. Semuanya bergerak menyongsong kehadiran pasukan Belanda.

Kelompok laskar di sana-sini bermunculan menyerang dengan tombak dan senapan dari jarak yang agak jauh. Rombongan raja bergerak secara perlahan mendekati pasukan Belanda. Setelah posisi mereka sangat dekat dengan posisi pasukan Belanda, raja pasukannya  bergerak semakin cepat dan langsung menerjang pasukan Belanda. Pada pertarungan sengit itulah raja dan pasukannya gugur satu per satu. Akhirnya pada pukul 18.00 perlawanan laskar Badung di Pemecutan yang merupakan benteng terakhir terhenti. Belanda berhasil menduduki Puri Pemecutan.

Hari Istimewa di Bali

Setiap pura di Bali baik yang besar maupun yang kecil / tugu termasuk pura keluarga memiliki hari tertentu untuk upacara piodalannya. Piodalan itu dirayakan setiap 210 hari menurut kalender Bali. Karena demikian banyaknya Pura di Bali, sehingga hampir setiap hari ada saja upacara piodalan yang berlangsung. Di samping itu ada juga hari raya yang berlangsung serempak di seluruh Bali seperti Galungan, Kuningan, Saraswati dan Nyepi. Berikut adalah sebagian hari besar Hindu tersebut:

Galungan
Image
Pada hakekatnya Galungan adalah perayaan bagi kemenangan "Dharma" (kebenaran) melawan "Adharma"(Kebatilan). Tuhan sebagai pencipta dipuji dan di puja, termasuk leluhur dan nenek moyang keluarga diundang turun ke dunia untuk sementara kembali berada di tengah - tengah anggota keluarga yang masih hidup. Sesajen menyambut kedatangan leluhur itu disajikan pada sebuah tugu di "Merajan / sanggah" keluarga. Penjor selamat datang dibuat dari bambu melengkung, dihiasi janur dan bunga dan diisi sanggah di bagian bawahnya serta hiasan lamak di pancang di depan pintu masuk rumah masing-masing. Semua orang keluar ke jalan dengan berpakaian baru yang indah, mengunjungi sanak saudara dan handai tolan, sambil menikmati kebesaran hari raya tersebut.


Kuningan
Image
Hari raya ini datangnya sepuluh hari setelah Galungan. Ini adalah hari raya khusus, dimana para leluhur yang setelah beberapa saat berada dengan keluarga sekali lagi disuguhkan sesajen dalam upacara perpisahan untuk kembali ke stananya masing-masing. Sedangkan di pedesaan ada beberapa Barong "ngelawang" beberapa hari diikuti sekolompok anak-anak dengan tetabuhan / gambelan.


Nyepi
Nyepi adalah hari raya tahun baru caka bagi umat Hindu. Selama 24 jam penuh kesunyian dan keheningan dijaga dan dihormati semua orang, lalu lintas kendaraan di larang, tidak boleh menyalakan lampu ataupun bekerja, setiap orang harus tinggal di rumah, sehingga kegiatan masak harus dilakukan pada hari sebelumnya.

Image
Sehari sebelum hari raya Nyepi, upacara kurban suci untuk menenangkan roh-roh jahat dilakukan di setiap perempatan jalan, kemudian diikuti dengan pengusiran bhuta kala. Upacara ini dilakukan disenja hinga malam hari dimana sekelompok anak- anak, banjar dan gang-gang berkumpul / berbaris membawa bunyi-bunyian dan obor letupan-letupan terus dilakukan untuk menakuti-nakuti roh jahat tersebut agar keluar jauh dari desa masing-masing. Secara tradisi, pada hari Nyepi semua orang tinggal dirumah berpuasa, meditasi/semedi dan bersembahyang, namun hanya keluarga brahmana yang banyak melakukan hal ini.


Image
Saraswati
Hari raya ini khusus ditujukan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Aji Saraswati, Dewi Ilmu pengetahuan dan sastra. Hari raya ini dilakukan sekali dalam 210 hari (sesuai kalender Bali). Setiap orang sehari itu dilarang membaca / menulis, sementara sesajen disiapkan bagi ilmu pengetahuan dalam bentuk buku, lontar dan benda benda lain yang berhubungan dengan sastra dan ilmu pengetahuan.

Image
Tumpek LandepHari raya ini adalah khusus untuk pande besi dan juga bagi segela bentuk benda-benda suci terbuat dari logam dan kini bahkan sepeda motor dan mobil juga diberkati dengan sesajen memohon keselamatan.

Tumpek Uduh 
Hari raya ini adalah hari raya khusus yang ditujukan untuk memuja Tuhan yang telah memberikan kehidupan bagi pepohonan dan tumbuh-tumbuhan khususnya pohon kelapa, sehingga dapat dimanfaatkan oleh manusia dalam upaya mensejahterakan hidupnya.


Tumpek Wayang
Hari raya ini adalah khusus untuk wayang kulit dengan segala peralatannya. Wayang, gedog dan peralatannya dibersihkan lalu disiapkan sesajen.


Some Ribek
Hari raya ini ditujukan kepada Dewi / Bethari Sri (Dewi Padi dan kesuburan). Pada hari ini penjualan, penggilingan dan transaksi jual beli biasanya ditiadakan untuk menghormati hari suci tersebut.


Ciwa Latri
Adalah malam penebusan dosa, memohon pengampuan kepada Tuhan yang Maha Esa atas dosa-dosa yang telah diperbuat. 

