Sunday, October 27, 2013

Daftar Nama Warisan Tradisi Suku-Suku Petinggal di Papua



Tanah Papua Indonesia memiliki jutaan pesona. Dimulai dari lanskap alam yang meliputi pegunungan, lembah, sungai, danau pantai dan bawah laut serta isinya sampai perhelatan seni-budaya yang dapat mencuri perhatian dunia. Pesona yang bisa kita nikmati ini tak lepas dari prinsip hidup orang papua yang menyelaraskan diri bersama alam.

Kearifan lokalnya diteruskan secara turun temurun. Dilaksanakan dalam kehidupan sehari- hari dan bersanding dengan perkembangan jaman. Papua yang begitu pesona memiliki beberapa suku yang terdapat di dalamnya, yang memiliki perbedaan budaya. keberadaan mereka perlu kita kenali dan ketahui.

Suku Matbat : Menjaga Laut Dengan Samsom
Rumah Suku Matbat ( Foto: Ucu Sawaki) 
Raja Ampat, namanya begitu polpuler di dunia Pariwisata Nasional maupun Internasional, Raja Ampat  begitu memikat pesonanya hingga dapat mencuri perhatian banyak orang. Wisata bahari dan surganya para pengelam merupakan julukan untuk si Raja Ampat. 

Perlu kita ketahui selain keindahan pesona alam bahari dari Kepulauan Raja Ampat. Raja Ampat memiliki tradisi yang secara turun temurun dilakukan oleh suku yang tinggal di Kepulauan Raja Ampat. Tradisi ini bisa di bilang berpengaruh besar terhadap keberadaan ekosistem perairan Raja Ampat.

Suku Matbat merupakan suku yang ada di Kepulauan Raja Ampat yang dapat kita jumpai di Kampung Magey, Kampung Lenmalas, Kampung Salafen, Kampung Atkari, Kampung Folley, Kampung Tomolol, Kampung Kapatcool dan Kampung Aduwei. Selain Suku Matbat kita juga dapat menjumpai suku-suku lainnya.

Di Pulau Salwati misalnya terdapat Suku Moi ( Moi-Maya), Suku Fiat , Suku Tepin, Suku Waili, Suku Domu, dan Suku Butlih. Di Pulau Waigeo terdapat Suku Laganyan, Suku Waiyai, Suku Kawe, Suku Ambel, Suku Biak, dan suku- suku lain seperti Suku Bugis dan Buton.

Disinilah suku-suku yang tinggal di Kepulauan Raja Ampat secara bersama membuat kesepakatan untuk menjaga kelestarian lingkungan laut. Bahwasannya di dunia modern saat ini masalah lingkungan menjadi sebuah perbincangan dan masalah serius bagi dunia namun suku-suku petinggal di Raja Ampat sudah menyikapinya dari sejak dahulu. Sebab alam yang memberi berkah bagi mereka maka mereka patut pula menjaganya.

Kesepakatan berupa adat istiadat setempat itu di kenal dengan istilah Sasi atau Samsom. Secara harfiah Samsom dalam bahasa Suku Matbat yang berarti larangan. Tradisi Samsom merupakan sebuah aturan bersama bahwa masyarakatnya dilarang mengganggu satu wilayah dalam kurun waku tertentu. Ritual Samsom dilaksanakan setahun sekali selama kurun waktu enam hingga tujuh bulan lamanya. Ritual Samsom ini di pimpin oleh tokoh masyarakat yang disebut Mirinyo.

Pelaksanaan upacara adat di mulai ketika seorang Mirinyo membacakan mantra yang ditunjukan kepada para penjaga laut. Suku Matbat percaya bahwa para penjaga laut itulah yang memberikan kesuburan kepada mahluk hidup laut sehingga hasilnya akan berlimpah.
Mantra-mantra dibacakan saat matahari terbit, Mirinyo berdiri di depan kampung dan menghadap laut lalu menancapkan tanda larangan yang disebut Gasamsom. Tanda larangannya berupa batang pohon salam yang daunnya di pangkas. Cabang dan rantingnya dibiarkan utuh untuk menggantungkan sesajen seperti Sababete berupa rokok, pinang, tembakau, dan carik-carik kain bewarna merah. Mirinyo juga menancapkan dua buah Gasamsom pada ujung-ujung kampung dan semuanya menghadap ke laut. 

