Thursday, January 30, 2014

Sejarah Tari Mung Dhe Asal Nganjuk



Mung dhe merupakan salah satu seni tari yang berasal dari Desa Garu Kecamatan Baron Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Kelahiran kesenian Mung Dhe terkait erat dengan ontran-ontran di Jawa Tengah pada awal abad ke-19, yakni terjadinya peperangan Diponegoro (1923-1930). Perjuangan Pangeran Diponegoro melawan bangsa kolonial di Jawa Tengah waktu itu mendapat kegagalan. Pengikut Diponegoro tercerai-berai dan tersebar di Jawa Tengah hingga Jawa Timur.

Setelah kalah perang, para prajurit Diponegoro terpencar , ibaratnya sebagai buronan, mereka selalu diawasi oleh Belanda. Para prajurit yang masih tersisa berupaya menyusun kekuatan. Namun upaya itu tidak berani secara terang-terangan melainkan melalui penyamaran, yaitu dengan berpura-pura menari dan mengamen keliling.

Penciptaan kesenian ini dimaksudkan untuk mengumpulkan prajurit Diponegoro yang tersebar di berbagai daerah. Cara seperti ini mereka tempuh untuk mengelabui Belanda yang selalu mengikuti dan mengintai ke mana sisa-sisa prajurit Diponegoro berada. Penyamaran mereka ternyata tidak diendus oleh Belanda. Belanda tidak mengetahui kalau para anggota kesenian Mung Dhe adalah prajurit yang sedang berlatih baris-berbaris dan latihan perang. Pimpinan prajurit menyamar dengan menggunakan topeng untuk menutup wajahnya sambil memainkan gerakan-gerakan lucu sebagai Penthul dan Tembem.

Untuk mengumpulkan, sang ketua atau sang komandan memukul instrumen gamelan yang disebut dengan penitir dan yang menghasilkan bunyi mung, dipukul sebanyak tiga kali. Ketentuannya, mung pertama sebagai tanda persiapan, mung kedua tanda berkumpul, dan mung ketiga mulai bermain sedangkan bunyi dhe dihasilkan dari alat pengereng (pengiring) yang bernama Bendhe (kempul kecil). Kesenian ini kemudian keliling dan mengamen dari satu tempat ke tempat lainnya. Tak ayal, kesenian ini kemudian menjadi tontonan rakyat yang digemari dan berkembang dengan pesat.

Tari mung Dhe bertemakan kepahlawanan dan cinta tanah air , heroik patriotisme, sehingga gerakan tari di ambilkan dari gerakan keprajuritan dan bela diri (silat). Pada dasarnya, cerita tari mung dhe menggambarkan tari prajurit yang sedang berlatih perang yang lengkap dengan orang yang membantu dan memberi semangat kepada kedua belah pihak yang sedang latihan . Pihak yang membantu dan memberi semangat , di sebut botoh . Botohnya ada dua ,yaitu penthul untuk pihak yang menang dan tembem untuk pihak yang kalah.

Mung Mung Dhe
Kesenian ini disebut mung dhe atau mongdhe berawal dari paduan bunyi dua alat musik tradisional yang mengiringinya. Alat musik pengiring itu adalah penitir, semacam kempul yang berbunyi “mung”, dan bendhe, semacam kempul yang berbunyi “dhe”. Dari perpaduan bunyi itulah, masyarakat menyebut kesenian itu mongde. Tetapi, dari literatur yang ada, masyarakat lebih suka menuliskannya dengan Mung Dhe. Selain kedua alat tersebut, alat musik pengirin lainnya adalah jur semacam tambur, kempyang atau kencer,timplung, kendang, dan stling.

Pada awalnya, kesenian ini melibatkan 14 pemain dengan peran masing-masing. Dua orang prajurit, dua orang pembawa bendera, dua orang botoh, dan delapan orang pemain dan pengiring. Namun, pada perkembangannya Seni Mongde tidak lagi melibatkan 14 orang, tapi hanya 12 pemain. “Pengurangan dua pemain itu disesuaikan dengan jumlah alat musik pengiring.

Ketika mengabtraksikan sebuah lakon, kesenian ini tidak memerlukan ragam gerak yang banyak. Seni keprajuritan ini hanya memiliki delapan gerak. “Jadi, walaupun dipentaskan dalam durasi yang lama, para pemain hanya akan melakukan gerakan tertentu saja yang diulang-ulang.

Delapan gerak itu, menggambarkan kegiatan prajurit yang sedang berlatih pedang. Ada gerak jalan berpedang, yaitu jalan dengan pedang diputar-putar di depan dada, sementara tangan kiri di pinggang atau malang kerik dalam istilah Jawa. Ada gerak maju muncur, yakni gerakan seperti jalan berpedang dengan gerakan maju mundur. 

Gerakan berikutnya tampak lebih garang, seperti gontokan, perangan lombo rangkep, perangan rangkep, dan perang berhadapan, dan srampangan. Gerak gontokan menggambarkan adu kekuatan di tempat sambil saling merapatkan bahu kanan-kiri dengan pedang. Perang lombo rangkep melukiskan gerak pedang ditepiskan pada tanah kemudian saling serang mulai tempo lambat hingga kian cepat (lombo rangkep).