Upacara Adat Manusa Yadnya dari Bali

Masyarakat Bali percaya bahwa roh pribadi setiap orang akan mengalami reinkarnasi beberapa kali ke dunia, dengan melalui tahapan dan rintangan sampai akhirnya menyatu dengan Tuhan, Sang Pencipta. Adalah kewajiban bagi setiap orang untuk berumah tangga dan selanjutnya memiliki anak, hal ini dalam rangka menyiapkan jalan bagi roh nenek moyangnya saat menjelma nanti. Seseorang tidak dapat dikukuhkan menjadi anggota Banjar penuh sebelum orang itu berumah tangga. Anak-anak kecil di Bali begitu disayang dan dihormati, terutama yang laki-laki, karena merekalah yang akan melanjutkan garis keturunan keluarganya dan menjaga orang tuanya serta melaksanakan upacara penguburan dan pengabenan nantinya.
Image
Setiap kali kehidupan di dunia ini, dianggap sebagai jalan tangga menuju ke tingkat kehidupan berikutnya, selama kehidupan di dunia ini ada pengalaman yang kritis khususnya pada saat anak melangkah dewasa, sehingga diharapkan saling membantu satu sama lain. Berbagai upacara selama perjalanan hidup ini, dalam agama Hindu, sudah dimulai sejak bayi masih ada di dalam kandungan ibunya.

Image
Seorang ibu yang baru melahirkan dianggap "sebel / leteh" dan tidak diperkenankan ke Pura sampai dilaksanakannya upacara pembersihan diri. Setelah kelahiran bayi menjadi "kanda pat", si bayi akan menemukan keempat saudaranya scara bathiniah, kemudian menyertai bayi itu untuk melanjutkan kehidupannya. Di saat bayi berumur 12 hari dan 24 hari diadakan lagi upacara tersendiri, kemudian pada saat bayi berumur 105 hari ada upacara yang agak besar, dimana bayi untuk pertamakalinya menginjakkan kakinya di tanah guna memohon berkat Ibu pertiwi agar dipelihara dengan baik. Sebelum upacara ini, seorang bayi belum dianggap sebagai manusia seutuhnya. Pada hari ke 210 (sesuai kalender Bali) barulah bayi itu diberi nama lengkap. Seorang bayi hampir tidak diperkenankan merangkak di tanah, karena dianggap seperti sifat binatang. Dia akan diajak kemana-mana sampai bisa berdiri berjalan sendiri.
Image
Perjalanan hidup menginjak umur dewasa juga diupacarai baik bagi pria maupun wanita. Menstruasi pertama bagi seorang wanita dirayakan, setelah itu bisa dilakukan upacara potong gigi. Upacara ini harus dilakukan sebelum seorang wanita berumah tangga, namun biasanya sering digabung dengan upacara perkawinan. Taring yang ada pada manusia harus diasah-ratakan, karena merupakan simbolis sifat binatang, hal ini melambangkan pembersihan dari sifat-sifat binatang / sifat yang tidak baik. Setelah upacara ini, kewajiban orang tua dianggap sudah selesai.

Lain halnya bagi anak laki-laki yang harus dibiayai hingga upacara perkawinan, keluarga harus menyambut calon menantu (pengantin putri) sebagai anaknya sendiri, seorang pengantin putri harus mengubah prilakunya yang lama dan menjalin hidupnya yang baru di keluarga suaminya termasuk dengan leluhurnya. Masih banyak pernikahan di Bali tidak direncanakan, masih banyak anak muda yang memilih kawin lari dan bahkan kawin campuran antar kasta yang semakin dianggap biasa

Tari Janger dari Bali Berusia 100 Tahun


Kapankah tari Janger diciptakan? Siapakah penciptanya? Pertanyaan ini bisa diteruskan untuk seni tari lainnya, dan kita tak akan mendapatkan jawaban yang memuaskan.

Janger barangkali lebih muda dibandingkan Cak. Tetapi, saya tak tahu persis, belum pernah menemukan buku tentang sejarah Janger. Kalau drama tari Gambuh, sudah terbit buku dengan editor Maria Cristina Formaggia. Ini buku tentang Gambuh yang paling lengkap. Gambuh diperkirakan sudah ada pada abad XIV dan terus mengalami evolusi sampai abad XVII. Bentuk tarinya kemudian mengalami ”balinisasi” di abad XIX sampai abad XX. Lalu, ini yang menyedihkan, Gambuh nyaris mati di abad XXI ini.

Bagaimana dengan Janger? Janger Kedaton berusia 100 tahun. Itu berarti Janger sudah berusia seabad lebih, dan kita tidak tahu apakah usia sejatinya dua abad atau tiga abad. Belum ada penelitian ke arah itu, termasuk bagaimana evolusi Janger dari abad ke abad. Bahwa di Banjar Kedaton telah ada Janger sejak tahun 1906 dan terus dipelihara dari waktu ke waktu tentu merupakan prestasi tersendiri. Lestarinya kesenian di sebuah desa di Bali umumnya dikaitkan dengan hal-hal mistis. Janger Kedaton pun demikian. Masyarakat boleh beralih profesi, tetapi kesenian tetap dipertahankan karena dipayungi oleh hal-hal mistis dan sakral. Perjalanan Janger ini menjadi sisi menarik yang layak didokumentasikan.

Seni tari Janger mengalami banyak perubahan dari waktu ke waktu. Ini disebabkan pola dasar tari Janger adalah adanya dua kelompok yang bertembang saling bersautan. Di daerah-daerah lain Nusantara, jenis kesenian yang bertembang bersautan juga ada, baik berupa kidung tradisional maupun berpantun. Dan, kesenian seperti itu mengalami perubahan yang sama dengan Janger, yakni masuknya unsur-unsur aktual tentang situasi dan kondisi masyarakat pada zamannya.