Disaat itulah larangan berlaku dan setiap penduduk asli ataupun pendatang dilarang untuk mengambil hasil laut hingga Sasi atau Samsom selesai. Bagaimana untuk yang melanggar ?. Untuk yang melanggar aturan, jika dahulu diberikan hukuman berupa cambuk dan pasung, namun saat ini diganti dengan pekerjaan-pekerjan yang bermanfaat untuk kepentingan sosial.
Dalam tradisi Samsom tidak adanya pengawasan oleh pemerintahan adat hanya saja ini merupakan menjadi tanggung jawab seluruh warga. Dengan maksud bagi warga yang melihat pelanggaran wajib melaporkan kepada pemimpin adat.

Mereka percaya bila waktunya tiba, akan di tandai dengan perubahan alam seperti angin tidak lagi bertiup kencang, dan kemudian Samsom dinyatakan dibuka. Waktu pelaksanaan juga di pagi hari menjelang matahari terbit dan seluruh warga menghadap laut. Kepala adat yang disebut raja mengucapkan mantra-mantra kepada penjaga, penghuni laut, serta leluhur yang telah meninggal. Isinya mengucapkan rasa syukur atas perlindungan selama masa Samsom, terima kasih atas kesuburan, serta permohonan agar warga Kampung Lilinta tidak terkena musibah selama mereka mengumpulkan hasil laut. Lalu Mirinyo meniupkan Kulit Triton (sejenis cangkang kerang) dengan keras sebagai tanda masa Samsom telah berakhir.

Pada hari pertama pembukaan Samsom warga yang masih sehat dan kuat, laki – laki , perempuan, anak – anak langsung menyerbu laut, mereka mengambil hasil dari laut seperti kerang, Ikan, rumpu laut dan lainnya. Dalam pengambilan juga memiliki aturannya seperti di hari pertama dilarang melewati batas perairan yang ditentukan dari pesisir pantai. Pada hari kedua warga dapat mengambil hasil laut di zona berikutnya, yang agak jauh dari pesisir pantai. Dan di hari ketiga warga boleh mengambil hasil laut di wilayah perairan yang jauh.

Suku Matbat sangat peduli dengan pelestarian lingkungan laut, sesungguhnya mata pencaharian utama mereka adalah bercocok tanam dan mencari sagu. Dari tradisi Samsom sepertinya Suku Matbat memiliki pandangan kedepan tentang perubahan iklim yang tak menentu. Untuk itu mereka harus bisa hidup di dua alam. Manjadi petani sekaligus pelaut.
Ini merupakan Kepulauan yang ajaib di mana suku – suku petinggalnya mampu menyerap sistem pengetahuan modern secara cepat juga mampu dalam mempertahankan adat istiadat setempat. Di situlah perubahan demi perubahan terjadi tanpa harus meninggalkan identitas diri.

Sebuah sistem konservasi alam yang di kenal dengan Sasi atau Samsom memiliki andil besar terhadap pelestarian alam di segitiga koral yang menjadi jantung kekayaan terumbu karang dunia yaitu Raja Ampat, dengan tradisi ini sehingga keberadaan populasi biota laut dapat terjaga dan tetap lestari. Budaya  yang dibangun dari kearifan lokal kampung-kampung kecil di Kepulauan Raja Ampat patut di lestarikan!.

Suku Biak : Dalam Pesta Meneguhkan Bersama

Suku Matbay dengan sistem koservasi alamnya yang membawa pelestarian dalam lingkungan lautnya. Kini Suku Biak membawa tradisi – tradisi secara turun temurun dari leluhurnya dengan menuangkan dalam setiap gerak kehidupannya dalam sebuah lagu dan pesta.