Gerak perang rangkep mempertontonkan gerak prajurit yang saling berhadapan untuk adu kekuatan pedang sambil saling serang maju-mundur. Gerak perang berhadap menunjukkan prajurit adu pedang atas-bawah secara cepat, lalu pedang ditepiskan pada tanah diadu. Dan gerak srampangan melukiskan penari saling menyerang dengan melemparkan pedang pada kaki lawan secara bergantian dan saling menangkis. 

Tangkisan yang pertama di atas kepala dan yang kedua di depan dada. Diantara semua gerak itu, ada gerak yang tak pernah ditinggalkan, yaitu kirapan. Kirapan adalah gerak jalan berbaris sambail diiringi musik Mongde. Gerak ini menggambarkan kebersamaan. Prajurit yang hendak menuju atau sedang perang harus dalam satu barisan, tidak boleh cerai-berai.

Penthul & Tembem
Hal unik pada kesenian Mongde diantaranya terletak pada tata rias wajah dan busana para pemainnya. Tata rias itu menggambarkan seorang prajurit bangsawan yang gagah. Kegagahan itu dibentuk dengan penambahan atau mempertebal bagian tertentu pada wajah, seperti alis mata, kumis, godhek dan jawas. Tetapi untuk peran botoh yaitu Penthul memakai topeng warna putih, sedangkan Tembem menggunakan topeng warna hitam,” lanjutnya.

Tata busana para pemain, pada dasarnya sama menggunakan busana seorang prajurit. Bedanya, pada masing-masing peran. Warna kostum banyak didominasi oleh perpaduan warna hitam, merah, dan putih. Namun, pada saat ini, kostum yang dipakai para pemain sudah banyak mengalami perubahan.

Busana asli seorang prajurit, misalnya, adalah irah-irahan merah agak tinggi, samping, kace berwarna merah, baju putih, memakai klat bahu, keris selendang merah, stagen hitan, epek timang, berkain kuning, jarit parang putih, dan celana panji hitam. Sekarang, prajurit memakai blangkon hitam bervariasi kuning keemasan dengan diikat udheng gilig (merah-putih), kace merah, selendang merah, baju putih, memakai keris, stagen hitam, sampur merah dan putih, jarit parang kuning dan celana panji hitam.

Busana pembawa bendera juga demikian. Busana aslinya memakai irah-irah merah agak pendek dengan variasi kuning keemasan, sumping, kace berwarna merah, baju putih, memakai klat bahu, selempang merah, stagen hitam, epek hitam, kain kuning, jarit parang putih dan celana panjang putih. Namun kini, busananya sama dengan busana baru prajurit. Bedanya, tidak memakai sampur merah dan putih.

Busana pembawa bendera seperti ini sama dengan busana baru para pengiring. Padahal, busana asli pengiring memakai udheng cadhung hitam yang diikat udheng gilig merah putih, kace berwarna merah, baju putih, keris, selempang merah, stagen hitam, epek timang, kain kuning, jarit parang putih, dan celana panji hitam.

Busana pemeran botoh, yaitu Penthul dan Tembem, lebih kompleks lagi. Busana asli pemeran Penthul memakai udheng cadhung hitam dengan diikat udheng gilig merah putih, kace merah, sampur merah dikalungkan pada leher, baju lengan panjang putih, keris, stagen hitam, epek timang, kain kuning, jarit parang putih dan celana panjang putih. Nyaris sama dengan busana asli Tembem kecuali topngnya hitam dan dan tidak memakai keris, serta celana panjangnya berwarna hitam.

Busana asli itu kini berubah menjadi seperti busana baru pembawa bendera. Hanya, busana Penthul ada tambahan topeng warna putih dan sampur putih yang dikalungkan pada leher. Sementara Tembem memakai blangkon ikan kepala warna merah putih, topeng hitam, sampur hijau dikalungkan pada leher, baju lengan panjang hitam, dan celana kombor hitam.

Begitu detilnya kostum dan tata rias pemain kesenian Mongde, karena jenis kostum itu menggambarkan nilai-nilai luhur. Bagi mereka yang berperan kalah memakai kace hitam, sampur hijau, dan topeng hitam. Sementara pihak yang menang memakai maca merah, sampur putih, dan topeng putih. Hal tersebut mengisyaratkan, kejahatan yang dilambangkan dengan hitam akan kalah pada akhirnya melawan kebaikan dengan lambang putih.

Sempat Tenggelam
Menelusuri perkembangan seni khas Nganjuk ini tak beda dengan kesenian tradisi di berbagai daerah lainnya. Untuk waktu yang lama, kesenian ini pernah tenggelam dan kalah pamor dengan kesenian populer. Beruntung pada 1982 dilakukan penggalian kembali dari daerah asalnya. Setelah ditemukan, oleh penggiat seni di SDN Garu II, Kecamatan Baron, kesenian ini dipelajari dan dikembangkan. Dari SDN inilah Seni Mongde mulai dikenal oleh masyarakat luas di Kabupaten Nganjuk.

Seiring waktu, pada tahun 1985, atas prakarsa Bupati Ngajuk (waktu itu dijabat Drs. Ibnu Salam), dikumpulkanlah para tokoh seni tari Nganjuk dan seniman dari Yogyakarta. Mereka diminta untuk mengadakan pembaruan seperlunya tanpa mengurangi keasliannya. Akhirnya ditemukanlah gerak tari yang enak ditonton dan sekarang digemari dan sudah dikenal masyarakat luas.

0 comments:

Post a Comment

◄ Posting Baru Posting Lama ►
 

Total Pageviews