Teater rakyat Betawi adalah tontonan berlakon yang bersifat kerakyatan dan improvisatoris, diiringi oleh musik rakyat Betawi tertentu yang pernah tumbuh dan berkembang di wilayah budaya Betawi sedikitnya dalam dua generasi.
Bentuk-bentuk kesenian yang tergolong dalam teater rakyat Betawi adalah : Lenong (Preman dan Denes, Jinong), Topeng Betawi (Jipeng, Blantek), Tonil Sambrah, dan Wayang Kulit Betawi.
Di luar itu ada Shahibul Hikayat dan Gambang Rancang yang dapat digolongkan ke dalam teater bertutur. Kecuali itu juga ada Wayang Orang Betawi dan Cador (Penca Bodor) yang kemungkinan antara ada dan tiada.
Pertumbuhan bentuk teater rakyat Betawi, merupakan proses teatersasi dari musik rakyat Betawi tertentu, ditambah unsur tari. Karena dalam pertunjukan semalam suntuk lagu dan tari itu membosankan, lahir kreativitas baru berupa unsur humor tanpa kerangka plot cerita terencana.
Proses teaterisasi selanjutnya adalah menambahkan beberapa banyolan pendek terdiri atas beberapa adegan dari lakon yang tak selesai. Dapat dianggap sebagai proses teaterisasi yang terakhir apabila dalam pertunjukan semalam suntuk kesenian itu hanya membawakan sebuah lakon panjang terdiri atas puluhan adegan dan merupakan lakon yang utuh dan selesai.
Proses pertumbuhan semacam ini dialami oleh semua bentuk teater rakyat Betawi, kecuali Wayang Kulit Betawi yang langsung ke tahap akhir karena perkawinan dari musik gamelan ajeng dengan wayang kulit yang merupakan pengaruh beranting dari wilayah yang lebih timur.
Topeng Betawi
Topeng dalam bahasa Betawi mempunyai beberapa arti. Pertama berarti kedok penutup wajah. Kedua berarti teater dan pertunjukan. Ketiga berarti primadona atau penari. Topeng yang dibahas di sini topeng dalam pengertian teater tradisional atau teater rakyat Betawi.
Teater topeng Betawi mulai tumbuh pada awal abad ke-20. Daerah pertumbuhannya di pinggiran Jakarta. Karena tumbuhnya di pinggiran Jakarta, topeng dipengaruhi oleh kesenian Sunda. Saat itu masyarakat mengenal topeng melalui pertunjukan ngamen keliling kampung. Ada yang berpendapat topeng Betawi berasal dari kesenian ubrug. Pendapat itu masih perlu diperdebatkan. Dahulu ubrug dan topeng Betawi hidup secara damai.
Pada awalnya pementasan atau pertunjukan topeng tidak menggunakan panggung. Topeng mengadakan pentas di tanah. Bila perkumpulan topeng mengadakan pementasan, properti yang digunakan hanya colen (lampu minyak) bercabang tiga dan gerobak kostum diletakkan di tengah arena. Dengan kondisi itu pemain dan penonton tidak dibatasi dengan tirai atau dekor apapun. Pergantian adegan dilakukan dengan mengitari colen.
Awal 1960-an pertunjukan topeng sudah dilakukan di atas panggung. Alat penerangnya bukan lagi colen, tetapi lampu petromaks atau listrik. Di panggung dipasang layar polos ditambah properti lain berupa sebuah meja dengan dua buah kursi.
Pertunjukan topeng diiringi oleh musik yang disebut tabuhan topeng. Tabuhan topeng terdiri dari rebab, kromong tiga, gendang besar, kulanter, kempul, kecrek, dan gong buyung. Lagu yang dimainkan lagu Sunda Gunung namun khas daerah pinggir Jakarta.
Nama lagunya antara lain : Kang Aji, Sulamjana, Lambangsari, Enjot-enjotan, Ngelontang, Glenderan, Gojing, Sekoci, Oncom Lele, Buah Kaung, Rembati, Lipet Gandes, Ucing-Ucingan, Gegot, Gapleh, Karantangan, Bombang, dan lain-lain.
