Sisingaan
adalah suatu kesenian khas masyarakat Sunda (Jawa Barat) yang menampilkan 2-4
boneka singa yang diusung oleh para pemainnya sambil menari. Di atas boneka
singa yang diusung itu biasanya duduk seorang anak yang akan dikhitan atau
seorang tokoh masyarakat. Ada beberapa versi tentang asal-usul kesenian yang
tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat Jawa Barat ini. Versi pertama
mengatakan bahwa sisingaan muncul sekitar tahun 70-an. Waktu itu di anjungan Jawa
Barat di TMII ditampilkan kesenian gotong singa atau sisingaan yang bentuknya
masih sederhana. Dan, dari penampilan di anjungan Jawa Barat itulah kemudian
kesenian sisingaan menjadi dikenal oleh masyarakat hingga saat ini.
Versi kedua
mengatakan bahwa kesenian sisingaan diciptakan sekitar tahun 1840 oleh para
seniman yang berasal dari daerah Ciherang, sekitar 5 km dari Kota Subang. Waktu
itu, Kabupaten Subang pernah menjadi “milik” orang Belanda dan Inggris dengan
mendirikan P & T Lands. Hal ini menyebabkan seolah-olah Subang menjadi
daerah pemerintahan ganda, karena secara politis dikuasai oleh Belanda, tetapi
secara ekonomi berada di bawah pengaruh para pengusaha P & T Lands.
Akibatnya, rakyat Subang menjadi sangat menderita. Dalam kondisi semacam ini, kesenian
sisingaan lahir sebagai suatu bentuk perlawanan rakyat terhadap kedua bangsa
penjajah tersebut. Dan, untuk menegaskan bahwa kesenian sisingaan adalah suatu
bentuk perlawanan, maka digunakan dua buah boneka singa yang merupakan lambang
dari negara Belanda dan Inggris. Oleh sebab itu, sampai hari ini dalam setiap
permainan sisingaan selalu ditampilkan minimal dua buah boneka singa.Dalam
perkembangan selanjutnya, kesenian sisingaan bukan hanya menyebar ke
daerah-daerah lain di Kabupaten Subang, melainkan juga ke kabupaten-kabupaten
lain di Jawa Barat, seperti Kabupaten Bandung, Purwakarta dan Sumedang. Selain
menyebar ke beberapa daerah, kesenian ini juga mengalami perkembangan, baik
dalam bentuk penyempurnaan boneka singa, penataan tari, kostum pemain, maupun
waditra dan lagu-lagu yang dimainkan.
Pemain
Para pemain
sisingaan umumnya adalah laki-laki dewasa yang tergabung dalam sebuah kelompok
yang terdiri atas: 8 orang penggotong boneka singa (1 boneka digotong oleh 4
orang), seorang pemimpin kelompok, beberapa orang pemain waditra, dan satu atau
dua orang jajangkungan (pemain yang menggunakan kayu sepanjang 3-4 meter untuk
berjalan). Para pemain ini adalah orang-orang yang mempunyai keterampilan
khusus, baik dalam menari maupun memainkan waditra. Keterampilan khusus itu
perlu dimiliki oleh setiap pemain karena dalam sebuah pertunjukan sisingaan
yang bersifat kolektif diperlukan suatu tim yang solid agar semua gerak tari
yang dimainkan sambil menggotong boneka singa dapat selaras dengan musik yang
dimainkan oleh para nayaga.
Tempat dan
Peralatan Permainan
Kesenian
sisingaan ini umumnya ditampilkan pada siang hari dengan berkeliling kampung
pada saat ada acara khitanan, menyambut tamu agung, pelantikan kepala desa,
perayaan hari kemerdekaan dan lain sebagainya. Durasi sebuah pementasan
sisingaan biasanya memakan waktu cukup lama, bergantung dari luas atau tidaknya
kampung yang akan dikelilingi.