Janger yang ”tradisional”, meski belum ada penelitian tentang itu, bercerita tentang kelompok muda-mudi yang lagi dimabuk asmara, yang sangat populer di Bali yang dilakukan oleh sekitar 10 pasang muda-mudi. Selama tarian berlangsung kelompok penari wanita (Janger) dan kelompok penari pria (Kecak) menari dan bernyanyi bersahut-sahutan tentang kisah-kisah asmara, dari cara berkenalan, menanyakan identitas, dan menjurus ke rayuan. Semuanya dilakukan dengan riang gembira. Mungkin keriangan itu ciri khas Janger yang tidak mengalami perubahan.. Pada umumnya lagu-lagunya bersifat gembira sesuai dengan alam kehidupan mereka. Gamelan yang biasa dipakai mengiringi tari Janger disebut Batel (Tetamburan) yang dilengkapi dengan sepasang gender wayang. Munculnya Janger di Bali diduga sekitar abad ke XX, merupakan perkembangan dari tari sanghyang. Jika kecak merupakan perkembangan dari paduan suara pria, sedangkan jangernya merupakan perkembangan dari paduan suara wanita.

Lakon yang dibawakan dalam Janger antara lain: Arjuna Wiwaha, Sunda Upasunda dan lain sebagainya. Tari Janger dapat dijumpai hampir di seluruh daerah Bali, masing-masing daerah mempunyai variasi tersendiri sesuai dengan selera masyarakat setempat.

* Di daerah Tabanan tari Janger biasa dilengkapi dengan penampilan peran Dag (seorang berpakaian seperti jenderal tentara Belanda dengan gerak-gerak improvisasi yang kadang-kadang memberi komando kepada penari Janger maupun Kecak).
* Di desa Metra (Bangli) terdapat tari Janger yang pada akhir pertunjukannya para penarinya selalu kerauhan
* Di desa Sibang (Badung) terdapat tari Janger yang diiringi dengan Gamelan Gong Kebyar yang oleh masyarakat setempat menamakannya Janger Gong.

Pada dasawarsa 1960-an, terutama menjelang tahun 1965, Janger di Bali diracuni masalah politik yang mencerminkan adanya pertentangan di tengah-tengah masyarakat. Ada Janger PKI dan ada Janger PNI dan mereka saling sindir. Pakaian penari pun, terutama kelompok pria, mengalami perubahan sesuai dengan situasi saat itu. Janger kelompok pria memakai celana dan sering di tangannya ada pedang. Jadi, gerak tarinya adalah kombinasi dari gerakan silat. Mereka berteriak dengan cara koor: ”Marhaen menang, Pancasila jaya”, itu bagi Janger PNI. Sedangkan janger PKI bernyanyi koor: ”Sama rata, sama rasa, sosialisme ala Indonesia.” Banyak lagi jargon-jargon khas zaman itu, yang saat ini menjadi sesuatu yang menggelikan untuk dikenang.

”Janger politik” itu tidak lagi bercerita tentang kisah asmara, tetapi ”kisah keluarga”, melalui tembang-tembangnya. Misalnya, Janger kelompok pria bertembang tentang kepergiannya memperjuangkan nasib rakyat, kalau dia meninggal, jangan cari suami yang berlainan partai. Kelompok Janger wanita menjawab dengan tegas, bahwa ia akan melanjutkan perjuangan.

Tetapi tidak semua sekaa Janger terlibat dalam ”politik praktis”. Ada yang netral, namun cara berpakaian dan isi tembang mengikuti perkembangan saat itu. Misalnya, Janger kelompok pria bernyanyi tentang kepergiannya menjadi sukarelawan. Koor yang dikumandangkan selalu diakhiri dengan jargon: ”Ganyang Malaysia”. Janger kelompok wanita bertembang tentang cinta kasih sambil menyiapkan bekal untuk ”mengganyang Malaysia”.

Setelah meletusnya G-30-S/PKI, lama kesenian Janger menghilang. Masyarakat Bali trauma dengan Janger, seolah-olah kesenian itu adalah simbol dari ”sisi gelap” Bali, betapa mudahnya orang Bali diadu-domba dan saling membunuh sesamanya. Janger baru muncul kembali di masa Orde Baru. Dan lagi-lagi Janger menjadi corong politik, kali ini ”politik pembangunan”. Maka ada Janger tentang Keluarga Berencana. Meski kisah-kisah asmara masih ada, tetapi itu hanya sebagai pembuka sebelum masuk ke kisah intinya yaitu propaganda pemerintah tentang keberhasilannya. Orang tentu masih ingat, Gubernur Bali Ida Bagus Oka hampir setiap HUT Pemda Bali mengajak stafnya menari Janger.
Sekaa Janger yang kini masih aktif antara lain Janger Kedaton (Denpasar) dan Janger Singapadu (Gianyar).

Sejarah Janger semestinya diteliti lebih jauh. Kalaupun tak bisa menyeluruh, dimulai dari sejarah Janger lokal. Bagaimana perjalanan Janger Kedaton yang berusia 100 tahun itu, bagaimana perjalanan Janger Peliatan yang termasyur itu. Lagu bagaimana dengan kisah-kisah ”janger politik” yang banyak muncul di Jembrana dan Tabanan di masa lalu. Apa kita harus menunggu penulis asing, seperti halnya tentang Gambuh, untuk membukukan riwayat Janger?

Wednesday, May 7, 2014

Kumpulan Adat Suku Dayak

Adat apa saja yang ada di Suku Dayak, baca macam-macam Adat Suku Dayak berikut dibawah ini:

1. Patung Suku Dayak

Di depan rumah tinggal suku Dayak di Kalimantan Tengah atau Kalimantan Timur sering dijumpai beberapa patung menyerupai manusia laki-laki atau perempuan yang terbuat dari kayu ulin. Fungsi atau kegunaan dari patung tersebut bisa bermacam-macam.

Patung kayu yang berukuran hampir sama dengan manusia di kalangan suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah biasanya merupakan sisa pelaksanaan upacara tiwah, yaitu upacara ritual mengantar arwah leluhur ke alam surga loka.

