Posted by Blogger Name. Category:
Mengenal Suku Baduy di Provinsi Banten
,
Sejarah Suku Baduy di Provinsi Banten
,
suku baduy
Banten merupakan sebuah provinsi
di sebelah barat Pulau Jawa memiliki moto
“Iman Taqwa”. Moto ini mengartikan bahwa seluruh masyarakat Banten
adalah orang-orang yang memiliki agama atau kepercayaan yang kuat dan mendominasi
hampir seluruh kehidupan mereka. Ibu kota Banten adalah Serang. Hari jadi
provinsi Banten adalah 4 Oktober 2000. Titik koordinat wilayah Banten adalah 5° 7' 50" - 7° 1' 11" LS
dan 105° 1' 11" - 106° '12" BT.
Untuk saat ini pemerintahan
Provinsi banten dipimpin oleh Gubernur Hj. Ratu Atut Chosiyah. Luas wilayah
Banten sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2000
adalah 9.160,70 km2, dengan Populasi 10.644.030
jiwa, dan kepadatan 1.161,9/km².
Demografi Banten sendiri terdiri
dari Suku bangsa Banten dengan presentase sebesar 47% dari jumlah
penduduk, Sunda dengan presentase sebesar 23% dari jumlah penduduk, dengan presentase
sebesar Jawa 12% dari jumlah penduduk, dengan presentase sebesar Betawi 9,62% dari jumlah penduduk, Tionghoa dengan
presentase sebesar 1,1% dari jumlah
penduduk, Batak dengan presentase sebesar 0,93% dari jumlah penduduk, Minangkabau dengan
presentase sebesar 0,81%, dari jumlah
penduduk Lain-lain dengan presentase sebesar
54% dari jumlah penduduk. Mereka berbahasa Sunda, Jawa Banten,
Indonesia, dan Betawi. Dan kebanyakan mereka memeluk agama Islam, karena hampir
96,6% jumlah presentase pemeluk agama islam. Sedangkan yang beragama Kristen
1,2%, Katolik 1%, Buddha 0,7%, dan Hindu
0,4%.
Wilayah laut Banten merupakan
salah satu jalur laut potensial selain karena batas daerahnya. Batas daerah
Banten sebelah utara adalah Laut Jawa, yang dikenal dengan potensi perikanan yang
cukup bagus bagi Jawa. Kemudian sebelah Barat berbatasan dengan Selat Sunda,
yang merupakan merupakan salah satu jalur lalu lintas laut yang strategis
karena dapat dilalui kapal besar yang menghubungkan Australia dan Selandia Baru
dengan kawasan Asia Tenggara misalnya Thailand, Malaysia, dan Singapura. Disebelah
selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia, yang berpotensi untuk memperkaya
mata pencarian penduduknya, dengan berlayar mencari ikan besar. Dan yang
terakhir di sebelah timur, yang berbatasan dengan DKI Jakarta dan Jawa Barat.
Di samping itu Banten merupakan
jalur penghubung antara Jawa dan Sumatera. Bila dikaitkan posisi geografis dan
pemerintahan maka wilayah Banten terutama daerah Tangerang raya (Kota
Tangerang, Kabupaten Tangerang, dan Kota Tangerang selatan) merupakan wilayah
penyangga bagi Jakarta. Secara ekonomi wilayah Banten memiliki banyak industri.
Wilayah Provinsi Banten juga memiliki beberapa pelabuhan laut yang dikembangkan
sebagai antisipasi untuk menampung kelebihan kapasitas dari pelabuhan laut di
Jakarta dan ditujukan untuk menjadi pelabuhan alternatif selain Singapura.
Iklim Banten sendiri adalah Iklim
Tropis. Daerah Banten terbagi menjadi 8
daerah kabupaten/kota. Diantaranya adalah Kota Tangerang Selatan, Ciputat, Kota
Cilegon, Kota Serang, Kota Tangerang, Kabupaten Pandeglang Pandeglang, Kabupaten Lebak,
Kabupaten Serang, dan Kabupaten Tangerang.
