Tuesday, September 30, 2014

Tarian ular menghormati Maapuru puau (suku Komoro)


Image : Tari Ular

Beberapa laki-laki Kamoro sedang sibuk memilih batang pohon Kaukurako—sejenis kayu putih yang ringan—di hutan sekitar Pigapu. Setelah ada satu pohon Kaukurako yang dipilih, seorang diantara rombongan penebang membungkus tembakau dalam sebuah daun dan meletakkannya di bawah pohon sambil mengucapkan sesuatu. Pigapu adalah sebuah kampung yang letaknya sekitar 50 km dari Kota Timika. Dapat ditempuh selama 1,5 jam melalui jalan darat.

Lelaki-lelaki Kamoro ini, hendak memotong pohon Kaukurako sepanjang 1,5 meter untuk dibuat patung ular. Patung ular yang akan dibuat di rumah panggung besar ini bukan untuk cinderamata, tetapi untuk upacara ritual tari ular.

Tarian ini sangat sacral dalam kehidupan masyarakat Kamoro di Kampung Pigapu karena merupakan penghormatan pada leluhur Kampung Pigapu, Mapuru Puau. Ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi sebelum tarian ular digelar. Nama Mapuru Puau juga menyisakan kontraversi lantaran ada yang menyebutnya Mapurupiyu. Tarian ular pernah dipertunjukan saat warga Pigapu menggelar ritual adat pada peletakan batu pertama pendirian tuguh Mapuru Puau.

Selain itu hanya orang-orang tertentu, tetua adat atau keturunan Perapoka (Tete-Red) Mapuru, yang boleh terlibat sejak proses persiapan hingga tarian ular dilakukan. Bila hal ini dilanggar, pelakunya bisa jatuh sakit atau mengalami kesusahan dalam hidupnya.

Mapuru Puau, pada masa kecil hidup dalam situasi yang serba menyedihkan. Mapuru kecil selalu kelaparan dan hidup bergantung pada belas kasih orang lain. Untungnya penduduk Kampung Pigapu sangat mengasihi Mapuru.

Setelah dewasa, Mapuru Puau kemudian berumahtangga. Pada suatu hari keduanya pergi ke hutan untuk memangkur sagu. Ketika asik memangkur sagu Mapuru terpisah dari istrinya karena ditangkap seekor ular besar. Ular ini berjanji akan melepaskan Mapuru dengan sebuah syarat sebagai pantangan yang harus dipenuhi Mapuru.

Mapuru diminta tidak menyantap jenis ikan tertentu sepanjang hidupnya. Mapuru menyanggupi syarat ini dan kembali ke istrinya. Tetapi malang, pada suatu ketika pantangan ini dilanggar Mapuru. Sejak saat itu sosok Mapuru lenyap seperti ditelan bumi.

Penduduk Pigapu percaya kalau Mapuru sebetulnya tidak meninggal melainkan menghilang di suatu tempat. Tempat hilangnya Mapuru, jalan Timika-Mapurujaya, kini dibangun tugu dengan hiasan orang tua dengan dua ekor anjingnya yang kini persisnya berada di tepi jalan aspal yang menghubungkan Mapuru Jaya dan Timika. Sampai saat ini anak cucu dari Mapuru Puau tidak mengetahui secara pasti wajah dari leluhur mereka. Hal itu sempat menyulitkan Lembaga Musyawarah Adat Suku Kamoro (LEMASKO) saat hendak mendirikan tugu Mapuru Puau karena ketidaktahuan wajah dari sang legendaries itu. Beruntung salah seorang cucu dari Mapuru Puau bermimpi dan dalam mimpi itu ia kedatangan leluhur dengan wajah sebagaimana saat ini terlihat berbentuk patung. Mimpi sang cucu itu kemudian dituangkan dalam bentuk gambar.

Persiapan tarian ular

Potongan batang pohon Kaukurako yang sudah dibawa pulang, kemudian diukir dan dipahat menyerupai kepala ular. Setelah selesai, kepala ular ini diwarnai dengan warna-warna tradisional. Bagian-bagian tubuh ular lainnya akan dirangkai secara bertahap, dan bagian mata ular akan dipasang paling akhir, beberapa saat sebelum tarian ular digelar.

Penduduk Pigapu percaya bahwa mata adalah simbol kehidupan, ketika dipasang di patung ular roh ular akan hidup dan menjaga penduduk Kampung Pigapu. Sambil menunggu hari pelaksanaan tarian, patung ular tanpa mata ini biasanya disimpan di rumah tetua adat.

Hari pementasan tari ular pun tiba, penduduk sudah mengenakan pakaian adat lengkap dengan berbagai asesorisnya. Ada yang memakai hiasan bulu burung kasuari. Sebagian lagi mengenakan hiasan burung Cenderawasih atau daun sagu kering.

Penduduk juga melumuri tubuh mereka dengan hiasan menggunakan kapur putih dan tanah merah. Sementara kaum perempuan menghiasi rambut mereka dengan bunga warna-warni. Semua berkumpul di rumah panggung besar untuk melaksanakan tarian ular. Sebelum pementasan, seorang lelaki Kamoro akan meniup mbiti—sepotong buluh yang mengeluarkan suara lenguhan keras—untuk mengundang seluruh penduduk agar segera berkumpul.

Sebelum patung ular dibawa keluar tetua adat memasang mata pada patung ular. Dalam tradisi ini, hanya tetua adat saja yang boleh membawa patung ular dan memasang mata patung ular. Emee (tifa-red) ditabuh mengiringi keluarnya patung ular dari dalam rumah.

Lagu rakyat Pigapu mulai dinyanyikan, dan perempuan-perempuan Kamoro yang sedang menuju rumah panggung besar, segera menggoyangkan tubuhnya seirama dengan bunyi tifa, sembari berjalan menuju tempat pelaksanaan tarian ular.

Patung ular kemudian di bawa keluar rumah, diiringi bunyi tetabuhan tifa dan lagu rakyat yang dinyanyikan bersaut-sautan. Sisiknya berwarna hitam legam, lidahnya berwarna merah menjulur keluar.

Suasana yang semua riuh dengan suara nyanyian dan pukulan tifa, tiba-tiba hening. Semua mata tertuju pada patung ular yang dibawa keluar oleh tetua adat. Rasa haru mulai merayap memenuhi ruang hati perempuan-perempuan Kamoro yang hadir.

Suara tetabuhan tifa dan nyanyian, kini berganti dengan isak tangis penduduk Pigapu. Mereka mengingat kembali penderitaan yang dialami Mapuru Puau ketika dibelit seekor ular besar.

Setelah usai, patung ular disimpan kembali. Menurut penduduk Pigapu, patung ular yang pernah dimainkan tidak boleh disimpan terus. Tubuh patung ular kemudian dibongkar hingga sosoknya tidak bersisa lagi.


Keesokan harinya, tetua adat Kampung Pigapu mengambil mata patung ular dan menguburnya tidak jauh dari tempat acara tarian ular dipergelarkan. Sementara potongan tubuh patung ular dikuburkan juga di tempat terpisah. Tetapi sebelumnya tetua adat mengambil sejumput tembakau dan disertakan bersama potongan-potongan tubuh patung ular. Sumber: LPMAK

0 comments:

Post a Comment

◄ Posting Baru Posting Lama ►
 

Total Pageviews