Patung dalam ukuran yang lebih kecil biasanya merupakan sisa upacara ritual selain Tiwah dan sengaja dipasang di depan halaman rumah karena diyakini bahwa patung-patung tersebut mempunyai kekuatan magis untuk mengusir roh-roh jahat yang ingin mengganggu sang empunya rumah.

2. Rumah Adat Suku Dayak

Setiap daerah di Indonesia memiliki ciri khas kebudayaan yang berbeda-beda, mulai dari rumah adat, tarian, alat musik pakaian dan lain-lain. Sebagai contoh adalah Rumah Betang, rumah adat suku dayak di provinsi Kalimantan.

Rumah Betang atau Rumah Panjang merupakan rumah panggung yang dibangun dengan tinggi tiang sekitar 2 meter. Rumah ini dihuni oleh belasan rumah tangga yang terdiri dari 100-150 orang dan setiap ruangan didalam rumah dibatasi oleh sekat-sekat.

Pada halaman rumah betang terdapat sapundu, yaitu sebuah patung berbentuk manusia dan berfungsi sebagai tempat untuk mengikat hewan yang akan dikurbankan pada acara ritual upacara adat. Selain itu pada beberapa halaman rumah betang juga memiliki Patahu yang berfungsi sebagai tempat untuk pemujaan.

Sementara di bagian belakang rumah terdapat gudang yang dijadikan sebagai tempat untuk menyimpan senjata tradisional (bawong) yang disebut tukau.

3. Adat Perkawinan Suku Dayak

Seorang gadis Dayak boleh menikah dengan pemuda suku bangsa lain asal pemuda itu bersedia dengan tunduk dengan adat Dayak. Pada dasarnya orang tua suku Dayak berperanan penting dalam memikirkan jodoh bagi anak mereka, tetapi cukup bijaksana dengan menanyakan terlebih dahulu pada anaknya apakah ia suka dijodohkan dengan calon yang mereka pilihkan. Kalau sudah ada kecocokan, ayah si pemuda datang meminang gadis itu dengan menyerahkan biaya lamaran yang disebut hakumbang Auh. Pada orang Dayak Ngaju umumnya mas kawin berbentuk uang atau perhiasan. Mas kawin di kalangan suku Dayak biasanya tinggi sekali, karena besarnya mas kawin dianggap sebagai martabat keluarga wanita.

Upacara perkawinan suku Dayak sepenuhnya ditanggung oleh keluarga pihak wanita. Untuk pelaksanaan upacara perkawinan dipotong beberapa ekor babi, sedangkan memotong ayam untuk hidangan dianggap hina. Pada upacara perkawinan pengantin pria biasanya menghadiahkan berbagai tanda kenangan berupa barang antik kepada abang mempelai wanita. Sebagai pernyataan terima kasih karena selama ini abang telah mengasuh calon istrinya. Tanda kenangan yang oleh orang Dayak Ot Danum disebut sapput itu berupa piring keramik Cina, gong antik, meriam kecil kuno, dan lain-lain.

4. Tradisi Ngayau (Mengayau)

Sama seperti suku Dayak lainnya, Dayak Kayaan yang mendiami Sungai Mendalam Kecamatan Putussibau Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat juga memiliki adat Ngayo (Ngayau). Adat ngayau ini beda dengan ngayau sungguhan. Namun langkah-langkah mengayau sungguhan jika dibanding dengan adat ngayau, hampir sama. Perbedaan kedua jenis ini terletak pada nyaho’ (burung-burung yang ditunggu masuk ke dalam lingkaran rotan yang membentang sungai). Pada adat ngayo, mereka tidak selalu menunggu nyaho’ karena tergantung situasional. Namun jika mereka hendak berencana mengayau atau menyerang kelompok lain, maka adat ngayu dan nyaho’ mesti dilakukan.

Adat ngayo dilakukan sebagai syarat bahwa tradisi mengayau pada suku Kayaan juga terjadi. Adat ngayo ini dilakukan setiap tahun sebelum dange (pesta ritual padi). Suku Dayak Kayaan yang mendiami Sungai Mendalam sejak ratusan tahun silam yang kini berjumlah sekitar 2.300 jiwa (Data 2005 dari Kades Datah Diaan), dulu berasal dari Apo Kayaan Provinsi Kalimantan Timur ini hidup di rumah panjang. Ketika musim ladang, rumah panjang sepi, tapi ketika musim keramaian seperti dange, pesta pernikahan, kematian dan termasuk upacara adat ngayo maka rumah panjang menjadi ramai.

Adat ngayo ini dikhususkan bagi kaum laki-laki terutama anak muda yang baru menginjak usia remaja, (di atas 10 tahun) dan bukan untuk anak gadis. Bagi anak remaja, adat ngayo ini sangatlah penting karena adat ngayo merupakan upacara adat yang memberi semangat baru bagi kaum remaja, makanya mereka harus terlibat langsung. Dengan maksud agar mereka semakin berani, terutama ketika berhadapan dengan musuh.

Prosesi adat ngayo ini diadakan di mulai dari hulu perkampungan. (Karena kebetulan suku Dayak Kayaan dari dulu hingga sekarang selalu bertempat tinggal di tepi sunggai yang besar). Prosesi acara adat ngayo ini dibagi dua kelompok. Kelompok pertama adalah orang yang sudah pernah ikut adat ngayo atau sudah pernah dapat kepala musuh. Sedangkan kelompok kedua adalah remaja yang siap ikut bergabung dalam adat ngayo ketika memginjak usia remaja saat itu.

5. Upacara Adat Tiwah Suku Dayak

Upacara Tiwah merupakan acara adat suku Dayak. Tiwah merupakan upacara yang dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di buat. Sandung adalah tempat yang semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah meninggal dunia.