Di Provinsi Banten terdapat suku
asli, yaitu Suku Baduy. Suku Baduy Dalam merupakan suku asli Sunda Banten yang
masih menjaga tradisi anti modernisasi, baik cara berpakaian maupun pola hidup
lainnya. Perkampungan masyarakat Baduy umumnya terletak di daerah aliran Sungai
Ciujung di Pegunungan Kendeng. Daerah ini dikenal sebagai wilayah tanah titipan
dari nenek moyang, yang harus dipelihara dan dijaga baik-baik, tidak boleh
dirusak. Masyarakat Baduy memiliki tanah adat kurang lebih sekitar 5.108 hektar
yang terletak di Pegunungan Keundeng. Mereka memiliki prinsip hidup cinta
damai, tidak mau berkonflik dan taat pada tradisi lama serta hukum adat.
Kadang kala suku Baduy juga
menyebut dirinya sebagai orang Kanekes, karena berada di Desa Kanekes. Mereka
berada di wilayah Kecamatan Leuwidamar. Perkampungan mereka berada di sekitar
aliran sungai Ciujung dan Cikanekes di Pegunungan Keundeng. Atau sekitar 172 km
sebelah barat ibukota Jakarta dan 65 km sebelah selatan ibu kota Serang.
Masyarakat suku Baduy sendiri
terbagi dalam tiga kelompok. Kelompok terbesar disebut dengan Baduy Luar atau
Urang Panamping yang tinggal disebelah utara Kanekes. Mereka berjumlah sekitar
7 ribuan yang menempati 28 kampung dan 8 anak kampung. Mereka tinggal di desa
Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, yang mengelilingi wilayah baduy
dalam. Masyarakat Baduy Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala
berwarna hitam. Suku Baduy Luar biasanya
sudah banyak berbaur dengan masyarakat Sunda lainnya. selain itu mereka juga
sudah mengenal kebudayaan luar, seperti bersekolah.
Sementara di bagian selatannya
dihuni masyarakat Baduy Dalam atau Urang Dangka. Diperkirakan mereka berjumlah
800an orang yang tersebar di Kampung Cikeusik, Cibeo dan Cikartawana. Kelompok
tangtu (baduy dalam). Suku Baduy Dalam tinggal di pedalaman hutan dan masih
terisolir dan belum masuk kebudayaan luar. Memiliki kepala adat yang membuat
peraturan-peraturan yang harus dipatuhi biasa disebut Pu’un. Orang Baduy dalam
tinggal di 3 kampung,yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik.
Kelompok Baduy Dangka, mereka
tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang
tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kedua
kelompok ini memang memiliki ciri yang beda. Bila Baduy Dalam menyebut Baduy
Luar dengan sebutan Urang Kaluaran, sebaliknya Badui Luar menyebut Badui Dalam
dengan panggilan Urang Girang atau Urang Kejeroan. Ciri lainnya, pakaian yang
biasa dikenakan Baduy Dalam lebih didominasi berwarna putih-putih. Sedangkan,
Baduy Luar lebih banyak mengenakan pakaian hitam dengan ikat kepala bercorak
batik warna biru.
Masyarakat Baduy sangat taat pada
pimpinan yang tertinggi yang disebut Puun. Puun ini bertugas sebagai pengendali
hukum adat dan tatanan kehidupan masyarakat yang menganut ajaran Sunda Wiwitan
peninggalan nenek moyangnya. Setiap kampung di Baduy Dalam dipimpin oleh
seorang Puun, yang tidak boleh meninggalkan kampungnya. Pucuk pimpinan adat
dipimpin oleh Puun Tri Tunggal, yaitu Puun Sadi di Kampung Cikeusik, Puun
Janteu di Kampung Cibeo dan Puun Kiteu di Cikartawana. Sedangkan wakilnya
pimpinan adat ini disebut Jaro Tangtu yang berfungsi sebagai juru bicara dengan
pemerintahan desa, pemerintah daerah atau pemerintah pusat. Di Baduy Luar
sendiri mengenal sistem pemerintahan kepala desa yang disebut Jaro Pamerentah
yang dibantu Jaro Tanggungan, Tanggungan dan Baris Kokolot.
