Thursday, October 31, 2013

Sapton dan Panahan Asal Kuningan



Suasana di lapang Desa/Kecamatan Kalimanggis, Kabupaten Kuningan, tidak seperti hari-hari biasanya. Di pinggir lapang itu, ribuan warga tumpah ruah memadati setiap sudut lapang tersebut.

Di tengah teriknya matahari, mereka larut menyaksikan pergelaran Saptonan dan Panahan Tradisional yang diadakan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Kuningan, dalam rangkaian acara menyambut peringatan HUT Kemerdekaan ke-65 RI dan Hari Jadi ke 512 Kuningan.

Saptonan merupakan agenda tahunan yang diadakan setiap momen peringatan Hari Jadi Kuningan. Bahkan, dulu acara ini diadakan di lapang yang lokasinya dekat kantor bupati dan gedung DPRD Kabupaten Kuningan.

Saperti pernah beberapa kali diadakan di lapang Randu Kelurahan Cijoho, lapang Kertawangunan Kecamatan Sindangagung dan lapang sekitar kawasan wisata Linggajati Kecamatan Cilimus. Lapang Desa Cinagara Kecamatan Maleber dan beberapa tempat lainnya.

Banyak warga yang penasaran untuk menyaksikan pergelaran yang boleh dibilang langka ini. Buktinya, bukan hanya warga di daerah Kecamatan Kalimanggis saja yang turut menyaksikan acara tersebut. Banyak warga yang datang dari Kecamatan Ciawigebang, Cidahu, Cimahi dan Luragung.

Sebelum pergelaran saptonan dimulai, diawali dengan prosesi atau upacara yang menggambarkan keadaan masa kerajaan. Sejumlah peserta pun sudah mempersiapkan untuk kebolehan untuk mengikuti adu ketangkasan menunggang kuda, dengan mengenakan kostum mirip pada jaman kerajaan.

Misalnya patih, adipati dan tumnggung memakai bendo, baju taqwa dan kain lancar.
Sementara, demang mengenakan pakaian yang lebih sederhana seperti kain odot, celana pangsi, sandal karet (sendal bandol) yang talinya sampai lutut. Begitu pula para menak, pamager sari mengenakan pakaian yang sama seperti dipakai adipati dan tumenggung. Ada pula mengenakan pakaian kebaya.

Adipati, Tumenggung dan Demang menunggangi kuda diikuti oleh para prajurit atau ponggawa yang mengenakan pakaian sampur, rompi, calana kain dodot, sendal serta membawa tumbak, tameng dan keris, kujang, pedang, gondewa dan umbul-umbul.

Menurut Kepala Disparbud Kabupaten Kuningan, Nana Sugiana, Sapton berasal dari kata Saptu (Sabtu) yakni acara rutin dilaksanakan setiap hari Sabtu setelah kegiatan seba raga (sidang) yang diadakan di sekitar Istana Karajaan Kajene (Kuningan) tempo dulu.

Sepintas, pergelaran sapton agak mirip dengan pacuan kuda tradisional. Hanya saja, saptonan bukan lomba memacu kuda, tapi merupakan uji ketangkasan menunggangi kuda sambil; melempar tombak ke arah ember berisi air yang digantung di tiang atau gawang sapton tersebut.

“Sapton sebenarnya memiliki makna yang dalam seperti heroisme, katangkasan berkuda ini dulunya dalam rangka bela nagara serta simbol kekompakan pemerintah dengan rakyatnya,” paparnya.

Sedangkan panahan tradisional, lanjut dia, yakni salah satu warisan luluhur karajaan Kuningan yang ditularkan kepada rakyatnya agar mampu menggunakan gondewa sebagai alat bela diri dalam menghadapi gangguan ketentraman rakyat pada jaman dahulu. Selain itu, mengandung makna pendidikan atau ajaran untuk lebih memusatkan diri dan menahan emosi. Sebab dengan jiwa yang tenang biasanya kesuksesan mudah dicapai.

0 comments:

Post a Comment

◄ Posting Baru Posting Lama ►
 

Total Pageviews