1.
Tradisi Nadran Pra Islam
Berdasarkan
buku penelitian Dr. Heriyani Agustina, Kepel Press-2009 diceritakan tentang buku
“Negara Kertabumi” karya Pangeran Wangsakerta dengan sumber cerita dari Kartani
(Penasehat Budaya Cirebon) disebutkan bahwa asal-usul pelaksanaan budaya Nadran
adalah berawal pada tahun 410 M, dimana Raja Purnawarman, raja ketiga Kerajaan
Tarumanegara yang terletak di dekat sungai Citarum yang mengalir dari Bandung
ke Indramayu, memerintahkan Raja Indraprahasta Prabu Santanu ( yang sekarang
Kec. Talun, Kab. Cirebon) untuk memperdalam atau memperbaiki tanggul, yang
bertujuan untuk menduplikat Sungai Gangga di India. Agar tanggul sungai lebih
kuat, dibuatlah prasastinya tangan sang Prabu Purnawarman yang sekarang belum
ditemukan, serta sang Prabu memberikan hadiah-hadiah untuk Brahmana 500 ekor
sapi, pakaian-pakaian dan satu ekor gajah untuk Raja Indraprahasta (Prabu
Santanu). Duplikat Sungai Gangga tersebut untuk keperluan mandi suci. Sungai
yang dimaksud adalah sungai Gangganadi dan muaranya di sebut Subanadi (muara
adalah perbatasan antara sungai dan laut). Sungai tersebut sekarang adalah
sungai Kriyan, terletak di belakang Keraton Kasepuhan Kota Cirebon. Mandi suci
di sungai Gangganadi dilakukan setahun sekali, sebagai acara ritual untuk
menghilangkan kesialan dan sebagai sarana mempersatukan rakyat dan pemujaan
kepada sang pencipta.( Sumber Kartani dan Kaenudin)
Sebetulnya
tradisi Nadran bukanlah tradisi asli daerah Cirebon apalagi masyarakat Desa
Mertasinga, karena tradisi ini banyak juga ditemukan dibeberapa daerah lain
dengan nama yang berbeda, seperti di Jawa Tengah dikenal dengan tradisi
Labuhan, karena ada beberapa kepercayaan bahwa apabila mereka tidak melakukan
sedekah ini, mereka berkeyakinan bahwa Dewa Baruna akan murka dan segera
mengirim bencana melalui dewa petir, Dewa Halilintar dan Dewa Angin yang
mengakibatkan nelayan tidak dapat melaut. Akhirnya tidak dapat mencari ikan
sebagai sumber kehidupan utama.
Penggunaan
daging kerbau sebagai persembahan dan bukanya daging sapi, dikarenakan daging
kerbau lebih banyak, juga ada kemungkinan sapi merupakan hewan yang dianggap
suci dalam agama Hindu, sehingga harus dipelihara dan tidak boleh dibunuh.
Selain itu juga sapi dianggap jelmaan dari dewa.
Selain
melarung ritual lainnya adalah pembacaan mantra-mantra sambil membakar dupa
atau kemenyan yang bertujuan memohon keselamatan kepada para Dewa Laut. Mantra
juga berfungsi untuk memanggil arwah para leluhur yang telah ikut menjaga
keselamatan mereka dalam mencari rejeki di laut. Kesan magis pada asap dupa dan
kemenyan bertujuan untuk ketenangan sekaligus permohonan kehadirat Yang Maha
Kuasa, agar permohonan mereka lebih cepat sampai ke hadapan Tuhan serta cepat
dikabulkan segala permohonan atau permintaannya.
Dalam
rangkaian tradisi Nadran juga di tampilkan hiburan Wayang yang merupakan
kesenian dari Hinduisme dan animisme, yang dapat diperankan seperti tokoh
Mahabarata dan Ramayana. Pertunjukan lain dari wayang yang sangat kental dengan
Hinduisme dan animismenya adalah wayang dengan lakon Wudug Basuh, yang
menceritkan tentang pencarian Tirta Amerta (air kehidupan) oleh para Dewa,
dengan cara mengaduk air laut menggunakan ekor naga Basuki. Tirta Amerta
diperlukan untuk mengurapi para Dewa agar mereka terhindar dari kematian, tapi
mereka tidak dapat terhindar dari sakit. Oleh karena itu, masing-masing-masing
dewa diberi tempat dikayangan Suralaya. Namun demikian ada kelanjutannya, air
laut yang diaduk oleh para dewa tersebut mengakibatkan mahluk laut terganggu,
lalu bermuculan ke daratan sambil membawah wabah penyakit wudug, budug (bisul),
penyakit-penyakit lainnya. untuk mengatasi wabah ini para Dewa meminta bantuan
pada Sanghiyang Baruna untuk menentramkan mahluk laut supaya tidak mengganggu
penghuni daratan. Sangyang Baruna melantunkan jampa mantra di baskom air
kembang, lalu air kembang yang telah diberi mantra disiramkan pada layar perahu
nelayan (Prawiraredja,2005:164).
