Posted by Blogger Name. Category:
Tari Sufi
Tarian Sufi ( Whirling Dervishes ) merupakan Tarian yang sangat religius dari Timur Tengah. Tarian ini merupakan inspirasi dari Filsuf dan Penyair Turki yang bernama Maulana Jalaluddin Rumi, dimana tarian ini bermakna bahwa dasar dari kehidupan di dunia dan di bumi ini adalah berputar. Tarian ini juga dianggap sebagai bentuk sebuah ekspresi dari rasa cinta, kasih, dan sayang yang maha tinggi dari seorang hamba kepada sang Robbi. Gerakan tubuh memutar berlawanan dengan arah jarum jam sebagai bentuk menyatukan diri dengan sang pencipta.
Konon ketika menari
seperti itu, para penari mengalami ekstase yang di kalangan para sufi dipahami
sebagai tingkat pencapaian perasaan penyatuan dengan Tuhan. Bahkan, ada pula
yang mengaku gerakan yang tercipta seolah-olah bukan dari diri si penari .Para
penari terus berputar mengikuti alunan musik, dimana semakin lama,
putaran itu kian cepat dan panjang. Kostum tari dengan rok lebar yang mereka
kenakan berkibar indah. Meliuk seiring dengan derasnya putaran para darwis (
penari ) itu. Seolah mengalami ekstase, mereka tampak menikmati putaran
demi putaran yang semakin kencang.
Sebagai sebuah pesta,
SUFI MEHFIL adalah perayaan ketika seorang “pencari” bertemu “Kekasih-Kasih itu
sendiri” yang ternyata berada di dalam diri. Yang menarik, inilah untuk pertama
kalinya, Anand Ashram menggelar tarian sufi ini untuk khalayak umum. Biasanya,
tarian ini hanya dilakukan dalam lingkungan terbatas, sebagai latihan spiritual
untuk hidup secara meditatif. Menurut seorang pelaku meditasi dari Anand
Ashram, meditasi memang bukan sekedar duduk diam selama berjam-jam. “Meditasi
adalah sikap hidup, yang harus mewarnai setiap pikiran, perkataan dan tindakan
kita. Hidup penuh kasih adalah hidup yang meditatif.” Ketika seseorang
merasakan cinta yang meluap-luap, tak bisa lain, ia akan merayakan cintanya
itu. Ia akan berpesta. Dan sungguh, itu bukan sebuah pesta biasa. Itulah pesta
para sufi. Itulah meditasi!
Membangkitkan kembali
peradaban suatu Bangsa PESTA PARA SUFI, sengaja dipersembahkan bagi masyarakat
luas karena keprihatinan yang mendalam terhadap masih besarnya ancaman
perpecahan masyarakat akibat pengkotak-kotakkan berdasarkan suku, etnis maupun
agama, hingga saat ini – yang disebabkan karena merosotnya kesadaran akan
kehalusan jiwa atau “Rasa” dalam diri manusia. Sufi Mehfil, sebenarnya,
hanyalah salah satu bentuk seni bernafaskan spiritualitas dari sekian banyak
bentuk lain – yang banyak berkembang di bumi Nusantara sejak dahulu kala – yang
bertujuan: membangkitkan “Rasa”, ataupun “Kasih” dalam diri.” Kebangkitan
“Rasa”, semestinya menjadi fungsi sekaligus tujuan seni dan budaya dalam
membangkitkan kembali peradaban suatu bangsa. Kendati berasal dari tradisi
Turki, Tarian Sufi, menyampaikan pesan universal yang sangat penting bagi
terciptanya landasan sejati persatuan dan kesatuan Indonesia. Tarian ini, serta
nyanyian dari tradisi lain yang juga akan ditampilkan, diharapkan menjadi
inspirasi bagi terjadinya kerekatan beragam budaya yang “hidup” di Indonesia
saat ini – baik yang datang dari tradisi “lokal” maupun dari “luar”. Persatuan
dan kesatuan di Bumi Pertiwi, memang tak seharusnya terperangkap dalam
pandangan nasionalisme sempit. Sebagaimana Ibu Pertiwi selama ini memperlakukan
mereka yang lahir, datang maupun berkembang di pangkuannya, tanpa pilih kasih.
Pengalaman kebersamaan inilah yang dipersembahkan melalui Sufi Mehfil, yang
dibawakan oleh mereka yang datang dari beragam suku, etnis dan agama.