Upacara Tiwah bagi Suku Dayak sangatlah sakral, pada acara Tiwah ini sebelum tulang-tulang orang yang sudah mati tersebut di antar dan diletakkan ke tempatnya (sandung), banyak sekali acara-acara ritual, tarian, suara gong maupun hiburan lain. Sampai akhirnya tulang-tulang tersebut di letakkan di tempatnya (Sandung).

Ritual Tiwah bertujuan sebagai ritual untuk meluruskan perjalanan roh atau arwah yang bersangkutan menuju Lewu Tatau (Surga – dalam Bahasa Sangiang) sehingga bisa hidup tentram dan damai di alam Sang Kuasa. Selain itu, Tiwah Suku Dayak Kalteng juga dimaksudkan oleh masyarakat di Kalteng sebagai prosesi suku Dayak untuk melepas Rutas atau kesialan bagi keluarga Almarhum yang ditinggalkan dari pengaruh-pengaruh buruk yang menimpa.

Bagi Suku Dayak, sebuah proses kematian perlu dilanjutkan dengan ritual lanjutan (penyempurnaan) agar tidak mengganggu kenyamanan dan ketentraman orang yang masih hidup. Selanjutnya, Tiwah juga berujuan untuk melepas ikatan status janda atau duda bagi pasangan berkeluarga. Pasca Tiwah, secara adat mereka diperkenakan untuk menentukan pasangan hidup selanjutnya ataupun tetap memilih untuk tidak menikah lagi.

6. Tradisi Penguburan Suku Dayak

Tradisi penguburan dan upacara adat kematian pada suku bangsa Dayak diatur tegas dalam hukum adat. Sistem penguburan beragam sejalan dengan sejarah panjang kedatangan manusia di Kalimantan.

Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di Kalimantan :

1. penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan posisi kerangka dilipat.
2. penguburan di dalam peti batu (dolmen)
3. penguburan dengan wadah kayu, anyaman bambu, atau anyaman tikar. Ini merupakan sistem penguburan yang terakhir berkembang.

Menurut tradisi Dayak Benuaq baik tempat maupun bentuk penguburan dibedakan :

1. wadah (peti) mayat–> bukan peti mati : lungun, selokng dan kotak
2. wadah tulang-beluang : tempelaaq (bertiang 2) dan kererekng (bertiang 1) serta guci.

Berdasarkan tempat peletakan wadah (kuburan) Suku Dayak Benuaq :

1. lubekng (tempat lungun)
2. garai (tempat lungun, selokng)
3. gur (lungun)
4. tempelaaq dan kererekng

Pada umumnya terdapat dua tahapan penguburan:

1. penguburan tahap pertama (primer)
2. penguburan tahap kedua (sekunder).

Penguburan primer

1. Parepm Api (Dayak Benuaq)
2. Kenyauw (Dayak Benuaq)

Penguburan sekunder

Penguburan sekunder tidak lagi dilakukan di gua. Di hulu Sungai Bahau dan cabang-cabangnya di Kecamatan Pujungan, Malinau, Kalimantan Timur, banyak dijumpai kuburan tempayan-dolmen yang merupakan peninggalan megalitik. Perkembangan terakhir, penguburan dengan menggunakan peti mati (lungun) yang ditempatkan di atas tiang atau dalam bangunan kecil dengan posisi ke arah matahari terbit

Masyarakat Dayak Ngaju mengenal tiga cara penguburan, yakni :

1. dikubur dalam tanah
2. diletakkan di pohon besar
3. dikremasi dalam upacara tiwah.

Prosesi penguburan sekunder

1. Tiwah adalah prosesi penguburan sekunder pada penganut Kaharingan, sebagai simbol pelepasan arwah menuju lewu tatau (alam kelanggengan) yang dilaksanakan setahun atau beberapa tahun setelah penguburan pertama di dalam tanah.

2. Ijambe adalah prosesi penguburan sekunder pada Dayak Maanyan. Belulang dibakar menjadi abu dan ditempatkan dalam satu wadah.

3. Marabia
4. Mambatur (Dayak Maanyan)
5. Kwangkai/Wara (Dayak Benuaq)

Mengenal Panglima Asal Suku Dayak

Indonesia memiliki berbagai macam suku bangsa yang tentunya berbeda-beda, selain itu mereka sangat menjunjung tinggi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Salah satunya adalah Suku Dayak.

Suku Dayak tinggal di Kalimantan Timur dan masih kental aroma perjalanan hidup mereka yang sangat sederhana jauh dari kata modern. Suku Dayak memiliki berbagai macam kesenian tradisional, mulai dari tarian, alat musik, alat perang, makanan, tato, dan nama-nama panglima yang terkenal di Suku Dayak.

Untuk itu mari kita kupas bersama-sama, mulai dari nama-nama Panglima di Suku Dayak:

1. Panglima Angsa

Konon, orang-orang Dayak percaya apabila beliau “turun gunung” dari pertapaannya akan disertai suara gemuruh dari langit, yaitu guntur. Dikenal jg dengan nama Panglima Angsa (artinya Guntur/ Kilat).sangat cepat dalam menebas lawan secepat kilat.

2. Panglima Sumpit

Panglima Perang suku Dayak, tidak hanya didominasi oleh kaum tua. Namun banyak pemuda pemuda suku Dayak yang yang telah memiliki kemampuan yang tinggi.

Selain MANDAU (parang/pedang) yang merupakan senjata khas suku dayak, Sumpit merupakan senjata khas yang paling ditakuti. Dalam kehidupan nyata di pedalaman hutan Kalimantan Mandau dan Sumpit adalah sepasang senjata yang tak bisa jauh dari setiap lelaki suku Dayak. Selain untuk membela diri, kedua senjata tersebut dipakai untuk berburu, sebagai cara untuk mempertahankan hidup di hutan yang ganas.

