Posted by Blogger Name. Category:
tradisi suku tertinggal di papua
,
Warisan Tradisi Suku-Suku Petinggal di Papua
Tanah
Papua Indonesia memiliki jutaan pesona. Dimulai dari lanskap alam yang meliputi
pegunungan, lembah, sungai, danau pantai dan bawah laut serta isinya sampai
perhelatan seni-budaya yang dapat mencuri perhatian dunia. Pesona yang bisa
kita nikmati ini tak lepas dari prinsip hidup orang papua yang menyelaraskan
diri bersama alam.
Kearifan
lokalnya diteruskan secara turun temurun. Dilaksanakan dalam kehidupan sehari-
hari dan bersanding dengan perkembangan jaman. Papua yang begitu pesona
memiliki beberapa suku yang terdapat di dalamnya, yang memiliki perbedaan
budaya. keberadaan mereka perlu kita kenali dan ketahui.
Suku Matbat : Menjaga
Laut Dengan Samsom
Rumah Suku Matbat ( Foto: Ucu Sawaki) |
Perlu kita ketahui selain keindahan pesona alam bahari
dari Kepulauan Raja Ampat. Raja Ampat memiliki tradisi yang secara turun
temurun dilakukan oleh suku yang tinggal di Kepulauan Raja Ampat. Tradisi ini
bisa di bilang berpengaruh besar terhadap keberadaan ekosistem perairan Raja
Ampat.
Suku Matbat merupakan suku yang ada di Kepulauan Raja
Ampat yang dapat kita jumpai di Kampung Magey, Kampung Lenmalas, Kampung Salafen,
Kampung Atkari, Kampung Folley, Kampung Tomolol, Kampung Kapatcool dan Kampung
Aduwei. Selain Suku Matbat kita juga dapat menjumpai suku-suku lainnya.
Di
Pulau Salwati misalnya terdapat Suku Moi ( Moi-Maya), Suku Fiat , Suku Tepin,
Suku Waili, Suku Domu, dan Suku Butlih. Di Pulau Waigeo terdapat Suku Laganyan,
Suku Waiyai, Suku Kawe, Suku Ambel, Suku Biak, dan suku- suku lain seperti Suku
Bugis dan Buton.
Disinilah
suku-suku yang tinggal di Kepulauan Raja Ampat secara bersama membuat
kesepakatan untuk menjaga kelestarian lingkungan laut. Bahwasannya di dunia
modern saat ini masalah lingkungan menjadi sebuah perbincangan dan masalah
serius bagi dunia namun suku-suku petinggal di Raja Ampat sudah menyikapinya
dari sejak dahulu. Sebab alam yang memberi berkah bagi mereka maka mereka patut
pula menjaganya.
Kesepakatan
berupa adat istiadat setempat itu di kenal dengan istilah Sasi atau Samsom.
Secara harfiah Samsom dalam bahasa Suku Matbat yang berarti larangan. Tradisi
Samsom merupakan sebuah aturan bersama bahwa masyarakatnya dilarang mengganggu
satu wilayah dalam kurun waku tertentu. Ritual Samsom dilaksanakan setahun
sekali selama kurun waktu enam hingga tujuh bulan lamanya. Ritual Samsom ini di
pimpin oleh tokoh masyarakat yang disebut Mirinyo.
Pelaksanaan
upacara adat di mulai ketika seorang Mirinyo membacakan mantra yang ditunjukan
kepada para penjaga laut. Suku Matbat percaya bahwa para penjaga laut itulah
yang memberikan kesuburan kepada mahluk hidup laut sehingga hasilnya akan
berlimpah.
Mantra-mantra
dibacakan saat matahari terbit, Mirinyo berdiri di depan kampung dan menghadap
laut lalu menancapkan tanda larangan yang disebut Gasamsom. Tanda larangannya
berupa batang pohon salam yang daunnya di pangkas. Cabang dan rantingnya
dibiarkan utuh untuk menggantungkan sesajen seperti Sababete berupa rokok,
pinang, tembakau, dan carik-carik kain bewarna merah. Mirinyo juga menancapkan
dua buah Gasamsom pada ujung-ujung kampung dan semuanya menghadap ke laut.