Mata pencarian masyarakat Baduy
yang paling utama adalah bercocok tanam padi huma dan berkebun serta membuat
kerajinan koja atau tas dari kulit kayu, mengolah gula aren, tenun dan sebagian
kecil telah mengenal berdagang. Kepercayaan yang dianut masyarakat Kanekes
adalah Sunda Wiwitan.didalam baduy dalam, Ada semacam ketentuan tidak tertulis
bahwa ras keturunan Mongoloid, Negroid dan Kaukasoid tidak boleh masuk ke
wilayah Baduy Dalam. Jika semua ketentuan adat ini di langgar maka akan kena
getahnya yang disebut kuwalat atau pamali adalah suku Baduy sendiri.
Adapun sebutan siku Baduy menurut
cerita adalah asalnya dari kata Badui, yakni sebutan dari golongan/ kaum Islam
yang maksudnya karena suku itu tidak mau mengikuti dan taat kepada ajaran agama
Islam, sedangkan disaudi Arabia golongan yang seperti itu disebut Badui
maksudnya golongan yang membangkang tidak mau tunduk dan sulit di atur sehingga
dari sebutan Badui inilah menjadi sebutan Suku Baduy.
Konon pada sekitar abad ke XI dan
XII Kerajaan Pajajaran menguasai seluruh tanah Pasundan yakni dari Banten,
Bogor, priangan samapai ke wilayah Cirebon, pada waktu itu yang menjadi Rajanya
adalah PRABU BRAMAIYA MAISATANDRAMAN dengan gelar PRABU SILIWANGI.
Kemudian pada sekitar abad ke XV
dengan masuknya ajaran Agama Islam yang dikembangkan oleh saudagar-saudagar
Gujarat dari Saudi Arabia dan Wali Songo dalam hal ini adalah SUNAN GUNUNG JATI
dari Cirebon, dari mulai Pantai Utara sampai ke selatan daerah Banten, sehingga
kekuasaan Raja semakin terjepit dan rapuh dikarenakan rakyatnya banyak yang
memasuki agama Islam. Akhirnya raja beserta senopati dan para ponggawa yang
masih setia meninggalkan keraan masuk hutan belantara kearah selatan dan
mengikuti Hulu sungai, mereka meninggalkan tempat asalnya dengan tekad seperti
yang diucapkan pada pantun upacara Suku Baduy “ Jauh teu puguh nu dijugjug,
leumpang teu puguhnu diteang , malipir dina gawir, nyalindung dina gunung,
mending keneh lara jeung wiring tibatan kudu ngayonan perang jeung paduduluran
nu saturunan atawa jeung baraya nu masih keneh sa wangatua”
Artinya : jauh tidak menentu yang
tuju ( Jugjug ),berjalan tanpa ada tujuan, berjalan ditepi tebing, berlindung
dibalik gunung, lebih baik malu dan hina dari pada harus berperang dengan sanak
saudara ataupun keluarga yang masih satu turunan “
Suku baduy masih setia dengan
adat istiadatnya yang menjalani kehidupan seperti leluhurnya. Tak heran, jika
orang Baduy Dalam hingga kini tetap pantang menggunakan sabun, menumpang mobil
atau mengendarai sepeda motor. Bahkan tak pernah bersepatu. Jika bepergian ke
Jakarta misalnya, mereka tempuh dengan berjalan kaki selama tiga hari tiga
malam. Daftar pantangan tabu bagi mereka masih berderet: Tak bersekolah,
menggunakan kaca, menggunakan paku besi, pantang mengkonsumsi alkohol dan
berternak binatang yberkaki empat, dan masih banyak lagi.
Prinsip kearifan yang dipatuhi
secara turun temurun oleh masyarakat Baduy ini membuat mereka tampil sebagai
sebuah masyarakat yang mandiri, baik secara sosial maupun secara ekonomi.
