MESJID AGUNG KERATON (MASIGI OGENA)
Masjid
Agung Keraton terletak di sebelah utara dalam benteng keraton, mesjid
yang didirikan pada tahun 1712 pada masa pemerintahan Sultan Sakiyuddin
Durul Alam/La Ngkariyiri. Mesjid ini berukuran 20,6 x 19,40 meter
terdiri dari 2 lantai ini selain berfungsi sebagai tempat ibadah juga
sebagai tempat pengukuhan setiap sultan yang baru dilantik. Di dalam
masjid terdapat suatu bentuk pemerintahan keagamaan yang disebut Sara
Kidhina yang bertugas mengatur dan menjalankan kegiatan keagamaan. Sara
Kidhina ini masih tetap dipertahankan sampai sekarang, demikian pula
adat serta tata cara yang berlaku dalam masjid. Setiap Hari Jum’at para
perangkat mesjid menggunakan pakain adat. Pemugaran mesjid ini sudah
dilakukan sebanyak 4 kali, tahun 1929 atap daun nipah diubah menjadi
seng dan lantainya disemen. Pemugaran kedua tahun 1978, ketiga 1986 dan
terakhir 2002.
BENTENG KERATON BUTON
Benteng yang merupakan bekas ibukota Kesultanan Buton ini memiliki bentuk arsitek yang cukup unik, terbuat dari batu kapur/gunung dan direkatka dengan telur. Saat pembangunnya, semua warga Buton bekerja bakti untuk benteng tersebut. Seorang perempuan yang kaya dan dermawan bernama Wa Ode Bau, menyumbangkan perhiasan satu tudung saji diserahkan kepada kerajaan Buton untuk terlaksananya pekerjaan benteng itu akhirnya diselesaikan pada tahun 1647. Benteng yang berbentuk lingkaran ini dengan panjang keliling 2.740 meter. Benteng terpanjang di Indonesia dan di dunia ini memiliki 12 pintu gerbang yang disebut Lawa dan 16 emplasemen meriam yang mereka sebut Baluara. Letaknya pada puncak bukit yang cukup tinggi dengan lereng yang cukup terjal memungkinkan tempat ini sebagai tempat pertahanan terbaik di zamannya. Dari tepi benteng yang sampai saat ini masih berdiri kokoh anda dapat menikmati pemandangan kota Bau-Bau dan hilir mudik kapal di selat Buton dengan jelas dari ketinggian,suatu pemandangan yang cukup menakjukkan. Selain itu, di dalam kawasan benteng dapat dijumpai berbagai peninggalan sejarah Kesultanan Buton. Benteng ini terdiri dari tiga komponen yaitu:
BADILI (MERIAM)
Obyek wisata ini merupakan meriam yang terbuat dari besi tua yang berukuran 2 sampai 3 depa. Meriam ini bekas persenjataan Kesultanan Buton peninggalan Portugis dan Belanda yang dapat ditemui hampir pada seluruh benteng di Kota Bau-Bau.
LAWA
Dalam bahasa Wolio berarti pintu gerbang. Lawa berfungsi sebagai penghubung keraton dengan kampung-kampung yang berada disekeliling benteng keraton. Terdapat 12 lawa pada benteng keraton. Angka 12 menurut keyakinan masyarakat mewakili jumlah lubang pada tubuh manusia, sehingga benteng keraton diibaratkan sebagai tubuh manusia. Ke-12 lawa memiliki masing-masing nama sesuai dengan gelar orang yang mengawasinya, penyebutan lawa dirangkai dengan namanya. Kata lawa diimbuhi akhiran ‘na’ menjadi ‘lawana’. Akhiran ‘na’ dalam bahasa Buton berfungsi sebagai pengganti kata milik “nya”. Setiap lawa memiliki bentuk yang berbeda-beda tapi secara umum dapat dibedakan baik bentuk, lebar maupun konstruksinya ada yang terbuat dari batu dan juga dipadukan dengan kayu, semacam gazebo diatasnya yang berfungsi sebagai menara pengamat. 12 Nama lawa diantaranya : lawana rakia, lawana lanto, lawana labunta, lawana kampebuni, lawana waborobo, lawana dete, lawana kalau, lawana wajo/bariya, lawana burukene/tanailandu, lawana melai/baau, lawana lantongau dan lawana gundu-gundu.
BALUARA
Kata baluara berasal dari bahasa portugis yaitu ‘baluer’ yang berarti bastion. Baluara dibangun sebelum benteng keraton didirikan pada tahun 1613 pada masa pemerintahan La Elangi/Dayanu Ikhsanuddin (sultan buton ke-4) bersamaan dengan pembangunan ‘godo’ (gudang). Dari 16 baluara dua diantaranya memiliki godo yang terletak diatas baluara tersebut. Masing-masing berfungsi sebagai tempat penyimpanan peluru dan mesiu. Setiap baluara memiliki bentuk yang berbeda-beda, disesuaikan dengan kondisi lahan dan tempatnya. Nama-nama baluara dinamai sesuai dengan nama kampung tempat baluara tersebut berada. Nama kampung tersebut ada didalam benteng keraton pada masa Kesultanan Buton. 16 Nama Baluara : baluarana gama, baluarana litao, baluarana barangkatopa, baluarana wandailolo, baluarana baluwu, baluarana dete, baluarana kalau, baluarana godona oba, baluarana wajo/bariya, baluarana tanailandu, baluarana melai/baau, baluarana godona batu, baluarana lantongau, baluarana gundu-gundu, baluarana siompu dan baluarana rakia.
KAMPUA MATA UANG KESULTANAN BUTON
Mata uang kampua merupakan jenis alat tukar (pembayaran) yang terbuat dari kain tenun Buton. Mata uang kampua ini sudah berlaku sejak masa pemerintahan Raja Buton yang ke II Bulawambona. Untuk dapat melihat mata uang kampua bisa ditemui pada Pusat Kebudayaan Wolio (Istana Kesultanan Buton ke XXXVIII), perpustakaan Faoka Mulku Zahari yang terapat di Kelurahan Baadia Kecamatan Betoambari sekitar 4 km dari pusat Kota Bau-Bau
0 comments:
Post a Comment