Pertunjukan topeng biasanya diadakan sehubungan dengan pesta perkawinan, hitanan, dan nazar. Pertunjukan yang dimaksudkan membayar nazar ditandai dengan upacara ketupat lepas. Ada upacara yang harus dikerjakan sebelum pementasan topeng. Upacara ini bertujuan agar pertunjukan selamat dan agar alam tidak marah yang dapat membinasakan manusia.
Pertunjukan topeng Betawi berjalan semalam suntuk. Pertunjukan dibagi dalam tiga bagian. Bagian pertama pra-lakon. Bagian kedua lakon atau cerita inti. Bagian ketiga Jantuk. Pra-lakon dimulai setelah shalat Isya dengan menampilkan lagu instrumentalia. Instrumentalia ini disebut Arang-Arangan dan Tetalu yang berfungsi mengumpulkan penonton.
Setelah instrumentalia dilanjutkan dengan tari Topeng Kedok atau Topeng Tunggal yang dimainkan oleh penari wanita berbusana gemerlap dan indah. Bodor dimainkan seorang pria dengan busana sederhana namun kelihatan lucu. Pasangan yang kontras ini manari, menyanyi, dan melawak.
Lakon atau cerita inti dimulai hampir tengah malam. Jika lakon yang dibawakan pendek, dalam satu malam dimainkan dua atau tiga lakon. Jika lakon panjang, hanya satu lakon.
Lakon panjang antara lain berjudul : Bapak Sarkawi, Jurjana, Mandor Dul Salam, Pendekar Kucing Item, Tuan Tanah Kedaung, Lurah Barni dari Rawa Kalong, Lurah Murja, Rojali Anemer Kodok, Asan Usin, Daan Dain, Waru Doyong, Aki-Aki Ganjen, dan sebagainya. Ciri khas lakon itu mengisahkan tokoh-tokoh yang akrab dan dikenal masyarakat. Bahasa yang digunakan yaitu bahasa Betawi pinggir atau disebut juga bahasa Betawi Ora.
Setelah lakon inti selesai,bagian penutup dimulai. Bagian ini berisi lakon Bapak Jantuk. Lakon Bapak Jantuk berlangsung sampai datangnya waktu subuh. Lakon Bapak Jantuk dimainkan oleh pemeran Bapak Jantuk, Mak Jantuk, dan anak mereka yang berupa boneka yaitu Si Jantuk.
Tokoh lain yaitu mertua Jantuk yang biasanya dimainkan oleh pemusik paling senior sambil tetap duduk. Bapak Jantuk berkedok hitam dengan muka sembab, jidat (dahi) nongnong (menonjol).
Cerita Bapak Jantuk berkisar sekitar Pak Jantuk yang gembira sambil menimang anaknya. Kegembiraan Bapak Jantuk terhenti ketika ia mencari lauk kesukaannya, totok ikan peda, hilang dimakan kucing. Bapak Jantuk marah kepada istrinya, Mak Jantuk. Mak Jantuk tidak menerima perlakuan Bapak Jantuk. Mereka bertengkar. Puncak pertengkaran Bapak Jantuk menceraikan Mak Jantuk.
Hidup sebagai duda membuat Bapak Jantuk sadar. Atas saran mertuanya, Bapak Jantuk mengajak rujuk Mak Jantuk. Mak Jantuk juga bersedia rujuk. Akhirnya keluarga Jantuk rukun kembali.
Inti cerita Bapak Jantuk adalah nasehat berkeluarga. Jangan membesar-besarkan masalah kecil. Jangan terlalu cepat mengambil keputusan yang akhirnya merugikan. Persoalah harus diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Nasehat itu disampaikan dengan sederhana dan penuh humor.
Dalam perkembangannya, topeng tidak lagi main semalam suntuk. Keterbatasan waktu menyebabkan bagian pra-lakon dan bagian Bapak Jantuk tidak dimainkan. Akibatnya saat ini tidak ada seniman topeng yang mampu membawakan tokoh Bapak Jantuk dengan baik. Kondisi ini cukup menghawatirkan bagi kelangsungan hidup Bapak Jantuk.
Tokoh yang pernah mengembangkan teater topeng adalah : Jiun (Cisalak), Kumpul (Pekayon), Kecil (Cijantung). Ronggeng Topeng paling sohor masa lalu adalah Mak Kinang (Cisalak) dan Mak Manih (Gandaria, Pekayon).