Disaat itulah larangan berlaku dan setiap penduduk asli
ataupun pendatang dilarang untuk mengambil hasil laut hingga Sasi atau Samsom
selesai. Bagaimana untuk yang melanggar ?. Untuk yang melanggar aturan, jika dahulu
diberikan hukuman berupa cambuk dan pasung, namun saat ini diganti dengan
pekerjaan-pekerjan yang bermanfaat untuk kepentingan sosial.
Dalam tradisi Samsom tidak adanya pengawasan oleh
pemerintahan adat hanya saja ini merupakan menjadi tanggung jawab seluruh
warga. Dengan maksud bagi warga yang melihat pelanggaran wajib melaporkan
kepada pemimpin adat.
Mereka percaya bila waktunya tiba, akan di tandai dengan
perubahan alam seperti angin tidak lagi bertiup kencang, dan kemudian Samsom
dinyatakan dibuka. Waktu pelaksanaan juga di pagi hari menjelang matahari
terbit dan seluruh warga menghadap laut. Kepala adat yang disebut raja mengucapkan mantra-mantra kepada
penjaga, penghuni laut, serta leluhur yang telah meninggal. Isinya mengucapkan
rasa syukur atas perlindungan selama masa Samsom, terima kasih atas kesuburan,
serta permohonan agar warga Kampung Lilinta tidak terkena musibah selama mereka
mengumpulkan hasil laut. Lalu Mirinyo meniupkan Kulit Triton (sejenis cangkang
kerang) dengan keras sebagai tanda
masa Samsom telah berakhir.
Pada hari pertama pembukaan Samsom warga yang masih sehat
dan kuat, laki – laki , perempuan, anak – anak langsung menyerbu laut, mereka
mengambil hasil dari laut seperti kerang, Ikan, rumpu laut dan lainnya. Dalam pengambilan
juga memiliki aturannya seperti di hari pertama dilarang melewati batas
perairan yang ditentukan dari pesisir pantai. Pada hari kedua warga dapat
mengambil hasil laut di zona berikutnya, yang agak jauh dari pesisir pantai.
Dan di hari ketiga warga boleh mengambil hasil laut di wilayah perairan yang
jauh.
Suku Matbat sangat peduli dengan pelestarian lingkungan
laut, sesungguhnya mata pencaharian utama mereka adalah bercocok tanam dan
mencari sagu. Dari tradisi Samsom sepertinya Suku Matbat memiliki pandangan
kedepan tentang perubahan iklim yang tak menentu. Untuk itu mereka harus bisa
hidup di dua alam. Manjadi petani sekaligus pelaut.
Ini merupakan Kepulauan yang ajaib di mana suku – suku petinggalnya
mampu menyerap sistem pengetahuan modern secara cepat juga mampu dalam
mempertahankan adat istiadat setempat. Di situlah perubahan demi perubahan
terjadi tanpa harus meninggalkan identitas diri.
Sebuah sistem konservasi alam yang di kenal dengan Sasi
atau Samsom memiliki andil besar terhadap pelestarian alam di segitiga koral
yang menjadi jantung kekayaan terumbu karang dunia yaitu Raja Ampat, dengan
tradisi ini sehingga keberadaan populasi biota laut dapat terjaga dan tetap
lestari. Budaya yang dibangun dari
kearifan lokal kampung-kampung kecil di Kepulauan Raja Ampat patut di
lestarikan!.
Suku Biak : Dalam
Pesta Meneguhkan Bersama
Suku Matbay dengan sistem koservasi alamnya yang membawa
pelestarian dalam lingkungan lautnya. Kini Suku Biak membawa tradisi – tradisi secara
turun temurun dari leluhurnya dengan menuangkan dalam setiap gerak kehidupannya
dalam sebuah lagu dan pesta.
Suku Biak menyebutkan pusat kehidupan merupakan lagu dan
pesta dengan istilah Munara atau Wor Biak. Jika seorang di undang untuk
mengambil bagian dalam pesta, menari, dan bernyanyi, ia harus datang. Kehadiran
seseorang dalam sebuah Wor menunjukan kepedulian terhadap sesama, memperkuat
persatuan, dan juga merasakan apa yang dirasakan orang lain.
