Wednesday, October 2, 2013

Nilai Spiritual di dalam Wayang Topeng Malang



Gerakan lemah gemulai dengan wajah tertutup topeng dan aksesori yang beragam diiringi alunan gamelan seolah-olah mampu membawa penikmat kembali ke suasana masa lampau.

Tari tradisional yang sarat nuansa spiritual ini menggambarkan nilai-nilai kehidupan yang luhur serta nilai-nilai tentang keselarasan hidup dengan alam dan dunia gaib. Itulah yang pertama kali tersirat dalam satu di antara kesenian kebanggaan Kota Malang, Jawa Timur, tari wayang topeng atau tari topeng.

Wayang topeng Malang adalah sebuah kesenian kuno yang usianya lebih tua dari keberadaan Kota Apel ini. Itulah sebabnya, kesenian ini tak dapat dipisahkan dari perjalanan sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa Timur.

Dalam catatan sejarah, topeng telah dikenal semenjak zaman kerajaan tertua di Jatim yaitu Kerajaan Gajayana (760 Masehi) yang berlokasi di sekitar kota Malang. Tepatnya, kesenian ini telah muncul sejak zaman Mpu Sendok. Saat itu, topeng pertama terbuat dari emas, dikenal dengan istilah puspo sariro (bunga dari hati yang paling dalam) dan merupakan simbol pemujaan Raja Gajayana terhadap arwah ayahandanya, Dewa Sima.

Kesenian ini kemudian terus berkembang pesat saat zaman Kerajaan Majapahit serta masa penyebaran Islam oleh para wali. Tak heran, beberapa dekade kemudian wayang topeng berkembang menjadi kesenian yang sangat populer di Malang. Bahkan, wayang topeng menjadi sebuah kesenian yang identik dengan Kota Malang.

Namun, seiring perkembangan zaman, kesenian ini kemudian tergusur oleh arus budaya modern. Kondisi politik pun menjadi penyebab tergusurnya kebudayaan yang bernilai tinggi ini. Saat konflik politik pada 1965, membuat berbagai kesenian rakyat identik dengan LEKRA–organisasi kesenian di bawah Partai Komunis Indonesia. Tak pelak, pentas wayang topeng sempat dilarang di awal pemerintahan Presiden Soeharto.

Dengan berbagai latar belakang sejarah itulah, seni topeng wayang dengan aura spritualnya kini hanya tersisa di Desa Kedungmonggo, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang, Jatim.

Musik rebab Kedungmonggo, mungkin menjadi sebuah prototipe pedesaan di Malang pada masa silam. Desa dengan nuansa agraris yang hidup dengan tradisi wayang topeng, masih melekat kuat. Tak heran, wayang topeng bagi warga desa ini bukan sekadar sebuah benda seni.

Tapi, juga sebuah penghidupan dan keyakinan spiritual. Di Kedungmonggo sendiri membuat topeng, menarikan atau menjadi panjak atau penabuh karawitan sekalipun harus dilandasi keyakinan spiritual yang kuat. Pembuatan topeng, misalnya.

Dalam proses pembuatannya, kerap diiringi oleh olah batin sang pembuat. Maksudnya, agar topeng yang dihasilkan mempunyai yoni atau kharisma yang kuat.

Keyakinan spiritual mereka adalah sebagai penganut piwulang kawruh luhur yakni sebuah aliran kebatinan kejawen yang membuat setiap tahap dalam pembuatan topeng kerap diiringi dengan doa-doa serta kemenyan dan asap dupa. Kegiatan ini bukan sebuah bid`ah.

Namun, sekadar sebuah cara untuk menyelaraskan diri dengan kehidupan gaib yang ada di sekitar mereka. Para warga sendiri meyakini saat manusia mati maka roh-roh yang belum bisa bersatu dengan sang pencipta masih bergentayangan di muka bumi.

