Saturday, March 1, 2014

Munculnya Tari Pencak Silat dari Betawi



Hal ini disebabkan karena ahli-ahli persilatan Betawi pada masa lalu lebih mengutamakan "isi" dari pada "kembangan" silat. Kembangan dianggapnya sebagai membuang-buang waktu, tanpa ada manfaatnya. Pendapat demikian masih banyak terdapat di kalangan pesilat Betawi sampai dewasa ini, Mereka berpendapat, kemampuan bersilat bukan untuk dipamerkan, melainkan untuk membela diri bila sewaktu-waktu diperlukan. Tetapi ada pula yang berpendapat lain, seperti Utama ( 75 tahun) di Kayu Manis. Menurut dia, tari pencak silat dapat dipergunakan sebagai salah satu alat untuk mendorong gairah para remaja dalam mempelajari ilmu silat selanjutnya, dengan mengkaitkan "kelangenan" dengan latihan fisik. Menurut keterangannya, pada jaman penjajahan Belanda dan kemudian pada jaman penjajahan Jepang, tari pencak silat digunakan untuk mengelabui penguasa dalam menggembleng anak didiknya mempelajari silat, ilmu bela diri.

Di wilayah budaya Betawi berkembang berbagai aliran silat, seperti Lintau, Cimande, Cikalong, Ciomas, Sahbandar dan sebagainya, yang kemudian menimbulkan berbagai aliran pula, seperti aliran Kwitang, aliran Tanah Abang (Cingkrik), aliran Kemayoran dan sebagainya, Gaya-gaya yang terkenal antara lain gaya Sera, gaya Pecut, gaya Rompas, gaya Bandul dan sebagainya. Tari silat Betawi yang dengan sendirinya berunsurkan gerakgerak silat, menunjukan aliran atau gaya diikuti penari masing-masing.

Berlainan dengan di Pasundan, Tari Pencak Silatnya biasa diiringi orkes "gendang pencak", maka Pencak Silat Betawi biasa diiringi berbagai orkes, seperti Gambang Kromong, Rebana Biang dan sebagainya, Ada juga yang menggunakan iringan orkes "Gendang Pencak", seperti grup "Putra Betawi" pimpinan Utama di Kayu Manis dan Mamad di Cireundeu, Ciputat, Kabupaten Tangerang, Instrumen gendang pencak pada tari silat Betawi tersebut hanya berfungsi pembawa irama saja. Sedang gendang pencak di Priangan bukan saja berfungsi sebagai pembawa irama melainkan juga untuk memberikan aksentuasi pada gerakan-gerakan tari.


Festival Tari Pencak Silat yang diselenggarakan oleh Pemerintah DKI Jakarta bekerja sama dengan Lembaga Kebudayaan Betawi pada tahun 1979, telah menjadi pendorong beberapa perguruan silat Betawi yang semula hanya mengajarkan "isi" saja dalam bentuk jurus-jurus, untuk mengolah gaya jurus masing-masing menjadi tarian. Dewan Juri dari Festival tersebut terdiri dari D. Djajakusuma, budayawan Yulianti Parani, ahli tari Tadjudin, seorang notaris putra Betawi yang banyak menguasai berbagai aliran silat Betawi. Keputusan menetapkan sebagai pemenang pertama Festival tersebut adalah "Aliran Sabeni" pimpinan Mohammad Ali Sabeni dari TanahAbang; pemenang kedua "Sinar Kwitang" pimpinan Asmat dari Kwitang dan pemenang ketiga "Putra Betawi" pimpinan Utama dari Kayu Manis. Perlu diketahui bahwa "Aliran Sabeni :" sebagai pemenang pertama, menggunakan orkas Samrah sebagai pengiringnya, sedangkan "Sinar Kwitang" diiringi Orkes Gambang Kromong dan "Putra Betawi" menggunakan gendang pencak Betawi, seperti biasanya.

Dalam Festival Tari Pencak Silat yang diselenggarakan oleh Direktorat Pembinaan Kesenian pada tahun 1977 yang diikuti oleh kontingen-kontingen Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jogjakarta dan DKI Jakarta, kontingen DKI Jakarta menampilkan beberapa tari silat, antara lain "Tari Si Pecut" yang dibawakan oleh Utama yang umurnya sudah cukup lanjut itu, yang ternyata mampu mempesona para penonton. Karena Festival itu tidak bersifat kompetitif, melainkan hanya sebagai sarana pertukaran informasi dan bersifat apresiatif, maka tidak diadakan pemilihan kejuaraan.

0 comments:

Post a Comment

◄ Posting Baru Posting Lama ►
 

Total Pageviews