Sunday, October 27, 2013

Mengenal Sejarah Keraton Sumenep di Jawa Timur



Sumenep (bahasa Madura: Songènèb) adalah sebuah kabupaten di provinsi Jawa Timur, Indonesia. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 2.093,45 km² dan populasi ±1 juta jiwa. Ibu kotanya ialah Kota Sumenep. Kabupaten Sumenep pada masa kolonial dikuasai oleh keluarga Kadipaten Madura, yaitu keluarga Cakraningrat. Kabupaten ini terletak di ujung timur Pulau Madura. Kabupaten Sumenep selain terdiri wilayah daratan juga terdiri dari berbagai pulau di Laut Jawa, yang keseluruhannya berjumlah 126 pulau. Pulau yang paling utara adalah Pulau Karamian dalam gugusan Kepulauan Masalembu dan pulau yang paling timur adalah Pulau Sakala. Batas-batas kabpuaten ini adalah sebagai berikut. Sebelah selatan berbatasan dengan Selat Madura, sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, aebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Pamekasan, dan sebelah timur berbatasan dengan Laut Jawa/Laut Flores. Kabupaten ini memiliki 27 kecamatan, baik di daratan Pulau Madura maupun di gugus kepulauan.
 
 Di sekitar Keraton banyak Musium yang berisi barang-barang bersejarah peninggalan jaman kerajaan Sumenep lampau. Tepat berada di depan keraton ada sebuah gedung tempat rombongan lapor ke penjaga musium sekaligus membayar iuran seribu rupiah. Di dalam gedung ini tersimpan banyak sekali barang yang penuh sekali dengan cerita di masanya.
 
 Baru masuk saja, kita sudah disambut oleh sebuah Al-Qur’an raksasa dengan ayat-ayat sucinya yang tertempel indah. Di samping Al-Qur’an ini ada salah satu kereta kencana yang digunakan Keraton Sumenep merupakan hadiah dari Kerajaan Inggris di masa Pemerintahan Sultan Abdurrachman (th. 1812-1854 M).diruangan ini juga tertempel foto raja-raja Sumenep dari masa ke masa. Bahkan Daftar nama raja-raja Sumenep tertulis mulai dari raja pertama sperti Aria Banjak Wide, Ario Bangah, Ario Danurwendo, Ario Asrapati, Panembahan Djokarsari. Itulah 5 nama Raja/Gelar Radja/Bupati Pertama Sumenep. Seperangkat sarana pengadilan yang dipergunakan pada saat berlangsung pengadilan di Keraton Sumenep pada pemerintahan R.Ayu Tumenggung Tirtonegoro pada tahun 1750-1762 M. Koleksi yang dipamerkan Kursi Pengadilan (tempat duduk raja ketika mengadili), Rotan bundar (tempat terdakwa), dan Kotak segi empat (tempat berkas/surat). Sebuah Jambangan yang berasal dari Thailand sekitar abad XVII M. Jambangan ini dihiasi motif binatang dan tumbuhan, berwarna kuning dibawah glasir cokelat. Pada saat jaman kerajaan berfungsi sebagai wadah air atau tanaman hias. Tak ketinggalan Lampu Duduk yang dibuat dari logam, dihiasi motif sulur-suluran dengan teknik kerawangan dan manusia sedang duduk bola. Beralih ke ruangan lain, kerangka ikan puas yang mempunyai panjang 13 m tinggi 1.75 m dan berat 4 ton tersimpan di salah satu bagian musium ini. Paus ini terdampar di desa Kertasada Kecamatan Kalianget pada tahun 1977. Beberapa alas kaki yang bernama Gamparan Tonggulan berada di balik kaca. Alas kaki ini pada umumnya dibuat dari kayu bentaos. Gamparan ini termasuk sederhana, cara menggunakannya dengan menjepit antara ibu jari kaki dan jari pertama. Ada pula beberapa gambaran yang dihiasi dengan ukiran. Dalam perkembangannya peran gamparan ini terdesak olah jenis sandal yang lebih praktis dan ringan. Fosil tulang tangan ikan duyung, pakaian raja dan putri keraton Sumenep, miniatur perahu Madura juga tersimpan rapi dalam salah satu ruangan musium. Keraton Sumenep terletak di tengah-tengah kota yang dibangun pada masa pemerintahan Panembahan Sumolo I tahun 1762. Bangunan keraton ini mempunyai corak budaya Islam, Cina dan Eropa. Di dalam keraton terletak peninggalan-peninggalan bersejarah seperti Pendopo Agung, kantor KOneng, dan bekas Keraton Raden Ayu Tirto Negoro yang saat ini dijadikan tempat penyimpanan benda-benda kuno. Pendopo Agung sampai saat ini masih dipakai sebagai tempat diadakannya acara-acara kabupaten seperti penyambutan tamu Negara, serah terima jabatan pemerintahan dan acara kenegaraan lainnya. Sedangkan kantor Koneng yang ebrarti kantor raja dahulu adalah ruang kerja Sultan Abdurrachman Pakunataningrat I selama masa pemerintahannya tahun 1811 sampai 1844 Masehi. Selain ketiga ruangan tersebut di kompleks keraton terdapat Taman Sare, yaitu tempat pemandian putri raja yang masih terlihat asri dan indah sampai sekarang. Bagian lain dari keratin Sumenep adalah pintu gerbang Labang Mesem, yang artinya pintu/ gerbang tersenyum yang melambangkan keramahtamahan masyarakat Sumenep terhadap setiap orang yang datang ke keraton.
 