Karena itu, ketika badai krisis keuangan global melanda dunia, dan merontokkan
pertahanan ekonomi kita di awal tahun milennium ini, suku Baduy terbebas dari
kesulitan itu. Hal itu berkat kemandirian mereka yang diterapkan dalam prinsip
hidup sehari-hari.
Orang Baduy tak saja mandiri
dalam memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Mereka tak membeli beras,
tapi menanam sendiri. Mereka tak membeli baju, tapi menenun kain sendiri.. Kayu
sebagai bahan pembuat rumah pun mereka tebang di hutan mereka, yang keutuhan
dan kelestariannya tetap terjaga. “Dari 5.136,8 hektar kawasan hutan di Baduy,
sekitar 3.000 hektar hutan dipertahankan untuk menjaga 120 titik mata air”,
kata Jaro Dainah, kepala pemerintahan (jaro pamarentah) suku Baduy.
Kemandirian mereka dari hasrat
mengonsumsi sebagaimana layaknya orang kota, antara lain tampak pada beberapa
hal lainnya. Untuk penerangan, mereka tak menggunakan listrik. Dalam bercocok
tanam, mereka tak menggunakan pupuk buatan pabrik. Mereka juga membangun dan
memenuhi sendiri kebutuhan untuk pembangunan insfrasuktur seperti jalan desa,
lumbung padi, dan sebagainya.
Orang tak bisa menuding begitu
saja, bahwa suku Baduy Dalam terbelakang. Ternyata, mereka menguasai teknik
pertanian dan bercocok tanam dengan baik, sembari tetap menjaga kelestarian
lingkungan. “Mereka memang tak bersekolah. Belajar di ladang dan menimba
kearifan hidup di alam terbuka adalah sekolah mereka”, tutur Boedihartono,
antropolog dari Universitas Indonesia, yang pernah meneliti suku Baduy selama
beberapa tahun. “Yang amat menggembirakan, tingkah laku yang meneladani
moralitas utama, menjadi acuan utama bagi kepribadian dan perilaku orang Baduy
dalam kehidupan mereka sehari-hari. Perkataan dan tindakan mereka pun polos,
jujur tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan
tawar-menawar. Karena itu, banyak merasa senang jika berurusan dengan orang
Baduy karena mereka pantang merugikan orang lain”, ujarnya lagi.
Untuk menjaga kemurnian adat dari
pencemaran budaya luar yang dibawa para wisatawan dalam mengunjungi kawasan pemukiman
kaum Baduy, sesekali jaro (kepala desa) Baduy Dalam melakukan sidak ke desa
Baduy Luar. Itu untuk meneliti apakah ada benda-benda yang bisa melunturkan
kepercayaan mereka. Mereka kadang menyita radio yang dianggap melunturkan
kepercayaan adat mereka. Selama ini, tanpa bunyi sepeda motor, radio, televisi
dan mesin apa saja apa saja yang menimbulkan asap dan bunyi-bunyian, maka
desa-desa Baduy adalah titik tenang. Bunyi gemeletak alat penenun menjadi irama
lembut yang menemani keheningan alam di sana.
Akan tetapi, amatlah sukar
menjaga keheningan tetap bertahan dalam dunia modern yang serba hiruk pikuk
ini. Misalnya kini, mulai tampak
anak-anak Baduy yang “meninggalkan” pakaian tradisional mereka, berupa kain tenunan
tangan dengan warna hitam dan putih, dengan memakai kaos ala seragam
kesebelasan sepakbola Italia yang “berteriak” dengan warna-warni meriah. Mereka
yang selama ini menabukan jual beli dan penggunaan uang, dengan menetapkan pola
barter, akhirnya mulai terlibat proses dagang.
Dalam melaksanakan upacara
tertentu, masyarakat Baduy menggunakan kesenian untuk memeriahkannya. Adapun
keseniannya yaitu:
1. Seni Musik (Lagu daerah yaitu
Cikarileu dan Kidung ( pantun) yang digunakan dalam acara pernikahan).