Pesta ini terbagi dalam dua bagian, Wor Sraw yang berarti
pesta kecil, dan Munara atau Wor Veyeren artinya pesta besar. Kata Munara atau
Wor mengandung pengertian pesta. Terdapat 18 pesta kecil atau Wor Sraw dalam Suku
Biak dan 11 pesta besar Munara atau Wor Veyeren.
Munara isya vave oser
er mnu isya kako. Semangat kebersamaan,
rasa kasih sayang, dan rasa memiliki terhadap kampung menunjukan bahwa Muara
atau Wor Biak merupakan cara atau kearifan lokal Suku Biak untuk menjawab
segala rintangan kehidupan.
Itulah sebabnya orang Biak percaya malaksanakan upacara
Wor akan mendatangkan rejeki dan berkah bagi keluarga dan masyarakat sekitar. Jika
tidak sistem kehidupan dan aktivitas hidup orang Biak akan lumpuh total.
Suku Sebyar : Tujuh
Klan di Desa Tomu
Sebuah desa kecil berdiri di pinggir anak sungai Gonggo,
inilah desa Tomu, salah satu tempat tinggal Suku Sebyar di kawasan Teluk
Bintuni. Desa ini terletak di bagian utara Kecamatan Aranday, Kabupaten Manokwari, Untuk mencapai desa bisa
menggunakan perahu sekitar 30 menit. Atau berjalan kaki sejauh empat kilometer
jarak Aranday-Desa Tomu
Menurut cerita Suku Sebyar berasal dari Gunung Nabi. Gunung
yang disakralkan. Lalu menyebar ke daerah hutan dan rawa-rawa setelah terjadi
peristiwa air bah. Mereka menggunakan rakit bamboo untuk mencari tempat baru.
Nenek moyang Suku Sebyar dari Klan Kosepa bertemu dengan klan Nawarisa yang
mengajak mereka membuka lahan baru. Inilah Desa Tomu yang artinya tempat
bertemu.
Ada sekitar tujuh klan Suku Sebyar yang tinggal di Desa Tomu,yakni Kosepa,Kaitam, Efum, Gegetu,
Nawarisa, Inai, dan Kinder. Tujuh klan tersebut termasuk dalam sub suku Dambad.
Sementara Suku Kembran terdapat 18 klan diantaranya, Tabyar, Urbon,
Nabi,Iribaram,Bauw. Masing-masing klan memiliki dan mengetahui Hak Ulayat.
Jika salah satu warga ternyata bukan pemilik hak ternyata
mengambil sagu di tanah ulayat klan lain, ia wajib memberitahu klan pemiliknya.
Jika tidak ia akan di hukum secara adat, meski demikian tetap ada hutan bersama
yang dapat digunakan oleh seluruh klan.
Di Tomu setiap klan bekerja secara bersama saat mengambil
sagu, upacara adat , mengurus orang meninggal dan serta membuat kelompok nelayan
dan koperasi. Begitu juga saat salah satu anggota keluarga yang akan melakulan
pernikahan , kerjasama ini akan semakin terlihat.
Suku Kombay – Koroway
: Rumah Pohon, Api Suci dan Pesta Ulat Sagu
Suku Kombay – Koroway mendiami rimba raya Papua di
wilayah Citak Mitak, Kabupaten Mappi yang merupakan perbatasan Kabupaten
Yahukimo,Kabupaten Jaya wijaya, dan Kabupaten Boven Digoel.
Kedua Suku ini disebut-sebut sebagai suku terakhir di
jaman batu yang masih ada di dunia. Namun tidak berarti suku Kombay-Koroway
berinteraksi dengan dunia luar. Banyak dari mereka telah membangun pemukiman
baru di Yaniruma, di tepi Sungai Becking,Mu dan Basma. Ada juga yang tinggal di
Mabul, tepi sungai Eiladen dan Khaiflambolup .