Museum terbagi menjadi tiga bagian yang terletak di depan/luar keraton dan di dalam keraton. Bagian pertama, di luar keraton, adalah tempat menyimpan kereta kuda/ kencana kerajaan Sumenep dan kereta kuda pemberian ratu Inggris, yang sampai sekarang masih dapat dipergunakan dan dikeluarkan pada saat upacara peringatan hari jadi kota Sumenep. Bagian kedua dan ketiga terdapat di dalam keraton Sumenep, yang di dalamnya menyimpan alat-alat untuk upacara mitoni atau upacara tujuh bulan kehamilan keluarga raja, senjata-senjata kuno berupa keris, clurit, pistol pedang bahkan semacam samurai dan baju besi untuk perang, al-Qur’an yang ditulis oleh Sulta Abdurrachman, guci dan keramik dari Tiongkok/ Cina yang menggambarkan bahwa pada saat itu terjalin hubungan yang erat antara kerajaan Sumenep dan kerajaan Cina, patung-patung/ arca, baju kebesaran Raja/Sultan, sampai tulang/fosil ikan paus yang terdampar di pantai Sumenep pada tahun 1977. Museum ketiga disebut juga museum Bindara Saod karena pada zamannya tempat itu adalah tempat Bindara Saod menyepi, maka disebut juga dengan Rumah penyepian Bindara Saod. Terdiri lima bagian yaitu teras rumah, kamar depan bagian timur, kamar depan bagian barat, kamar belakang bagian timur dan bagian barat.
 
Baik Museum, Museum Kantor Koneng dan Museum Bindara Saod, ramai dikunjungi, baik itu wisatawan lokal, maupun mancanegara tiap tahunnya. Adapun tarif biaya masuk keraton cukup murah yaitu Rp. 5000,- per orang sudah dapat menikmati koleksi sejarah keraton Sumenep. Disamping keraton ada sebuah kolam yang bernama Taman Sare. Konon menurut pendapat masyarakat setempat, apabila kita membasuh muka dengan air kolam ini niscaya kita akan awet muda. Kolam ini berisi air tawar beserta aneka ikan-ikan yang seolah bahagia berada di dalam satu bagian dalam Keraton. Di antara keraton dan kolam taman Sare juga tumbuh sebatang pohon beringin besar dan sangat tua. Beringin ini merupakan salah satu saksi sejarah perkembangan Kerajaan Sumenep dari tahun ke tahun melihat umurnya yang diperkirakan ratusan tahun. Itulah keraton Sumenep yang banyak menyimpan peninggalan masa lalu. Keraton ini juga selalu ramai dengan para wisatawan lokal maupun luar negeri yang ingin mengetahui bagaimana perkembangan kerajaan Sumenep dari masa ke masa. Patut menjadi pilihan tempat study tour bagi keluarga maupun instansi anda seperti sekolah maupun kantor tempat anda bekerja. Hari jadi Kabupaten Sumenep mengacu pada Pelantikan Arya Wiraraja sebagai Adipati Sumenep yang pertama. Artinya sebelum Arya Wiraraja dilantik menjadi Adipati Sumenep, belum ada penguasa lokal yang bergelar sebagai Adipati. Saat itu Kadipaten Sumenep berada dibawah kekuasaan Kerajaan Singosari, dengan penguasanya Raja Kertanegara. Dengan demikian Arya Wiraraja dilantik oleh Raja Kertanegara, sehingga sumber prasasti yang berhubungan dengan Raja Kertanegara dijadikan rujukan bagi penetapan Hari Jadi Kabupaten Sumenep. Sumber prasasti yang dapat dijadikan sebagai rujukan adalah prasasti berikut ini :
1.            Prasasti Mua Manurung dari Raja Wisnuwardhana berangkat tahun 1255 M.
2.            Prasasti Kranggan (Sengguruh) dari Raja Kertanegara berangkat tahun 1356 M.
3.            Prasasti Pakis Wetan dari Raja Kertanegara berangkat tahun 1267 M.
4.            Prasasti Sarwadharma dari Raja Kertanegara berangkat tahun 1269 M.
Sedangkan sumber naskah (manuskrip) yang digunakan untuk menelusuri lebih lanjut tokoh Arya Wiraraja, adalah manuskrip berikut :
1.            Naskah Nagakertagama karya Rakawi Prapanca pada tahun 1365 M.
2.            Naskah Peraraton di tulis ulang tahun 1631 M.
3.            Kidung Harsa Wijaya.
4.            Kidung Ranggalawe.
5.            Kidung Pamancangan.
6.            Kidung Panji Wijayakramah.
7.            Kidung Sorandaka.
Dari sumber sejarah tersebut, maka sumber sejarah Prasasti Sarwadharma yang lengkapnya berangkat tahun 31 Oktober 1269 M, merupakan sejarah yang sangat signifikan dan jelas menyebutkan bahwa saat itu Raja Kertanegara telah menjadi Raja Singosari yang berdaulat penuh dan berhak mengangkat seorang Adipati.
Prasasti Sarwadharma dari Raja Kertanegara di Desa Penampihan lereng barat Gunung Wilis Kediri. Prasasti ini tidak lagi menyebut perkataan makamanggalya atau dibawah pengawasan. Artinya saat itu Raja Kertanegara telah berkuasa penuh, dan tidak lagi dibawah pengawasan ayahandanya Raja Wisnuwardhana telah meninggal tahun 1268 M.
 