2. Alat musik (Angklung Buhun
dalam acara menanan padi dan alat musik kecapi)
3. Seni Ukir Batik.
Suku Baduy yang merupakan suku tradisional di Provinsi Banten hampir
mayoritasnya mengakui kepercayaan sunda wiwitan.
Yang mana kepercayaan ini
meyakini akan adanya Allah sebagai “Guriang Mangtua” atau disebut pencipta alam
semesta dan melaksanakan kehidupan sesuai ajaran Nabi Adam sebagai leluhur yang
mewarisi kepercayaan turunan ini.
Kepercayaan sunda wiwitan
berorientasi pada bagaimana menjalani kehidupan yang mengandung ibadah dalam
berperilaku, pola kehidupan sehari-hari,langkah dan ucapan, dengan melalui
hidup yang mengagungkan kesederhanaan (tidak bermewah-mewah) seperti tidak mengunakanlistrik,tembok,mobildll.
Ada beberapa kegiatan yang
dilakukan oleh masyarakat Baduy menurut kepercayaan sunda wiwitan:
1. Upacara Kawalu yaitu upacara yang dilakukan dalam rangka menyambut
bulan kawalu yang dianggap suci dimana pada bulan kawalu masyarakat baduy
melaksanakan ibadah puasa selama 3 bulan yaitu bulan Kasa,Karo, dan Katiga.
2. Upacara ngalaksa yaitu upacara
besar yang dilakukan sebagain uacapan syukur atas terlewatinya bulan-bulan
kawalu, setelah melaksanakan puasa selama 3 bulan. Ngalaksa atau yang bsering
disebut lebaran.
3. Seba yaitu berkunjung ke
pemerintahan daerah atau pusat yang bertujuan merapatkan tali silaturahmi
antara masyarakat baduy dengan pemerintah, dan merupakan bentuk penghargaan
dari masyarakat baduy.
4. Upacara menanam padi dilakukan
dengan diiringi angklung buhun sebagai penghormatan kepada dewi sri lambing
kemakmuran.
Upacara Kelahiran yang dilakukan suku
Baduy melalui urutan kegiatan yaitu:
1. Kendit yaitu upacara 7 bulanan ibu yang
sedang hamil.
2. Saat bayi itu lahir akan dibawa ke dukun
atau paraji untiuk dijampi-jampi.
3. Setelah 7 hari setelah kelahiran maka akan
diadakan acara perehan atau selametan.
4. Upacara Angiran yang dilakukan pada hari ke
40 setelah kelahiran.
5. Akikah yaiotu dilakukannya cukuran,
khitanan dan pemberian nama oleh dukun(kokolot) yuang didapat dari bermimpi
dengan mengorbankan ayam.
Perkawinan, dilakukan berdasarkan
perjodohan dan dilakukan oleh dukun atau kokolot menurut lembaga adat
(Tangkesan) sedangkan Naib sebagai penghulunya. Adapun mengenai mahar atau
seserahan yakni sirih, uang semampunya, dan kain poleng.
Dalam melaksanakan kegiatan
sehari-hari tentunya masyarakat baduy disesuaikan dengan penanggalan:
Bulan Kasa
Bulan
Bulan Sapar Karo
Bulan Katilu
Bulan Kalima
Bulan Kaanem
Bulan Kapitu
Bulan Kadalapan
Bulan Kasalapan
Bulan Kasapuluh
Bulan Hapid Lemah
Bulan Hapid Kayu
Seperti yang telah diketahui akan kebudayaan suku ini yang kental akan
mitos, apabila ada masyarakat baduy yang melanggar asalah satu pantangan
maka
akan dikenai hukuman berupa diasingkan ke hulu atau dipenjara oleh pihak
polisi
yang berwajib
Inti kepercayaan tersebut
ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam
kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari
'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan
apapun", atau perubahan sesedikit mungkin:
Lojor heunteu beunang dipotong,
pèndèk heunteu beunang disambung.
(Panjang tidak bisa/tidak boleh
dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)
0 comments:
Post a Comment