Sumpit-sumpit asli tersebut biasanya tidak di jual, karena dianggap sebagai benda yang memiliki nilai sejarah. Jika kita melihat sumpit-sumpit yang di perjual belikan di toko-toko/gerai souvenir, hampir dipastikan sumpit tersebut hanyalah replika untuk pajangan.

3. Panglima Burung

Dalam masyarakat Dayak, dipercaya ada suatu makhluk yang disebut-sebut sangat Agung, Sakti, Ksatria, dan Berwibawa. Sosok tersebut konon menghuni gunung di pedalaman Kalimantan, dan sosok tersebut selalu bersinggungan dengan alam gaib. Kemudian sosok yang sangat di dewakan tersebut oleh orang dayak dianggap sebagai Pemimpin spiritual, panglima perang, guru, dan tetua yang diagungkan. Ialah panglima perang Dayak, Panglima Burung, yang disebut Pangkalima oleh orang Dayak pedalaman.

4. Panglima Api

Menurut salah seorang tokoh Dayak, bahwa Panglima Api berasal dari suku Dayak Iban yang keluar disaat orang Dayak sudah sangat terdesak dalam peperangan. Jika dia keluar maka semua musuh akan mati dengan api. Dalam melakukan hal tersebut dia tidak diketahui oleh manusia biasa. Tokoh inipun masih samar keberadaanya.

Setelah berperang Orang Dayak harus kembali kembali ke kampung masing-masing dan harus mengadakan ritual “mengembalikan roh Kamang Tariu” ke asalnya, supaya dia tidak lagi mengganggu manusia. dan orang yang telah “dipakai tubuhnya” dapat kembali menjalani kehidupan normal. Ini merupakan salah satu tanda orang Dayak sebenarnya mencintai perdamaian dan kehidupan normal.

Sejarah Tarian Hudoq Suku Dayak Dari Kalimantan Timur


Tari Hudoq adalah bagian ritual suku Dayak Bahau dan Dayak Modang, yang biasa dilakukan setiap selesai manugal atau menanam padi, pada bulan September – Oktober. Semua gerakannya, konon dipercaya turun dari kahyangan. Berdasarkan kepercayaan suku Dayak Bahau dan Dayak Modang, Tari Hudoq ini digelar untuk mengenang jasa para leluhur mereka yang berada di alam nirwana. Mereka meyakini di saat musim tanam tiba roh-roh nenek moyang akan selalu berada di sekeliling mereka untuk membimbing dan mengawasi anak cucunya.

Leluhur mereka ini berasal dari Asung Luhung atau Ibu Besar yang diturunkan dari langit di kawasan hulu Sungai Mahakam Apo Kayan. Asung Luhung memiliki kemampuan setingkat dewa yang bisa memanggil roh baik maupun roh jahat. Oleh Asung Luhung, roh-roh yang dijuluki Jeliwan Tok Hudoq itu ditugaskan untuk menemui manusia. Namun karena wujudnya yang menyeramkan mereka diperintahkan untuk mengenakan baju samaran manusia setengah burung. Para Hudoq itu datang membawa kabar kebaikan. Mereka berdialog dengan manusia sambil memberikan berbagai macam benih dan tanaman obat-obatan sesuai pesan yang diberikan oleh Asung Luhung.

Dari kisah itulah, nama Hudoq melekat di masyarakat Dayak Bahau dan Modang. Tarian ini dilakukan erat hubungannya dengan upacara keagamaan, dengan maksud untuk memperoleh kekuatan mengatasi gangguan hama perusak tanaman dan mengharapkan diberikan kesuburan dengan hasil panen yang banyak. Para penari Hudoq ini biasanya berjumlah 13 orang yang melambangkan 13 dewa pelindung dewa Hunyang Tenangan, dewa yang memelihara tanaman padi. Di sela-sela kerimbunan semak belukar dan pepohonan mereka mulai mengenakan kostum yang terbuat dari daun pisang hingga menutupi mata kaki dan topeng kayu yang menyerupai binatang buas.

Daun pisang adalah lambang kesejukan dan kesejahteraan. Sementara itu, warna pada Topeng Hudoq, biasanya didominasi oleh warna merah dan kuning, yang dipercaya sebagai warna kesukaan para dewa. Topeng warna merah ini merupakan gambaran perwujudan dewa Hunyang Tenangan. Sebelum tarian Hudoq dimulai, terlebih dahulu digelar ritual Napoq. Napoq adalah prosesi sakral yang wajib dilakukan setiap kali hendak menyelenggarakan Hudoq.

Ritual ini dipimpin oleh seorang Dayung yakni orang yang memiliki kemampuan supranatural untuk berkomunikasi langsung dengan para Hudoq. Dengan didampingi dua asistennya, Dayung berkeliling kampung sambil membunyikan mebang atau gong kecil. Yang berfungsi sebagai alat komunikasi penyapaan kepada para roh-roh penjaga desa, bahwa Napoq sedang dilakukan. Selanjutnya, Dayung akan memanggil dan meminta kepada penguasa alam semesta yang memiliki empat sapaan yakni Tasao, Tuhan Pencipta; Tanyie', Tuhan Penjaga; Tawe'a, Tuhan Penuntun dan Tagean, Tuhan Yang Berkuasa; agar penyelenggaraan hudoq dapat berjalan aman dan lancar.