Prasasti Sarwadharma berisi penetapan daerah menjadi daerah suatantra (berhak mengurus dirinya sendiri) dan lepas dari pengawasan wilayah thani bala (nama wilayah/daerah saat itu di Singosari). Sehingga daerah swatantra tersebut, yaitu daerah Sang Hyang Sarwadharma tidak lagi diwajibkan membayar bermacam-macam pajak, pungutan dan iuran.
 
Atas dasar fakta sejarah ini maka pelantikan Arya Wiraraja ditetapkan tanggal 31 Oktober 1269 M, dan peristiwa itu dijadikan rujukan yang sangat kuat untuk menetapkan Hari Jadi Kabupaten Sumenep pada tanggal 31 Oktober 1269 M, yang diperingati pada setiap tahun dengan berbagai macam peristiwa seni budaya, seperti prosesi Arya Wiraraja dan rekan seni Budaya Hari Jadi Kabupaten Sumenep.
 
ARTI KATA SONGENNEP
Dari hasil pemaparan diatas dijelaskan bahwa kata Songennep adalah nama asal dari bahasa kuno. Oleh karena itu dalam mencari kata nama wilayah yang erat kaitannya dengan upaya penentuan Hari Jadinya saya menggunakan sebutan / kata Songennep. Songennep, menurut arti katanya (Etimologi), yaitu :
1.            Song berarti relung, geronggang (bahasa Kawi). Ennep berarti mengendap (dengan kata lain tenang). Jadi Songennep berarti lembah bekas endapan yang tenang.
2.            Song berarti sejuk, rindang, payung. Ennep berarti mengendap (kata lain tenang). Jadi Songennep berarti lembah endapan yang sejuk dan rindang.
3.            Songa berarti relung atau cekungan. Ennep berarti tenang. Jadi Songennep berarti lembah, cekungan yang tenang atau sama dengan pelabuhan yang tenang. Setelah kita menelaah sebutan Songennep dari arti katanya (Etimologi).
Berikut ini akan saya paparkan pendapat-pendapat yang berkembang dikalangan masyarakat sejak dahulu mengenai arti kata Songgennep.
 
Songennep berasal dari kata-kata Moso dalam bahasa Madura berarti lawan/musuh. Ngenep berarti bermalam. Jadi songennep berarti lawan/musuh yang bermalam. Ceritera mengenai asal-usul nama "Songennep" berdasarkan versi ini amat populer dikalangan rakyat di Sumenep. Ceritera / pendapat ini dihubungkan dengan suatu peristiwa bersejarah di Sumenep pada tahun 1750, yaitu saat diserangnya dan didudukinya Keraton Sumenep oleh K. Lesap (seorang keturunan Pangeran Cakraningrat V dari salah seorang selirnya). 
 
Pangeran Cakraningrat V, adalah Raja Bangkalan. K. Lesap berhasil menaklukkan sumenep dan dia sempat selama setengah bulan tingga di Keraton sumenep. Hal ini dikisahkan dalam buku Babad Songennep.
Karena kejadian itu (musuh bermalam di Keraton Sumenep). Kota dikatakan Moso Ngenep, yang artinya musuh bermalam.
 
Cerita ini tentunya tidak benar, sebab kitab pararaton yang ditulis tahun 1475-1485 sudah menuliskan nama Songennep. Ini berarti nama Songennep sudah lahir jauh sebelum K. Lesap menyerang Sumenep.
Songennep berasal dari kata-kata Ingsun nginep. Ingsun berarti saya, sedangkan nginep berarti bermalam. Pendapat ini kurang populer dikalangan rakyat dibandingkan dengan versi lainnya. 
 
SEKITAR TOKOH ARYA WIRARAJA
Telah diterangkan diatas, bahwa nama mengandung tanda-tanda (alamat) tertentu (nomen sit omen) dan mempunyai arti khusus. Orang tua memberikan nama anaknya dengan maksud tertentu agar anak tersebut berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan nama yang disandang. Demikian pula nama tokoh dalam sejarah lama, seperti Air langga, Mapanji, Daja Bhaja, Kemeswara, Gajah Mada, Hayam Wuruk dan lain-lain. Didalam kitab Pararaton dikatakan bahwa Arya Wiraraja semula bernama Banyak wedi. Halaman 18 Pararaton (edisi Belanda) menyebutkan sebagai berikut :
"Hana ta Wongira, babatangira buyuting nangka, aran Banak Wide, arupa tan kandel denira, dinohaken, kinon adhipatiaring sungennep, angar ing madura wetan".
 