Peralatan
yang digunakan dalam permainan sisingaan adalah:
·
dua atau
empat buah usungan boneka singa. Rangka dan kepala usungan boneka-boneka singa
tersebut terbuat dari kayu dan bambu yang dibungkus dengan kain serta diberi
tempat duduk di atas punggungnya. Sedangkan, untuk bulu-bulu yang ada di kepala
maupun ekor dibuat dari benang rafia. Sebagai catatan, dahulu usungan yang
berbentuk singa ini terbuat dari kayu dengan bulu dari kembang kaso dan
biasanya dibuat secara dadakan pada waktu akan mengadakan pertunjukan. Jadi,
dahulu sisingaan tidak bersifat permanen, tetapi hanya sekali digunakan
kemudian dibuang;
·
seperangkat
waditra yang terdiri dari: dua buah kendang besar (kendang indung dan kendang
anak), sebuah terompet, tiga buah ketuk (bonang), sebuah kentrung (kulanter),
sebuah gong kecil, dan sebuah kecrek.; dan (3) busana pemain yang terdiri dari:
celana kampret/pangsi, iket barangbang semplak, baju taqwa dan alas kaki
tarumpah atau salompak.
Pertunjukan
Sisingaan
Pertunjukan
sisingaan diawali dengan kata-kata sambutan yang dilakukan oleh pemimpin
kelompok. Setelah pemimpin kelompok memberikan kata sambutan, barulah anak yang
akan dikhitan atau tokoh masyarakat yang akan diarak dipersilahkan untuk
menaiki boneka singa. Selanjutnya, alat pengiring ditabuh dengan membawakan
lagu-lagu yang berirama dinamis sebagai tanda dimulainya pertunjukan. Kemudian,
sejumlah 8 orang pemain akan mulai menggotong dua buah boneka singa (satu
boneka digotong oleh 4 orang).
Setelah para
penggotong boneka singa siap, maka sang pemimpin akan mulai memberikan aba-aba
agar mereka mulai melakukan gerakan-gerakan tarian secara serempak dan
bersamaan. Para penggotong boneka itu segera melakukan gerakan-gerakan
akrobatis yang cukup mendebarkan. Gerakan-gerakan tarian yang biasa dimainkan
oleh para penggotong boneka singa tersebut adalah: igeul ngayun glempang,
pasang/kuda-kuda, mincid, padungdung, gugulingan, bangkaret, masang, sepakan
dua, langkah mundur, kael, ewag, jeblang, depok, solor, sesenggehan, genying,
putar taktak, nanggeuy singa, angkat jungjung, ngolecer, lambang, pasagi tilu,
melek cau, nincak rancatan, dan kakapalan.
Sedangkan,
lagu-lagu yang dimainkan oleh juru kawih untuk mengiringi tarian biasanya
diambil dari kesenian Ketuk Tilu, Doger, dan Kliningan, seperti: Keringan,
Kidung, Titipatipa, Gondang, Kasreng, Gurudugan, Mapay Roko, Kembang gadung,
Kangsring, Kembang Beureum, Buah Kawung, Gondang, Tenggong Petit, Sesenggehan,
Badudud, Tunggul Kawing, Samping Butut, Sireum Beureum, dan lagu Selingan
(Siyur, Tepang Sono, Awet Rajet, Serat Salira, Madu dan Racun, Pria Idaman,
Goyang Dombret, Warudoyong dan lain sebagainya).
Pertunjukan
sisingaan ini dilakukan sambil mengelilingi kampung atau desa, hingga akhirnya
kembali lagi ke tempat semula. Dan, dengan sampainya para penari di tempat
semula, maka pertunjukan pun berakhir.
Nilai Budaya
Seni sebagai
ekspresi jiwa manusia sudah barang tentu mengandung nilai estetika, termasuk
kesenian tradisional sisingaan yang ditumbuh-kembangkan oleh masyarakat
Ciherang, Kabupaten Subang. Namun demikian, jika dicermati secara mendalam
sisingaan tidak hanya mengandung nilai estetika semata, tetapi ada nilai-nilai
lain yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan
sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain adalah
kerja sama, kekompakan, ketertiban, dam ketekunan. Nilai kerja sama terlihat dari
adanya kebersamaan dalam melestarikan warisan budaya para pendahulunya. Nilai
kekompakan dan ketertiban tercermin dalam suatu pementasan yang dapat berjalan
secara lancar. Nilai kerja keras dan ketekunan tercermin dari penguasaan
gerakan-gerakan tarian.