Kemudian, para Hudoq dijamu makan siang oleh sang Dayung, dengan cara menyuapi para penari yang telah dirasuki titisan dewa yang mengenakan topeng Hudoq. Setelah makan siang, Dayung pun melakukan komunikasi dengan para Hudoq, yang disebut dengan Tengaran Hudoq. Komunikasi ini, menggunakan bahasa Dayak yang santun dan halus, yang hanya bisa diterjemahkan oleh sang Dayung. Dari komunikasi ini, biasanya diketahui kelanjutan hasil bercocok tanam, apakah panennya berhasil atau tidak. Dayung pun meminta, agar para Hudoq melindungi tanaman mereka dari serangan hama. Kemudian, ritual dilanjutkan dengan kegiatan ugaaitan atau menarik nyawa padi.

Dalam ritual ini, para Hudoq berbaris sejajar, yang urutannya disesuaikan dengan kelas sosial para dewa. Para dewa dengan kelas sosial tertinggi berada di barisan terdepan. Sambil membaca mantera, para Hudog menarik nyawa padi sebanyak tujuh kali. Tari Hudoq biasanya digelar di tengah lapangan atau sawah yang akan ditanami. Dengan ritme cukup tinggi, para penari Hudoq melakukan gerakan Nyidok atau Nyebit yaitu gerakan maju sambil menghentak kaki.

Disusul dengan gerakan Ngedok atau Nyigung yaitu menghentak¬kan kaki dengan tumit diiringi gerakan tangan yang mengibas-ngibas layaknya gerakan sayap seekor burung yang sedang terbang. Gerakan ini bermakna untuk mengusir hama penyakit agar tidak menyerang tanaman padi. Secara umum, gerakan tarian ini mengandung makna memutar ke kiri untuk membuang sial dan memutar ke kanan untuk mengambil kebaikan.

Thursday, May 1, 2014

Tari Guel Dari Aceh Memiliki Kisah Yang Unik


Tari Guel adalah salah satu khasanah budaya Gayo di Aceh. Guel berarti membunyikan. Khususnya di daerah dataran tinggi gayo, tarian ini memiliki kisah panjang dan unik. Para peneliti dan koreografer tari mengatakan tarian ini bukan hanya sekedar tari. Dia merupakan gabungan dari seni sastra, seni musik dan seni tari itu sendiri.

Dalam perkembangannya, tari Guel timbul tenggelam, namun Guel menjadi tari tradisi terutama dalam upacara adat tertentu. Guel sepenuhnya apresiasi terhadap wujud alam, lingkkungan kemudian dirangkai begitu rupa melalui gerak simbolis dan hentakan irama. Tari ini adalah media informatif. Kekompakan dalam padu padan antara seni satra, musik/suara, gerak memungkinkan untuk dikembangkan (kolaborasi) sesuai dengan semangat zaman, dan perubahan pola pikir masyarakat setempat. Guel tentu punya filosofi berdasarkan sejarah kelahirannya. Maka rentang 90-an tarian ini menjadi objek penelitian sejumlah surveyor dalam dan luar negeri.

Pemda Daerah Istimewa Aceh ketika itu juga menerjunkan sejumlah tim dibawah koodinasi Depdikbud (dinas pendidikan dan kebudayaan), dan tersebutlah nama Drs Asli Kesuma, Mursalan Ardy, Drs Abdrrahman Moese, dan Ibrahim Kadir yang terjun melakukan survey yang kemudian dirasa sangat berguna bagi generasi muda, seniman, budayawan untuk menemukan suatu deskripsi yang hampir sempurna tentang tari guel. Sebagian hasil penelitian ini yang saya coba kemukakan, apalagi memang dokumen/literatur tarian ini sedikit bisa didapatkan.


Mimpi Sengeda

Berdasarkan cerita rakyat yang berkembang di tanah Gayo. tari Guel berawal dari mimpi seorang pemuda bernama Sengeda anak Raja Linge ke XIII. Sengeda bermimpi bertemu saudara kandungnya Bener Meria yang konon telah meninggal dunia karena pengkhianatan. Mimpi itu menggambarkan Bener Meria memberi petunjuk kepada Sengeda (adiknya), tentang kiat mendapatkan Gajah putih sekaligus cara meenggiring Gajah tersebut untuk dibawa dan dipersembahakan kepada Sultan Aceh Darussalam. Adalah sang putri Sultan sangat berhasrat memiliki Gajah Putih tersebut.

Berbilang tahun kemudian, tersebutlah kisah tentang Cik Serule, perdana menteri Raja Linge ke XIV berangkat ke Ibu Kota Aceh Darussalam (sekarang kota Banda Aceh). Memenuhi hajatan sidang tahunan Kesutanan Kerajaan. Nah, Sengeda yang dikenal dekat dengan Serule ikut dibawa serta. Pada saat-saat sidang sedang berlangsung, Sengeda rupanya bermain-main di Balai Gading sambil menikmati keagungan Istana Sultan.

Pada waktu itulah ia teringat akan mimpinya waktu silam, lalu sesuai petunjuk saudara kandungnya Bener Meria ia lukiskanlah seekor gajah berwarna putih pada sehelai daun Neniyun (Pelepah rebung bambu), setelah usai, lukisan itu dihadapkan pada cahaya matahari. Tak disangka, pantulan cahaya yang begitu indah itu mengundang kekaguman sang Puteri Raja Sultan. Dari lukisan itu, sang Putri menjadi penasaran dan berhasrat ingin memiliki Gajah Putih dalam wujud asli.

Permintaan itu dikatakan pada Sengeda. Sengeda menyanggupi menangkap Gajah Putih yang ada dirimba raya Gayo untuk dihadapkan pada tuan puteri dengan syarat Sultan memberi perintah kepada Cik Serule. Kemudian dalam prosesi pencarian itulah benih-benih dan paduan tari Guel berasal: Untuk menjinakkan sang Gajah Putih, diadakanlah kenduri dengan meembakar kemenyan; diadakannya bunyi-bunyian dengan cara memukul-mukul batang kayu serta apa saja yang menghasilkan bunyi-bunyian. Sejumlah kerabat Sengeda pun melakukan gerak tari-tarian untuk memancing sang Gajah.