Selain itu dalam Kitab Kidung Ranggalawe dikatakan sebagai berikut :
Nyanyian I (Durma).
1.            Woten Wongiro binatang buyut Nangka, Banak Wideanami, sinung abhiseka, arya Wiraraja sira, arupa Sinangsayeni, dinohan preneh, kinon angadhipati.
2.            Munggu ing Sumenep parnah Madura Wetan, lawasipun anganti, patang puluh tiga, duk andon balanabrang, sira Wiraraja dadi arasa-rasa, dene dinohan apti.
Mengenai nama Wiraraja saya kira sudah cukup jelas. Nama itu berarti: Raja yang gagah perwira (Wira: Perwira, Kesatria, raja: raja, pemimpin). Gelar Arya menunjukkan bahwa Wiraraja adalah seorang pejabat tinggi, lebih-lebih apabila dikaitkan dengan jabatannya sebagai adhipati (adhi: pertama, baik, pati: raja, pemimpin). Gelar Arya dalam masyarakat Jawa Baru berubah menjadi Haryo (Pangeran Haryo).
 
1. ASAL-USUL ARYA WIRARAJA
Mengetahui asal Arya Wiraraja beberapa sumber berbeda mendapat :
a. PARATON.
Dalam Bab V halaman 27 :
"Hanata Wongira, babatangira buyuting nangka aran Bayak Wide, sinungan pasenggahan Arya Wiraraja".
Artinya : "Adalah seorang hambanya, keturunan orang tertua di Nangka, bernama Banyak Wide, diberi sebutan Arya Wirara".
Selain itu, sumber ini menerangkan bahwa Nambi adalah putera Arya Wiraraja sedangkan Ranggalawe disebutkan sebagai keturunan bangsawan Singosari yang terkenal.
b. KIDUNG PANJI WIJAYAKRAMA/KIDUNG RANGGALAWE.
Pupuh Inomor 1220 :
"Woten Wongira binatang buyut nangka, Banyak Wide anami, sinung Abiseka, Arya Wiraraja..........."
Ada seorang hambanya, keturunan orang tertua di Nangka, Banyak Wide namanya, dia diberi gelar Arya Wiraraja"
Dalam kidung ini dikatakan bahwa Ranggalawe adalah anak dari Arya Wiraraja yang berasal dari desa tanjung Madura Barat.
c. KIDUNG SORANDAKA.
Kidung ini menjelaskan bahwa Nambi adalah anak dari Pranaraja. Menarik sekali untuk diketengahkan suatu Hypotesa Prof. Dr. Slamet Mulyono dalam bukunya "Negara Kertanegara dan tafsir sejarahnya" (halaman 127).
Kita ingin meneliti siapa sebenarnya yang dimaksud dengan Pranaraja dan Mahapati yang disebut dalam Kidung Sorandaka dan Pararaton. Pranaraja telah disebut pada piagam Kudadu (1294), namun tanpa nama.
Pada piagam Penanggungan (1296) namanya dijelaskan pada lempengan IV a baris 1 yakni Sang Pranaraja : Mpu Sina.
Jelaslah sekarang bahwa Ranggalawe alias Arya Adikara adalah putera Wiraraja, sedangkan Mpu Nambi (Tami) adalah putera Mpu Sina.
Drs.Abdur Rachman dalam bukunya "Peranan Madura menuju puncak kebesaran kerajaan Majapahit", bahwa Arya Wiraraja berasal dari Madura (halaman 54).
Atas dasar keterangan-keterangan diatas yang didapat dari sumber diatas makin kuatlah dugaan Arya Wiraraja, berasal dari Madura. Adapun desa Nangka yang disebutkan beberapa sumber, diperkirakan nama desa Nangka yang berada di Kabupaten Bangkalan atau desa Karangnangka yang berada di Kecamatan Rubaru Kabupaten Sumenep.
 
2. JABATAN ARYA WIRARAJA SEBELUM MENJADI ADIPATI DI SUMENEP
Kedudukan/jabatan Arya Wiraraja, beberapa sumber berbeda pendapat:
Mangkudimedja dalam buku serat peraraton. Ken Arok 2 menyebutkan kemungkinan Arya Wiraraja adalah seorang babatangan (Penasehat Spiritual), Babatangan itu mungkin dijaman sekarang bisa diartikan tukang membatang atau meramal, yakni ahli nujum. Orang yang kerjaanya menerangkan atau membukukan segala sesuatu yang sifatnya penuh misteri atau rahasia. Namun semua ini barulah merupakan perkiraan dan dugaan belaka, sebab Dokter Brandes sendiri juga belum yakin arti sebenarnya. Dugaan Dokter Brandes, mungkin yang dimaksud adalah karereyan yang artinya babatangan. Sedemikian tadi akhirnya terserah saja kepada yang ingin menyelidiki. Karena kenyataannya banyak kata-kata kuno yang tidak kita temui lagi dijaman sekarang. Bahkan adakalanya sudah berganti arti serta maksud.(hal.71).
 