Suku Biak menyebutkan pusat kehidupan merupakan lagu dan pesta dengan istilah Munara atau Wor Biak. Jika seorang di undang untuk mengambil bagian dalam pesta, menari, dan bernyanyi, ia harus datang. Kehadiran seseorang dalam sebuah Wor menunjukan kepedulian terhadap sesama, memperkuat persatuan, dan juga merasakan apa yang dirasakan orang lain.

Pesta ini terbagi dalam dua bagian, Wor Sraw yang berarti pesta kecil, dan Munara atau Wor Veyeren artinya pesta besar. Kata Munara atau Wor mengandung pengertian pesta. Terdapat 18 pesta kecil atau Wor Sraw dalam Suku Biak dan 11 pesta besar Munara atau Wor Veyeren.

Munara isya vave oser er mnu isya kako. Semangat kebersamaan, rasa kasih sayang, dan rasa memiliki terhadap kampung menunjukan bahwa Muara atau Wor Biak merupakan cara atau kearifan lokal Suku Biak untuk menjawab segala rintangan kehidupan.
Itulah sebabnya orang Biak percaya malaksanakan upacara Wor akan mendatangkan rejeki dan berkah bagi keluarga dan masyarakat sekitar. Jika tidak sistem kehidupan dan aktivitas hidup orang Biak akan lumpuh total.

Suku Sebyar : Tujuh Klan di Desa Tomu      

Sebuah desa kecil berdiri di pinggir anak sungai Gonggo, inilah desa Tomu, salah satu tempat tinggal Suku Sebyar di kawasan Teluk Bintuni. Desa ini terletak di bagian utara Kecamatan Aranday, Kabupaten  Manokwari, Untuk mencapai desa bisa menggunakan perahu sekitar 30 menit. Atau berjalan kaki sejauh empat kilometer jarak Aranday-Desa Tomu

Menurut cerita Suku Sebyar berasal dari Gunung Nabi. Gunung yang disakralkan. Lalu menyebar ke daerah hutan dan rawa-rawa setelah terjadi peristiwa air bah. Mereka menggunakan rakit bamboo untuk mencari tempat baru. Nenek moyang Suku Sebyar dari Klan Kosepa bertemu dengan klan Nawarisa yang mengajak mereka membuka lahan baru. Inilah Desa Tomu yang artinya tempat bertemu.

Ada sekitar tujuh klan Suku Sebyar yang tinggal di  Desa Tomu,yakni Kosepa,Kaitam, Efum, Gegetu, Nawarisa, Inai, dan Kinder. Tujuh klan tersebut termasuk dalam sub suku Dambad. Sementara Suku Kembran terdapat 18 klan diantaranya, Tabyar, Urbon, Nabi,Iribaram,Bauw. Masing-masing klan memiliki dan mengetahui Hak Ulayat.

Jika salah satu warga ternyata bukan pemilik hak ternyata mengambil sagu di tanah ulayat klan lain, ia wajib memberitahu klan pemiliknya. Jika tidak ia akan di hukum secara adat, meski demikian tetap ada hutan bersama yang dapat digunakan oleh seluruh klan.

Di Tomu setiap klan bekerja secara bersama saat mengambil sagu, upacara adat , mengurus orang meninggal dan serta membuat kelompok nelayan dan koperasi. Begitu juga saat salah satu anggota keluarga yang akan melakulan pernikahan , kerjasama ini akan semakin terlihat. 

Suku Kombay – Koroway : Rumah Pohon, Api Suci dan Pesta Ulat Sagu

Suku Kombay – Koroway mendiami rimba raya Papua di wilayah Citak Mitak, Kabupaten Mappi yang merupakan perbatasan Kabupaten Yahukimo,Kabupaten Jaya wijaya, dan Kabupaten Boven Digoel.

Kedua Suku ini disebut-sebut sebagai suku terakhir di jaman batu yang masih ada di dunia. Namun tidak berarti suku Kombay-Koroway berinteraksi dengan dunia luar. Banyak dari mereka telah membangun pemukiman baru di Yaniruma, di tepi Sungai Becking,Mu dan Basma. Ada juga yang tinggal di Mabul, tepi sungai Eiladen dan Khaiflambolup . 