Meskipun
Nadran bernuansa magis dan animisme, masyarakat primitif pada waktu itu telaah
memiliki kesadaran mistik terhadap keberadaan penguasa alam semesta, disertai
rasa terima kasih dan bermohon kepada Yang Maha Kuasa suapaya diberi kebaikan
dan keselamatan.
2. Tradisi Nadran setelah kedatangan
Islam
Tradisi-tradisi
Nadran setelah kedatangan Islam tidak lagi dimaknai sebagai sebuah persembahan
kepada Sanghyang Jagat Batara (Penguasa Alam Semesta), akan tetapi lebih
dimaknai sebagai wujud syukur kepada Allah SWT atas karunia yang diberikan-Nya
kepada para nelayan, baik itu karunia kesehatan, kekuatan maupun hasil
tangkapan ikan yang berlimpah. Mantra-mantra yang dibacakan dalam prosesi
Nadran diganti dengan pembacaan do’a-do’a yang dipimpin oleh seorang ulama.
Lauk pauk hasil bumi yang diikutsertakan dalam upacara ini dibagi-bagikan
kepada penduduk desa dangan simbolisasi pembagian berkah. (Dasuki,1979:1011).
Pelarungan
kepala kerbau ke laut tetap dilakukan, tapi tidak lagi dimaknai sebagai
persembahan kepada Dewa Baruna pelarungan ini lebih bersimbol pada membuang
kesialan, sekaligus untuk mengingat bahwa laut merupakan sumber kehidupan bagi
para nelayan, sehingga perlu dijaga dan dilestarikan.
Nuansa
keislaman juga nampak dalam pementasan seni wayang dan tari. Wayang yang
dipertunjukan adalah wayang Golek Cepak dan wayang kulit Dakwah (sebelumnya
wayang dibuat dari gulungan kain yang bergambar lalu diubah menjadi wayang
kulit yang berasal dari kulit kerbau atau lembu ) yang merupakan asli Cirebon
yang alur ceritanya diambil dari Babad Cirebon, Babad Walisanga dan Babad
Ambiya, yang menggambarkan sejarah Islamisasi di tanah Jawa yang dilakukan para
Wali, beserta cerita perjuangan Rasullah SAW dan sahabat-sahabatnya dalam
menegakkan syariat Islam.
Pagelaran
wayang semalam suntuk dalam tradisi Nadran bukan hanya untuk bergadang, akan
tetapi masyarakat mendapatkan penyuluhan dan pembekalan rohani. Pagelaran ini
diistilahkan dengan tabarukan, yaitu mencari keberkahan atas syukur yang
mendalam, dengan membuang kebiasaan-kebiasaan buruk dan menggantinya dengan
nilai-nilai positif (Dahuri,2004:218)
3.
Tradisi Nadran Dewasa ini
Proses
pelaksanaan tradisi Nadran di kali Bondet berdasarkan cerita masyarakat
setempat dari dulu hingga sekarang adalah sama dan hampir tidak ada perubahan
berarti kalaupun ada hanya proses kelengkapan hiburan yang kadang disesuaikan
dengan tingkat kemampuan para nelayan atau tengkulak, dan berdasarkan fakta
dilapangan disetiap tahunnya hampir hampir seluruh warga masyarakat khusunya
yang berdekatan dengan kali Bondet turut memeriahkan tradisi ini dengan
mengelar berbagai hiburan tambahan selain hiburan utama, bahkan para pedagang
pun tak ketinggalan dari pintu masuk jalan raya sampai ke pusat kegiatan
(biasanya di TPI KUD Mina Waluya Desa Bondet) disesaki berbagai macam para
pedagang dan hiburan tambahan lainnya seperti permainan modern.
Menurut
Dr. Heriyani Agustina, bahwa dalam kontek kekinian, Nadran terkadang lebih
terlihat sebagai upaya pelestarian tradisi, dan sebagai sarana hiburan bagi
masyarakat. Ia sering kehilangan ruhnya, ini terlihat dari banyaknya masyarakat
yang telah mulai meninggalkan pesan-pesan moral para pendahulunya, terutama
tokoh-tokoh Islam dan para pendiri Cirebon yang tersirat melalui simbol-simbol
tradisi. Bahkan ketika menampilkan lakon para sufi atau para wali dalam
pagelaran wayang sebagai media pengajaran masyarakat supaya hidup sederhana dan
selalu memperhatikan kaum yang lemah.. sebaliknya justru Nadran malah dijadikan
sarana untuk berfoya-foya dengan tidak menghiraukan pendekatan kaum yang lemah.