3. ALASAN-ALASAN PEMINDAHAN ARYA WIRARAJA KE SUMENEP
Pemindahan Arya Wiraraja ke Sumenep tentunya tidak terlepas dari situasi politik/kekuasaan Singosari serta pandangan politik dari Raja Kertanegara.
Untuk memperoleh gambaran yang lebih utuh, saya akan memaparkan secara singkat situasi kerajaan Singosari pada masa itu. Pararaton menggambarkan pemerintah itu dalam Bab V. "Kemudian Ranggawuni (Wisnuwardhana) jadi raja seperti 2 ekor pulau dalam satu liang dengan Mahesacempaka".
Dengan dikemukakannya prasasti Mulamalurung (1255) gambaran kerajaan Singosari makin nyata, dalam uraian prasasti tersebut ternyata apa yang diceritakan Pararaton tidak seluruhnya benar, tidak ada penggunaan Anusapati oleh oleh Tohjaya. Tohjaya menjadi raja menggantikan Guning Bhaya (Agmibhaya). Agar lebih jelas lihat lampiran struktur kerajaan Singosari menurut prasasti Mulamalurung tahun 1255.
Namun Mulamalurung tidak menceritakan bahwa KenArok di bunuh di Dampar Kencana. Dengan bercabang garis keturunan Ken Arok pergantian kekuasaan atau sukses tetap memendam bara api.
• Kidung Harsawijaya, mengatakan arya Wiraraja pada masa Singosari adalah seorang demang.
• Kidung Wijayakrama tidak menyebutkan dengan pasti apa jabatannya.
• Demikian juga dalam kitab Pararaton yang diterjemahkan oleh Drs. Pitono (th. 1966) dan pararaton yang diterjemahkan oleh Ki. J. Padmapuspita (th 1956), hanya menyebutkan Arya Wiraraja adalah seorang bawahan (hamba Kertanegara).
• Drs. Abdur Rachman menyebutkan bahwa jabatan/pangkat Arya Wiraraja adalah Demang Nayapati di Singosari.
Dari beberapa gambaran diatas saya dapat menarik kesimpulan :
• Gelar Arya Wiraraja menunjukkan bahwa Banyak Wide (Wiraraja) termasuk Pegawai Tinggi atau orang penting dikerajaan Singosari.
• Penasehat spiritual yang dimaksudkan oleh penterjemah dasarnya seorang penasehat ahli strategi (politikus) yang bisa membaca situasi. Kecemerlangan analisa-analisanya menyebabkan orang mengira dia punya suatu kelebihan sebagai orang yang bisa meramal kejadian-kejadian yang akan datang.
• Kedudukan jabatan dalam pemerintah Singosari menyebabkan dia dekat sekali hubungannya dengan penguasa Singosari (Raja Kertanegara).
• Kemungkinan lain yang mendekati kebenaran ialah Demang Kerajaan Bwahan Singosari (Mering) yang menurut prasasti Mulamalurung diperintah oleh Narasingamurti.
Secaningrat (Wisnuwardhana) merasa berhak atas kerajaan Dhaha dan Singosari karena perkawinannya dengan Wanihiun (putera Mahesa Wongateleng). Pada tahun 1250 dia menjatuhkan Dhaha dan Singosari. Namun ia bertindak hati-hati. Narasingamurti (Mahesacempaka) dijadikan ratu Anggabhaya dengan kekuasaan daerah Hering. Ada sedikit benturan dalam penobatan Wisnuwardhana menurut prasati Mulamalurung. "sebuah keterangan yang sangat menarik mengenai penobatan Nararyya Sminingrat kita dapati pula didalam prasasti ini. Keterangan itu menyebutkan bahwa sepenggal Nararyya Tohjaya, semua pejabat dengan pemimpin oleh sang Pamget Ranu Kabayan Sang Apanji Pati-Pati menobatkan Nararyya Sminingrat menjadi raja di Tumapel (Nararyya Sminingrat Tapinasangaken Prajapatya)".
Keterangan tersebut menimbulkan kesan tentang tidak adanya calon yang sah untuk duduk diatas tahta kerajaan atau terdapat bebrapa orang yang tidak berhak yang berusaha untuk menjadi raja.
Menurut prasasti Mulamalurung Wisnuwardhana memerintah mulai tahun 1250 yang menguasai Dhaha dan singosari. Rasa khawatir akan timbulnya sengketa kekuasaan jika kelak dia telah tiada, menybabkan ia buru-buru melantik putera nya Kertanegara sebagai raja muda di Dhaha. Hal ini rupanya untuk mengokohka kekuasaan keturunannya.
Pelantikan Kertanegara sebagai Raja Muda diceritakan dalam prasasti Mulamalurung atau Negarakertagama dalam pupuh XLI 3.12) "Tahun Saka rasa gunung bulan (1176) Batara Wisnu manubatkan puteranya. Segenap rakyat Kediri janggala berduyun-duyun mengastubagia. Raja Kertanenagara nama gelarnya, tetap demikian seteusnya. Daerah Kutaraja bertambah makmur, berganti nama Praja Singasari".
4. ARYA WIRARAJA ADIPATI SUMENEP
Pararaton menceritakan secara singkat dilantiknya Arya Wiraraja menjadi Adipati di Sumenep yang berkedudukan di Madura timur, yang berbunyi :
"Hanata Wongira, babatangira buyuting Nangka, Aran Banyak Wide, Sinungan Pasenggahan Arya Wiraraja, Arupa tan kandel denira, dinohaksen, kinun adipati ring Sungennep, anger ing madura wetan".
Yang artinya :
Adalah seorang hambanya, keturunan orang ketua di Nangka, bernama Banyak Wide, diberi sebutan Arya Wiraraja, rupa-rupanya tidak dipercaya, dijauhkan disuruh menjadi adipati di Sumenep. Bertempat tinggal di Madura sebelah timur.
Pararaton tidak mencantumkan tanggal maupun tahun peristiwa di atas tersebut. Pararaton hanya menceritakan sesudah Wisnuwardhana mangkat dan Kertanegara menggantikan menjadi raja, Wiraraja dipindahkan ke Sumenep.
 