Sebagian roh menitis dan membantu anak-anak keturunan mereka di bumi. Sisanya bergentayangan menempati pohon-pohon atau benda-benda yang dianggap cocok dengan kehidupan gaib mereka. Tak heran, doa-doa pun dipanjatkan dalam setiap tahapan pembuatan topeng.

Kini ajaran yang dianut telah menjadi keyakinan spritual bagi warga Kedungmonggo. Meski saat ini alasan ekonomi menjadi landasan utama pembuatan topeng, tradisi yang telah melekat tak pernah ditinggalkan. Bagi warga, eksistensi topeng Malang bukan sekadar karena kuatnya pengaruh piwulang kawruh luhur.

Namun, juga karena dukungan para leluhur mereka yang telah mati. Tak heran, jika tradisi Senin Legi dan gebyak tahunan yang menjadi penghormatan kepada Hyang Mbaurekso Desa, telah membuat kesenian ini tetap hidup.

Memang, bagi warga Desa Kedungmonggo Senin Legi adalah malam keramat. Itulah sebabnya, penghormatan bagi Malam Neton atau hari lahir desa dalam perhitungan Tahun Jawa ini, diisi dengan pementasan wayang topeng. Biasanya, sebelum pementasan dimulai sejumlah upacara digelar.

Di saat menjelang malam, kesibukan terlihat di Sadaranan Ki Rasek, yakni sebidang tanah yang dikeramatkan warga. Di tanah yang tersisa di bawah rimbunnya pohon beringin, warga sibuk mengatur lokasi ritual. Obor dinyalakan mengelilingi sebuah panggung tanah dan gamelan ditata di pinggir panggung.

Saat yang sama, seorang pemuda memasang keber atau kelambu merah yang sekaligus menjadi pertanda akan diadakannya pentas topeng wayang di tempat ini. Jika semua sudah siap, sesaji dan asap dupa pun dipersembahkan kepada para Hyang Mbaurekso. Mbah Mun sebagai tokoh spiritual membuka komunikasi batin dengan dunia gaib untuk menyampaikan maksud pementasan.

Setelah acara ritual dilakukan, pementasan pun dapat segera dimulai. Hari ini sang dalang mementaskan cerita dari kisah panji dengan lakon Jenggolo Mbangun Candi. Alkisah, Kerajaan Jenggolo tengah membangun sebuah candi. Namun pembangunan sulit diselesaikan lantaran selalu diganggu raja setan Pusang Prabu dari Kerajaan Timbul Tahunan yang kebetulan jatuh cinta kepada Dewi Sekartaji, istri Panji Asmara Bangun.

Tak heran, untuk mencapai maksudnya sang raja setan pun berupaya menggagalkan pembangunan candi hingga sang dewi diserahkan kepadanya. Untungnya, niat sang raja angkara akhirnya dapat dilumpuhkan oleh Panji Asmara Bangun.

Malam kian larut, pemantasan pun memasuki babak utama. Adegan demi adegan berlalu seiring sang dalang memandu jalannya cerita. Dengan dialog tunggal, sementara sang penari bergerak seolah berbicara mengikuti ucapan sang dalang. Lantunan gamelan kian riuh mengikuti lanjutan cerita.

Sang dalang telah mengeluarkan ribuan kata untuk menciptakan dialog-dialog dalam setiap episode cerita. Para pemain satu demi satu juga telah memamerkan kemampuannya dalam menari. Akhirnya, cerita mendekati klimaks saat ritme gamelan kian cepat dan konflik antara Panji Asmara Bangun serta Pusang Prabu memuncak dalam pertikaian.

Seperti lazimnya kisah tentang kejahatan melawan kebenaran, sang angkara mulai tersisihkan dari bumi jenggala. Sebuah pesan telah disampaikan yakni tentang nilai-nilai kehidupan yang luhur serta nilai-nilai tentang keselarasan hidup dengan alam dan dunia.

0 comments:

Post a Comment

◄ Posting Baru Posting Lama ►
 

Total Pageviews