Dari Kampung tersebut kita bisa
untuk melakukan penjelajahan ke dunia Kombay - Koroway
Kehidupan Suku Kombay – Koroway yang masih tinggal di
rimba raya menjadi tujuan para wisatawan yang ingin belajar hidup dengan cara
menyatu dengan alam. Perkampungan kecil Kombay – Koroway tidak seperti Kampung
Suku Dania tau Asmat.Rumah mereka unik dibangun diatas pohon dengan ketinggian
10-30 meter dari permukaan tanah.
Alasan dibangun seperti itu adalah untuk menghidari dari
binatang buas juga serangan-serangan dari suku lain dahulunya. Rumah ini di
bangun dengan susunan kayu-kayu dengan ikatan rotan, dan dinding dengan bilahan
bamboo juga kulit kayu. Dan atap rumah mereka menggunakan daun sagu. Untuk menaiki
rumah menggunakan tangga yang lurus terbuat dari
batang-batang kayu.
Pada waktu tertentu wagra berkumpul untuk mengadakan
pesta, nama pestanya adalah Pesta Ulat Sagu. Pesta ini berfungsi untuk
mengikatkan tali persaudaraan sesama mereka. Pesta ini juga berfungsi untuk
mengetahui silsilah keluarga dan katurunan. Pesta dilakukan di sebuah rumah
panjang. Di dalam rumah ini mereka mengucapkan rasa syukur kepada dewa yang
mereka percayai yaitu Dewa Refaru.
Pesta dilakukan antara 5-10 tahun sekali dan berlangsung
selama semalam,tidak boleh lebih. Pesta ini merupakan peristiwa penting bagi
Suku Kombay-Koroway. Pesta ini dimulai dengan penebangan pohon untuk
pertumbuhan ulat sagu. Lalu melumuri dengan lemak babi dan bulu burung pada
akar pohon. Disaat bekerja mereka sambil bernyanyi dan membacakan mantra.
Setelah lebih kurang enam minggu berselang mereka panen. Ulat-ulat sagu sebesar ibu jari dikumpulkan lalu dibawa kerumah, ulat sagu di bungkus dalam daun sagu dan di ikat dengan rotan. Induk ulat sagu di bungkus dan di ikat pada tiang pusat yang berdiri di tengah ruang pesta.
Hal yang tak kalah penting dalam prosesi pesta ulat sagu
adalah menyalakan api suci. Api dinyalakan oleh seorang laki-laki dari pihak
keluarga yang pesta. Orang ini disebut “ penjaga api” sejak pertama kali
dinyalakan api tidak boleh padam. Api ini diletakan pada tungku di dalam rumah
panjang, posisinya tepat di samping tiang pusat. Hanya penjaga api yang boleh
masuk ke dalam, keberhasilan Pesta Ulat Sagu terletak pada orang penting ini.
Saat menghadiri pesta suku kombay-koroway menghias diri
dengan berbagai aksesoris, kalung, anting – anting yang terbuat dari gigi
hewan.setelah itu mereka makan bersama santapannya ulat sagu juga makanan
berbahan sagu, daging babi, umbi-umbian dan tanaman lain yang menjadi makanan
para suku kombay-koroway. Pesta ini digelar agar kelanjutan hidup suku
terjamin. Jauh dari gangguan dan bencana, selain itu sebagai sebuah momentum
pengembalian semangat kehidupan.
Adat istiadat yang dimiliki setiap suku di tanah papua
selalu berkaitan dengan lingkungan tempat tinggal mereka. Mereka mengatur waktu,
wilayah, dan bagaimana cara mengolah alam yang diatur dalam pemerintahan adat
mereka. Selain itu mereka juga melihat
interaksi sesama kelompok dan orang di luar kelompok. Tak hanya dalam sebuah
upacara melainkan dalam kehidupan keseharian. Mereka yang memeluk agama dan
memegang teguh ajaran nenek moyang percaya sepenuhnya bahwa alam semesta ini
perlu dijaga. Sebagai pemberian dan amanah dari sang pencipta. Pada akhirnya system
budaya yang berlaku membentuk jati diri orang Papua.
0 comments:
Post a Comment