5. PERANAN ARYA WIRARAJA DALAM MEMBANTU RADEN WIJAYA MENDIRIKAN KERAJAAN MAJAPAHIT
Mengenai peranan Arya Wiraraja dalam membantu Raden Wiraraja menaklukkan Jayakatwang, mengusir tentara Tartar, sampai tegaknya kerajaan Majapahit diceritakan secara lengkap dalam Pararaton. Kidung Panji Wijayakrama, kidung Ranggalawe dan Kidung Harsawijaya.
Beberapa prasasti seperti Piagam Kedadu (11 September 1294) dan Prasasti Sukamerta (29 Otober 1295), menyebutkan peristiwa-peristiwa penting yaitu pengungsian Raden Wijaya ke Madura.
a. Pararaton.
1. Raden Wijaya menyeberang ke utara turun perahu terhalang malam ditengah sawah didaerah perbatasan Songennep, bermalam ditengah sawah yang baru saja habis disikat pematangnya.
Sembah Wiraraja : Janganlah Tuanku khawatir hanya saja hendaknya tuan bertindak perlahan-lahan.
2. kata Raden Wiraraja : Bapa Wiraraja, sangat besar hutangku kepadamu, jika tercapailah tujuanku, akan kubagi dua tanah Jawa nanti, hendaknya kamu menikmati seperduanya, saya seperdua. Kata Wiraraja Bagaimana saja, Tuanku, asal Tuanku dapat menjadi raja saya.
Demikianlah janji Raden Wijaya kepada Wiraraja.
3. Lama Raden Wijaya bertempat tinggal di Songennep.
Disitu Arya Wiraraja berkata : Tuanku hamba mengambil muslihat, hendaknyalah Tuan pergi menghamba kepada raja Jayakatong, hendaknya Tuan seakan-akan minta maaf dengan kata-kata yang mengandung arti tunduk; kalau sekiranya raja Jayakatong tak keberatan, tuan menghamba itu, hendaknyalah tuan lekas-lekas pindah bertempat tinggal di Dhaha, kalau rupa-rupanya sudah dipercaya, hendaknyalah tuan mohon hutang orang terik kepada raja Jayakatong, hendaknyalah tuan membuat desa disitu. Hamba-hamba Maduralah yang akan menebang hutan untuk dijadikan desa, tempat hamba-hamba Madura yang menghadap tuanku dekat.
 
Adapun maksud tuanku menghamba itu, agar supaya tuan dapat melihat-lihat orang-orang Jayakatong siapa yang setia, yang berani, sifat-sifat Kebo-Mundarang, sesuadh itu semua dapat diukur hendaknyalah tuanku memohon diri pindah ke hutan orang Terik yang sudah dirobah menjadi desa oleh hamba Madura itu.
b. Kidung Panji Wijayakrama.
Dalam Kidung Panji Wijayakrama peranan Wiraraja dalam membantu Raden Wijaya tidak ada perbedaan yang prinsip jika dibandingkan dengan Pararaton.
c. Kidung Harsa Wijaya.
Atas nasehat sang pertapa mereka (Raden Wijaya) menyebrang ke Madura untuk minta bantuan Arya Wiraraja. Dan di Madura Raden Wijaya menentukan saat yang tepat, untuk merencanakan kembalinya atau merebut kerajaannya.
Kepada Wiraraja ia berjanji akan memberikan separuh kerajaan atas jasa-jasanya dan bantuannya yang tidak terhingga.
Dari gambara-gambaran yang diceritakan oleh sumber-sumber diatas, peranan Arya Wiraraja bukanlah hanya memberikan bantuan kekuatan tentaranya, jauh dibalik itu Wiraraja adalah seorang penganut strategis, dan inspirator berdirinya kerajaan Majapahit.
Tepatlah kiranya apabila Ia disebut sebagai Aktor intelektualis. Penulis sejarah Majapahit tidak akan pernah lepas dari peranan Arya wiraraja serta orang-orang Madura awal pendirinya.
 