Bahkan sekarang ada kecenderungan bahwa pesta tradisi Nadran lebih banyak dalam
bentuk campur sari dan dangdutan, yang terkadang malah ada yang mengarah kepada
kemaksiatan.
Kalau
dicermati secara rinci dari sisi ekonomi, bahwa tradisi Nadran yang
dilaksanakan oleh masyarakat Nalayan kali Bondet, sebenarnya sangat
menguntungkan bagi masyarakat maupun daerah, hal ini dikarenakan kegiatan
nadran ini sangat menarik para wisatawan baik domestik maupun mancanegara.
Bahkan lewat tradisi ini kadang masyarakat Desa Mertasinga juga diuntungkan
dari para wisatawan yang kadang juga turut bertransaksi ekonomi lainnya
disamping menikmati hiburan-hiburan yang sedang ditampilkan
Desa
Mertasinga merupakan bagian dari Wilayah Kec. Gunung Jati Kabupaten Cirebon,
banyak sejarah yang telah ditorehkan di desa ini mengingat desa Mertasinga
mempunyai jalur tranfortasi air berupa kali Bondet yang dari dulu hingga
sekarang cukup ramai dan sangat berperan disegala sendi kehidupan masyarakat
sekitarnya. Masyarakat Desa Mertasinga, merupakan masyarakat yang berbudaya,
karena banyak tradisi lokal yang sampai sekarang masih dipertahankan, seperti
melakukan doa tahlil bersama di tempat Lawang Gede serta pelaksanaan Tradisi
Nadran yang perayaannya memakan waktu berhari-hari, dimana tradisi ini
merupakan upacara tradisi kelautan yang dihiasi dan dilatarbelakangi semangat
penyerapan nilai-nilai Islami.
Tradisi
Nadran dimaknai sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
telah menjadikan laut sebagai tempat mencari nafkah bagi mereka, dengan
keleluasaan yang tanpa batas dan tidak henti-hentinya memberikan rejeki.
Tradisi Nadran merupakan tradisi yang sakral dan bahkan komersial, karena dalam
pelaksanaannya sudah pasti memakan biaya besar hanya demi mempertahankan
tradisi. namun demikian nadran apabila tidak dipengaruhi berbagai kepentingan
politik dan ekonomi atau campur tangan pihak lain, ia adalah upacara tanpa
pamrih duniawi.
Apabila
dicermati lebih lanjut, tradisi Nadran memiliki nilai-nilai yang sangat ideal,
namun nilai-nilai tersebut belum sepenuhnya diimplikasikan dalam kehidupan
dilapangan. Nadran memiliki dimensi yang sangat luas, namun masih sebatas
dimensi kultural atau tradisi saja dan belum menyentuh dimensi kearifan budaya
lokal dan tradisinya memiliki kelebihan bila dibandingkan dengan
ketentuan-ketentuan hukum positif nasional. Nadran juga berguna dalam
memperkaya konsepsi dan tujuan pembangunan nasional berbasis kelautan.
Tradisi Nadran secara umum saja, mengingat makalah ini
hanya sebatas perwujudan rasa penasaran terhadap pengenalan dan penelusuran
tentang Tradisi Nadran di Desa Mertasinga yang setiap tahunya dilaksanakan di
Sungai Bondet setiap tanggal 1 Syuro atau bertepatan dengan Hari Jadi Kab.
Cirebon, mungkin kedepan makalah ini akan menjadi bahan dasar kami untuk
melakukan penelitian atau kajian-kajian lainnya yang tentunya dengan materi
kajian yang berbeda dengan apa yang telah dilakukan oleh para pengkaji atau
peneliti lainnya.
Satu
hal yang harus kita ketahui bersama adalah bahwa persoalan yang sekarang
dihadapi oleh para nelayan begitu konflek maka diperlukan peran semua unsur dan
elemen bangsa ini untuk mencari solusi bagi kesejahteraan nelayan dalam rangka
meningkatkan taraf hidup masyarakat nelayan. hal yang lebih penting juga bahwa
tradisi Nadran dapat dijadikan sebagai nilai etika dan agama (asas-asas akhlak)
yang manjadi faktor penentu agar tradisi Nadran kembali pada kesakralan,
sekaligus menjadi landasan spritual bagi terbentuknya kode etik dan konvensi
pesisir dan kelautan Cirebon.
0 comments:
Post a Comment