Dari Kampung tersebut kita bisa untuk melakukan penjelajahan ke dunia Kombay - Koroway
Kehidupan Suku Kombay – Koroway yang masih tinggal di rimba raya menjadi tujuan para wisatawan yang ingin belajar hidup dengan cara menyatu dengan alam. Perkampungan kecil Kombay – Koroway tidak seperti Kampung Suku Dania tau Asmat.Rumah mereka unik dibangun diatas pohon dengan ketinggian 10-30 meter dari permukaan tanah.

Alasan dibangun seperti itu adalah untuk menghidari dari binatang buas juga serangan-serangan dari suku lain dahulunya. Rumah ini di bangun dengan susunan kayu-kayu dengan ikatan rotan, dan dinding dengan bilahan bamboo juga kulit kayu. Dan atap rumah mereka menggunakan daun sagu. Untuk menaiki rumah menggunakan tangga yang lurus terbuat dari 
batang-batang kayu.

Pada waktu tertentu wagra berkumpul untuk mengadakan pesta, nama pestanya adalah Pesta Ulat Sagu. Pesta ini berfungsi untuk mengikatkan tali persaudaraan sesama mereka. Pesta ini juga berfungsi untuk mengetahui silsilah keluarga dan katurunan. Pesta dilakukan di sebuah rumah panjang. Di dalam rumah ini mereka mengucapkan rasa syukur kepada dewa yang mereka percayai yaitu Dewa Refaru.

Pesta dilakukan antara 5-10 tahun sekali dan berlangsung selama semalam,tidak boleh lebih. Pesta ini merupakan peristiwa penting bagi Suku Kombay-Koroway. Pesta ini dimulai dengan penebangan pohon untuk pertumbuhan ulat sagu. Lalu melumuri dengan lemak babi dan bulu burung pada akar pohon. Disaat bekerja mereka sambil bernyanyi dan membacakan mantra.   

Setelah lebih kurang enam minggu berselang mereka panen. Ulat-ulat sagu sebesar ibu jari dikumpulkan lalu dibawa kerumah, ulat sagu di bungkus dalam daun sagu dan di ikat dengan rotan. Induk ulat sagu di bungkus dan di ikat pada tiang pusat yang berdiri di tengah ruang pesta.

Hal yang tak kalah penting dalam prosesi pesta ulat sagu adalah menyalakan api suci. Api dinyalakan oleh seorang laki-laki dari pihak keluarga yang pesta. Orang ini disebut “ penjaga api” sejak pertama kali dinyalakan api tidak boleh padam. Api ini diletakan pada tungku di dalam rumah panjang, posisinya tepat di samping tiang pusat. Hanya penjaga api yang boleh masuk ke dalam, keberhasilan Pesta Ulat Sagu terletak pada orang penting ini.

Saat menghadiri pesta suku kombay-koroway menghias diri dengan berbagai aksesoris, kalung, anting – anting yang terbuat dari gigi hewan.setelah itu mereka makan bersama santapannya ulat sagu juga makanan berbahan sagu, daging babi, umbi-umbian dan tanaman lain yang menjadi makanan para suku kombay-koroway. Pesta ini digelar agar kelanjutan hidup suku terjamin. Jauh dari gangguan dan bencana, selain itu sebagai sebuah momentum pengembalian semangat kehidupan.

Adat istiadat yang dimiliki setiap suku di tanah papua selalu berkaitan dengan lingkungan tempat tinggal mereka. Mereka mengatur waktu, wilayah, dan bagaimana cara mengolah alam yang diatur dalam pemerintahan adat mereka. Selain itu mereka juga melihat interaksi sesama kelompok dan orang di luar kelompok. Tak hanya dalam sebuah upacara melainkan dalam kehidupan keseharian. Mereka yang memeluk agama dan memegang teguh ajaran nenek moyang percaya sepenuhnya bahwa alam semesta ini perlu dijaga. Sebagai pemberian dan amanah dari sang pencipta. Pada akhirnya system budaya yang berlaku membentuk jati diri orang Papua.

0 comments:

Post a Comment

◄ Posting Baru Posting Lama ►
 

Total Pageviews