6. KETELADANAN ARYA WIRARAJA
Seorang karena manusiawi, pastilah memiliki kebaikan dan keburukan, kelebihan atau kekurangan. Dalam hal ini kami akan meninjau dari "kebaikan atau kelebihan" agar mempelajari sejarah memperoleh hikmanya.
1.  Tahu membaca jaman
Akibat kemahiran berdaya tebak sehingga siapa "coming" man yang akan muncul sebagai penguasa, maka Arya Wiraraja mengikuti jejak ini, sehingga tindakannya mirip dengan tindakan insan politik jaman kini. Bagi orang yang tidak mengikuti "membaca jaman", tindakan Arya Wiraraja ini akan dianggap sebagai penghianatan, seperti pengmbaraan dari Dr. H. J. De Graff.
Mengingat pendirian demikian, maka ia pastilah "anak jaman", "Wongira" orang yang berkuasa/akan berkuasa. Hal ini terbukti :
Mengabdi kepada Kertanegara sebagai Adipati Songennep.
Mengingatkan jayakatwang untuk menumbangkan Kertanegara, dan kawannya Empu Raganatha.
Memberikan perlindungan kepada R. Wijaya dan menjanjikan untuk menolong jadi Raja.
Membujuk tentara Mongol/Tartar untuk bersama R. Wijaya menumbangkan Jayakatwang.
Bersama R. Wijaya menghancurkan tentara Mongol/Tartar
Memberikan puteranya menjadi korban pemberontakan terhadap R. Wijaya. (Peristiwa Rangga Lawe).
Menjadi "Gubernur"Lumajang, dan dari sana membiarkan Nambi memberontak terhadap R. Wijaya.
Mengingat kepekaan "membaca jaman" ini, arya Wiraraja dalam semua tindakannya bagaikan "kontrofersi". Barangkali hal ini ia sebagai "anak jaman" merupakan produk pada jaman itu, dimana tokoh Kertanegar juga banyak membuat kontroversial.


2.            Nasionalisme
Pengabdian Arya Wiraraja adalah untuk Kertanegara yang paling lama. Maka segala sepak terjang Kertanegara dalam usahanya menyatukan Nusantara penaklukan Bali dan Melayu, diketahuinya dengan pasti dan Arya Wiraraja merupakan bagian dari penyatu tersebut. Dimana saja is bertugas, tanpa pandang suku dan wilayah, dilaksanakannya dengan baik. Sejak di Singosari, songennep, Mojopahit, sampai di Lumajang, ia bekerja dengan baik, sehingga ia di semua tempat tersebut dihormati dan dianggap sebagai pemimpinnya.
3. Setia pada tugasnya
Manifestasi kesetiaan Arya Wiraraja ini akan tugasnya tidak pernah menolak tugas. Ia dengan setia menempati pos kerjanya.
Sebagai "babatananira" ia berdomisili di Singosari.
Sebagai Adipati ia berdomisili di Songennep.
Sebagai "pelindung" ia aktif mendirikan Mojopahit.
Sebagai rakyat menteri ia berdomisili di Mojopahit.
4. Sebagai kuasa usaha Blambangan ia berdomisili di Lumajang akhir hayatnya.
Manifestasi kesetiaannya ini juga tercermin dalam sikap diamnya ketika mengetahui puteranya Ranggalawe dibunuh secara kejam ketika mengadakan pembangkangan terhadap Raden Wijaya. Demikian pula terhadap Nambi yang melakukan dari Lumajang sendiri.
Manifestasi sikap diam dan kesabarannya ini merupakan kesetiaan yang tinggi pada jaman tersebut, yang tercermin ketika pertama kalinya "dijauhkan" ke Songennep.
Kesetiaan yang menonjol lainnya ialah ketika ia dengan rendah hati menolong R. Wijaya yang terlunta-lunta dengan menjanjikan untuk mengembalikannya sebagai raja.
5. Cerdik
Kecerdikan Arya Wiraraja sangat nampak ketika "menyutradarai" berdirinya kerajaan Majapahit dengan tokoh sentral Raden Wijaya. Urutan sekenarionya adalah :
6. Agar R. Wiraraja pura-pura menyerah kepada Prabu Jayakatwang.
7. Wiraraja kemudian mengirimkan surat dengan utusan yang menyatakan bahwa R. Wijaya menyerah dan ingin mengabdi kepada sang Prabu Jayakatwang.
8. Agar R. Wijaya diterima sebagai pegawai istana.
9. Selama tinggal di istana agar menyelidiki kekuatan tentara Dhaha/ Kediri.
10. Bila kelak telah dipercaya, agar mengajukan permohonan untuk membuka hutan Tarik. Dan tenaga akan di kerahkan dari Madura. Apabila daerah Tarik telah siap, agar R. Wijaya pindah menetap disana.
11. Selanjutnya R. Wijaya agar mencari simpati orang-orang Tumapel dan menariknya untuk menetap di tarik.
12. Orang Madura akan dikerahkan ke Tarik sehingga perkampungan tersebut menjadi kuat (menjadi Majapahit), dan siap untuk melawan Dhaha.
13. Aria Wiraraja menghubungi tentara Tartar/Mongol untuk bersama menggempur Jayakatwang dengan janji akan menganugerahi putra-putri keraton yang cantik.
14. Penghancuran tentara Jajakatwang oleh tentara tarta yang juga dibantu R. Wijaya dan Wiraraja.
15. Penyerahan tentara keraton hendaknya diterima oleh pembesar tentara Tartar tanpa senjata, karena putra-putri tersebut "Alergi" terhadap senjata.
16. Penyerangan tentara Tartar yang tidak berdaya oleh R. Wijaya bersama Wiraraja sampai kelaut.
17. Penobatan R. Wiraraja sebagai raja Majapahit.