Mereka diteruskan leh Bokir, Kisam, Dalih, dan lain-lain. Semua tokoh yang disebut itu telah tiada. Penerus Topeng kini berada di pundak generasi ketiga dan keempat Dinasti Cisalak dan Dinasti Tambun, seperti Omas, Mandra, Mastur, Kartini, Entong Kisam, Atin Kisam, Tatang Suhenda, Andy Suhandy, Sunta, Udin, Nomir, dan sebagainya.
Bagaimana Blantek
Kelahiran topeng blantek belum diketahui dengan pasti. Tetapi tahun 1930-an, Nasir Boyo, pimpinan blantek dari Cijantung, sudah mulai bermain. Menurut SM. Ardan munculnya blantek dari keisengan bocah angon. Bocah angon yang sedang istirahat iseng-iseng main topeng.
Sundung (alat tempat membawa rumput) dijadikan pagar pemisah penonton dan pemain. Dalam permainan itu bocah angon mengiringinya dengan tabuhan yang ada di sekitar mereka. Ada yang menabuh kaleng bekas, memukul parang, dan sebagainya. Bunyi pukulan itu blentang blantek. Lahirlah istilah topeng blantek.
Blantek awalnya diakui sebagai teater topeng tingkat pemula. Di kalangan seniman topeng, jika ada pemain topeng yang bermain jelek, diejek dengan menyebutnya sebagai pemain topeng blantek.
Seniman blantek tidak kecil hati. Perkumpulan blantek pun bermunculan, misalnya di Ciseeng, Citayam, Bojong Gede, dan Pondok Rajeg. Pada perkembangannya, blantek memiliki identitas sendiri. Musik pengiringnya rebana biang.
Di awal pertunjukan dibawakan lagu-lagu zikir dan shalawat. Kreativitas mereka berkembang dengan menampilkan tari blenggo, pencak silat, dan sulap gedebus. Pertunjukan blantek merupakan campuran antara tari, nyanyi, lawak, dan lakon.
Pertunjukan blantek sangat sederhana dan tanpa dekorasi. Beberapa hal tidak dapat lepas dari pengaruh topeng dan lenong. Beberapa lakon blantek diambil dari topeng dan lenong.
Lakon blantek yang diambil dari lenong antara lain : Udrayaka, Jaka Sondang, Jampang Mayangsari, Si Pitung, Nyai Dasima, dan sebagainya. Lakon yang diambil dari topeng antara lain : Jurjana, Mandor Dul Salam, Tuan Tanah Kedaung, Pendekar Kucing Item, dan sebagainya. Meski begitu ada lakon asli blantek, seperti : Kramat Pondok Rajeg, Kembar Empat, Ahmad Muhammad, dan Prabu Zulkarnaen. Pada pertunjukan semalam suntuk, blantek juga menampilkan lakon Bapak Jantuk.
Perkembangan kesenian blantek tidak menggembirakan. Blantek hanya tumbuh dan berkembang di wilayah sekitar Bogor, khususnya di kampung Bojong Gede, Pondok Rajeg, Citayam, dan Ciseeng. Regenerasi tidak berjalan sebagaimana seharusnya.
Sejak tahun 1950-an aktivitas blantek vakum. Tahun 1976 Pemda DKI Jakarta mulai menggali kembali blantek. Tahun 1979 diadakan lokakarya dan festival blantek. Kegiatan festival blantek dilaksanakan kembali tahun 1994 dan 1997. Festival dimaksudkan untuk regenerasi, dorongan moril, motivasi berkreasi, dan perluasan persebaran blantek. Namun kegiatan-kegiatan itu tidak mencapai target.
Saat ini hanya ada beberapa grup blantek yang bertahan, yakni Blantek Si Barkah (non aktif), Nasir Boyo (non aktif), dan Blantek Nasir Mupid dari kampung Petukangan, Jakarta Selatan. Grup ini pun kurang aktif, lantaran kurang memperoleh apresiasi dari masyarakat, khususnya dari Pemprov DKI Jakarta.
0 comments:
Post a Comment