Setelah itu, sang Gajah yang bertubuh putih nampak keluar dari persembunyiaannya. Ketika berpapasan dengan rombongan Sengeda, sang Gajah tidak mau beranjak dari tempatnya. Bermacam cara ditempuh, sang Gajah masih juga tidak beranjak. Sengeda yang menjadi pawang pada waktu itu menjadi kehilangan ide untuk menggiring sang Gajah.

Lagi-lagi Sengeda teringat akan mimpi waktu silam tentang beberapa petunjuk yang harus dilakukan. Sengeda kemudian memerintahkan rombongan untuk kembali menari dengan niat tulus dan ikhlas sampai menggerakkan tangan seperti gerakan belalai gajah: indah dan santun. Disertai dengan gerakan salam sembahan kepada Gajah ternyata mampu meluluhkan hati sang Gajah. Gajah pun dapat dijinakkan sambil diiringi rombongan. Sepanjang perjalanan pawang dan rombongan, Gajah putih sesekali ditepung tawari dengan mungkur (jeruk purut) dan bedak hingga berhari-hari perjalanan sampailah rombongan ke hadapan Putri Sultan di Pusat Kerajaan Aceh Darussalam.

Begitulah sejarah dari cerita rakyat di Gayo, walaupun kebenaran secara ilmiah tidak bisa dibuktikan, namun kemudian Tari Guel dalam perkembangannya tetap mereka ulang cerita unik Sengeda, Gajah Putih dan sang Putri Sultan. Inilah yang kemudian dikenal temali sejarah yang menghubungkan kerajaan Linge dengan Kerajaan Aceh Darussalam begitu dekat dan bersahaja.

Begitu juga dalam pertunjukan atraksi Tari Guel, yang sering kita temui pada saat upacara perkawinan, khususnya di Tanah Gayo, tetap mengambil spirit pertalian sejarah dengan bahasa dan tari yang indah: dalam Tari Guel. Reinngkarnasi kisah tersebut, dalam tari Guel, Sengeda kemudian diperankan oleh Guru Didong yakni penari yang mengajak Beyi (Aman Manya ) atau Linto Baroe untuk bangun dari tempat persandingan (Pelaminan). Sedangkan Gajah Putih diperankan oleh Linto Baroe (Pengantin Laki-laki). Pengulu Mungkur, Pengulu Bedak diperankan oleh kaum ibu yang menaburkan breuh padee (beras padi) atau dikenal dengan bertih.

Penari
Di tanah Gayo, dahulunya dikenal begitu banyak penari Guel. Seperti Syeh Ishak di Kampung Kutelintang-Pegasing, Aman Rabu di kampung Jurumudi-Bebesan, Ceh Regom di Toweren. Penari lain yang kurun waktun 1992 sampai 1993 yang waktu itu masih hidup adalah Aman Jaya-Kampung Kutelintang, Umer-Bebesen, Syeh Midin-Silih Nara Angkup, Safie-Gelu Gele Lungi-Pegasing, Item Majid-Bebesen. Mereka waktu itu rata-rata sudah berusia 60-an. Saat ini sudah meninggal sehingga alih generasi penari menjadi hambatan serius.

Walaupun ada penari yang lahir karena bakat sendiri, bukan langsung diajarkan secara teori dan praktik oleh para penari pakar seperti disebutkan, keterampilan menari mereka tak sepiawai para pendahulunya. Begitu juga pengiring penggiring musik tetabuhan seperti Rebana semakin langka, apalagi ingin menyamakan dengan seorang dedengkot almarhum Syeh Kilang di Kemili Bebesen.


Tari Guel dibagi dalam empat babakan baku. Terdiri dari babak Mu natap, Babak II Dep, Babak III Ketibung, Babak IV Cincang Nangka. Ragam Gerak atau gerak dasar adalah Salam Semah (Munatap ), Kepur Nunguk, Sining Lintah, Semer Kaleng (Sengker Kalang), Dah-Papan. Sementara jumlah para penari dalam perkembangannya terdiri dari kelompok pria dan wanita berkisar antara 8-10 ( Wanita ), 2-4 ( Pria ). Penari Pria dalam setiap penampilan selalu tampil sebagai simbol dan primadona, melambangkan aman manyak atau lintoe Baroe dan Guru Didong. Jumlah penabuh biasanya minimal 4 orang yang menabuh Canang, Gong, Rebana, dan Memong. Tari Guel memang unik, pengalaman penulis merasakan mengandung unsur dan karakter perpaduan unsur keras lembut dan bersahaja. Bila para pemain benar-benar mengusai tarian ini, terutama peran Sengeda dan Gajah Putih maka bagi penonton akan merasakan ketakjuban luar biasa. Seolah-olah terjadinya pertarungaan dan upaya memengaruhi antara Sengeda dan Gajah Putih. Upaya untuk menundukkan jelas terlihat, hingga kipasan kain kerawang Gayo di Punggung Penari seakan mengandung kekuatan yang luar biasa sepanjang taarian. Guel dari babakan ke babakan lainnya hingga usai selalu menawarkan uluran tangan seperti tarian sepasang kekasih di tengah kegundahan orang tuanya. idak ada yang menang dan kalah dalam tari ini, karena persembahan dan pertautan gerak dan tatapan mata adalah perlambang Cinta. Tapi sayang, kini tari Guel itu seperti kehilangan Induknya, karena pemerintah sangat perhatian apalagi gempuran musik hingar modern seperti Keyboard pada setiap pesta perkawinan di daerah itu.


sumber : wikipedia
◄ Posting Baru Posting Lama ►
 

Total Pageviews

Copyright 2013 Macam-Macam Tarian di Indonesia: May 2014 Template by Hand's. Powered by Blogger