Keraton Sumenep terletak di tengah-tengah kota yang dibangun pada masa pemerintahan Panembahan Sumolo I tahun 1762. Bangunan keraton ini mempunyai corak budaya Islam, Cina dan Eropa. Di dalam keraton terletak peninggalan-peninggalan bersejarah seperti Pendopo Agung, kantor KOneng, dan bekas Keraton Raden Ayu Tirto Negoro yang saat ini dijadikan tempat penyimpanan benda-benda kuno. Pendopo Agung sampai saat ini masih dipakai sebagai tempat diadakannya acara-acara kabupaten seperti penyambutan tamu Negara, serah terima jabatan pemerintahan dan acara kenegaraan lainnya. Sedangkan kantor Koneng yang ebrarti kantor raja dahulu adalah ruang kerja Sultan Abdurrachman Pakunataningrat I selama masa pemerintahannya tahun 1811 sampai 1844 Masehi. Selain ketiga ruangan tersebut di kompleks keraton terdapat Taman Sare, yaitu tempat pemandian putri raja yang masih terlihat asri dan indah sampai sekarang. Bagian lain dari keratin Sumenep adalah pintu gerbang Labang Mesem, yang artinya pintu/ gerbang tersenyum yang melambangkan keramahtamahan masyarakat Sumenep terhadap setiap orang yang datang ke keraton.
 
Museum terbagi menjadi tiga bagian yang terletak di depan/luar keraton dan di dalam keraton. Bagian pertama, di luar keraton, adalah tempat menyimpan kereta kuda/ kencana kerajaan Sumenep dan kereta kuda pemberian ratu Inggris, yang sampai sekarang masih dapat dipergunakan dan dikeluarkan pada saat upacara peringatan hari jadi kota Sumenep. Bagian kedua dan ketiga terdapat di dalam keraton Sumenep, yang di dalamnya menyimpan alat-alat untuk upacara mitoni atau upacara tujuh bulan kehamilan keluarga raja, senjata-senjata kuno berupa keris, clurit, pistol pedang bahkan semacam samurai dan baju besi untuk perang, al-Qur'an yang ditulis oleh Sulta Abdurrachman, guci dan keramik dari Tiongkok/ Cina yang menggambarkan bahwa pada saat itu terjalin hubungan yang erat antara kerajaan Sumenep dan kerajaan Cina, patung-patung/ arca, baju kebesaran Raja/Sultan, sampai tulang/fosil ikan paus yang terdampar di pantai Sumenep pada tahun 1977.
 
Museum ketiga disebut juga museum Bindara Saod karena pada zamannya tempat itu adalah tempat Bindara Saod menyepi, maka disebut juga dengan Rumah penyepian Bindara Saod. Terdiri lima bagian yaitu teras rumah, kamar depan bagian timur, kamar depan bagian barat, kamar belakang bagian timur dan bagian barat.
 
Baik Museum, Museum Kantor Koneng dan Museum Bindara Saod, ramai dikunjungi, baik itu wisatawan lokal, maupun mancanegara tiap tahunnya. Adapun tarif biaya masuk keraton cukup murah yaitu Rp. 5000,- per orang sudah dapat menikmati koleksi sejarah keraton Sumenep.
 
5. Deskripsi Pengolahan / Pengembangannya
Walaupun tempat wisata sejarah ini sudah cukup dikenal, pemasangan papan penunjuk lokasi perlu dilakukan oleh Dinas terkait, terutama di dekat terminal Wiraraja, dan di pusat kota Sumenep. Hal ini untuk memudahkan bagi pelancong yang datang dari luar Sumenep, menemukan lokasi tersebut. Sarana mengenalkan objek wisata ini juga perlu diperbanyak, semisal dengan penyebaran pamflet dan brosur, supaya museum dan keraton Sumenep lebih dikenal lagi. Khususnya oleh wisatawan yang datang dari luar kota Sumenep.
 
Keistimewaan Keraton sumenep
Dengan mengunjungi keraton ini, wisatawan dapat  melihat langsung hasil akuturasi budaya Jawa, Eropa, dan Cina yang membentuk  bangunan Keraton Sumenep. Pada bangunan Keraton Sumenep, pengunjung dapat melihat nuansa keraton Jawa dengan pilar-pilar dan lekuk ornamennya yang bergaya  Eropa serta rangkaian atap yang menyerupai kelenteng Cina. Secara umum komposisi bangunan pada Keraton  Sumenep tidak berbeda dengan keraton-keraton di Jawa, misalnya sama-sama  memiliki pendopo yang cukup luas untuk menerima tamu, ruang peristirahatan  raja, serta lokasi pemandian untuk permaisuri dan putri-putri raja.  Sebelum memasuki keraton, pengunjung akan  disambut gapura dengan nama “Labang Mesem”. Dalam bahasa Indonesia  “labang” berarti pintu, dan “mesem” adalah senyum. Gapura ini melambangkan keramahan keraton terhadap para tamu yang berkunjung. Di sisi kanan keraton,  terdapat “Kantor Koneng”, yaitu ruang kerja raja Sumenep, yang sekarang  difungsikan sebagai museum. Ruangan ini berisi koleksi peralatan rumah tangga  keraton. Di luar keraton, wisatawan juga dapat mengunjungi Masjid Jamik Sumenep  yang usianya tak jauh berbeda dengan usia Keraton Sumenep.

0 comments:

Post a Comment

◄ Posting Baru Posting Lama ►
 

Total Pageviews