Pencipta Tarian Sufi
Pria yang lahir pada
30 September 1273 di Balkh-Afghanistan dan wafat pada 17 Desember 1273 di
Konya-Turki ini meninggalkan warisan pemikiran spiritual yang banyak
menginspirasi umat Islam. Tari Sufi (Sema) adalah salah satu inspirasi yang
ditinggalkan Rumi yang merupakan paduan warna dari tradisi, sejarah,
kepercayaan, dan budaya Turki.
Rumi, menurut Profesor
Zaki Saritoprak, pakar dan pemerhati pemikiran Jalaluddin Rumi dari Monash
University, Australia,berpandangan bahwa kondisi dasar semua yang ada di dunia
ini adalah berputar. Tidak ada satu benda dan makhluk yang tidak berputar.
“Keadaan ini dikarenakan perputaran elektron, proton, dan neutron dalam atom
yang merupakan partikel terkecil penyusun semua benda atau makhluk, jelasnya.
Dalam pemikiran Rumi,
lanjut Saritoprak, perputaran partikel tersebut sama halnya dengan perputaran
jalan hidup manusia dan perputaran bumi. “Manusia mengalami perputaran, dari
tidak ada, ada, kemudian kembali ke tiada,” ujar Saritoprak.
Manusia yang memiliki
akal dan kecerdasan membuatnya berbeda dan lebih utama dari ciptaan Allah yang
lain. Tarian Sema yang didominasi gerakan berputar-putar, kata Saritoprak,
mengajak akal untuk menyatu dengan perputaran keseluruhan ciptaan
Prosesi Sema
menggambarkan perjalanan spiritual manusia dengan menggunakan akal dan cinta
dalam menggapai ‘kesempurnaan',jelas Saritoprak. Itu sebabnya, gerak berputar
menjadi ciri Tari Sufi yang dikembangkan Rumi.
Untuk turut
melestarikan dan menyebarkan pemikiran Rumi, baru-baru ini Lembaga Pendidikan
Pribadi Depok (Jawa Barat) yang merupakan sekolah kerja sama antara Indonesia
dan pemerintah Turki, menggelar pementasan Tari Sufi (Sema) Rumi di Auditorium
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Acara yang
terselenggara atas kerja sama dengan Pasiad Indonesia dan sekolah Kharisma
Bangsa ini menghadirkan para penari sufi (darwis) asli dari Turki. Menurut
Humas Sekolah Pribadi, Bibit Wiyana, kegiatan tersebut merupakan bagian dari
peringatan delapan abad filosof Islam asal Turki, Maulana Jalaluddin Rumi,
sebagai orang yang memperkenalkan tarian Sema. Selain itu, kita juga ingin
memperkenalkan kebudayaan Turki di kalangan masyarakat Indonesia, ujar Bibit di
sela acara pementasan Tari Sufi.
Dia melanjutkan,
kebudayaan Turki memiliki sejumlah kesamaan dengan kebudayaan Indonesia,
terutama dalam aspek nilai-nilai kedamaian yang universal serta mistisisme
Islam.
Rektor UIN Komaruddin
Hidayat yang berbicara dalam acara itu bersama Saritoprak menambahkan, hal yang
lebih penting dari simbolisasi Tari Sema adalah nilai-nilai cinta dan kedamaian
yang diajarkan Rumi melalui tariannya. “Kesempurnaan manusia dalam pemikiran
Rumi bisa digapai dengan meraih kebenaran yang didukung dengan menumbuhkan
cinta dan mengesampingkan ego dalam perjalanan spiritual seseorang,jelasnya.
Manusia yang telah
mencapai kematangan tersebut, lanjut Komaruddin, siap untuk melayani seluruh
ciptaan, seluruh makhluk, tanpa membedakan kepercayaan, ras, derajat, dan asal
bangsa. Pesan cinta dan kedamaian inilah yang sesungguhnya ingin disebarkan
Rumi melalui simbolisasi Tarian Semanya, imbuh Komaruddin
Menurut dia, wajah
cinta dan kedamaian yang diajarkan Rumi sebenarnya merupakan perwujudan nyata
atas nilai-nilai Islam yang diajarkan Rasulullah SAW. Jadi tidak benar kalau
ada yang beranggapan kalau wajah Islam adalah wajah teroris yang penuh dengan
kekerasan. Islam itu sangat dekat dengan kedamaian dan cinta, seperti yang
ditunjukkan Rumi melalui Tarian Semanya, ujar Komaruddin.
0 comments:
Post a Comment