TARI TOPENG
Secara historis, pertunjukkan tari topeng diawali di Cirebon tepatnya pada abad ke-19 yang dikenal dengan Topeng Bahakan. Menurut T. Tjetje Somantri (1951) daerah Jawa Barat antara lain Sumedang, Bandung, Garut dan Tasikmalaya pada tahun 1930 didatangi oleh rombongans topeng berupa wayang wong dengan dalangnya bernama Koncer dan Wentar. Berdasarkan data historis inilah teori awal munculnya tari topeng ke Jawa Barat (Priangan) ditetapkan sebagai awal perkembangan Tari Topeng Priangan.
Secara historis, pertunjukkan tari topeng diawali di Cirebon tepatnya pada abad ke-19 yang dikenal dengan Topeng Bahakan. Menurut T. Tjetje Somantri (1951) daerah Jawa Barat antara lain Sumedang, Bandung, Garut dan Tasikmalaya pada tahun 1930 didatangi oleh rombongans topeng berupa wayang wong dengan dalangnya bernama Koncer dan Wentar. Berdasarkan data historis inilah teori awal munculnya tari topeng ke Jawa Barat (Priangan) ditetapkan sebagai awal perkembangan Tari Topeng Priangan.
Bentuk pertunjukkan tari
topeng dibedakan atas dua bentuk pertunjukan yaitu topeng Cirebon dan Topeng
Priangan. Adapun bentuk pertunjukkan Tari Topeng Cirebon memiliki
bermacam-macam bentuk yaitu :
- Topeng Babarang / Baragan
- Topeng Hajatan / Dinaan
- Topeng Ngunjung
- Topeng Kuputarung
Sedangkans topeng
Priangan hanya tersaji dalam satu bentuk saja yang lebih bersifat
entertaintment (hiburan)
Susunan penyajian tari
topeng pun memiliki perbedaan. Tari Topeng Cirebon memiliki lima bagian
penyajian yaitu :
Panji, dilakukan pada bagian pertama, karakteristiknya halus atau lungguh, memakai kedok yang berwarna putih
Panji, dilakukan pada bagian pertama, karakteristiknya halus atau lungguh, memakai kedok yang berwarna putih
- Pamindo/Samba : menggambarkan seorang raja yang menginjak dewasa yang serba ingin tahu, gerakannya enerjik, lincah dan penuh dinamika
- Rumyang : menggambarkan seseorang yang beranjak dewasa dan serba ingin tahu terhadap lingkungan sekitarnya. Gerakannya lincah, lembut, tegas dan terputus-putus dengan kedok berwarna merah jambu (pink)
- Tumenggung/Patih : karakteristik Tumenggung adalah gagah. Tarian ini dilatarbelakangi oleh kisah Tumenggung Magang Diraja yang diutus untuk menaklukkan Jinggananom. Kedok yang harus digunakan oleh tokoh Tumenggung adalah Slasi, Drodos dan Sanggan. Sementara tokoh Jinggananom memakai kedok Tatag Prekicil, Peloran dan Mimis
- Kelana/Rowana: menggambarkan personalitas raja yang gagah dan angkara murka. Kedok yang digunakan berwarna merah tua atau kecoklatan. Dengan ciri khas berkumis dan berjambang tebal, serta memakai mahkota susun emas.
Didalam pertunjukkan
topeng Cirebon yang utuh, terdapat beberapa macam kedok bodor yang juga ikut
ditampilkan, antara lain kedok tembeb, pentul dan dayun.
Adapun susunan Tari
Topeng Priangan mencakup tiga watak yaitu :
- Tari Topeng Tumenggung, menggambarkan watak seorang pejabat tinggi yang karismatik, berpengaruh dan disegani masyarakat sekitarnya.
- Tari Topeng Kencana Wungu, menggambarkan karaktek yang lincah dan dinamis, dengan kedok berwarna telor asin.
- Tari topeng kelana : menggambarkan karakter yang enerjik dan kasar.
TARI WAYANG
Tari wayang mulai dikenal masyarakat pada masa kesultanan Cirebon pada abad ke-16 oleh Syekh Syarif Hidayatullah, yang kemudian disebarkan oleh seniman keliling yang datang ke daerah Sumedang, Garut, Bogor, Bandung dan Tasikmalaya.
Tari wayang mulai dikenal masyarakat pada masa kesultanan Cirebon pada abad ke-16 oleh Syekh Syarif Hidayatullah, yang kemudian disebarkan oleh seniman keliling yang datang ke daerah Sumedang, Garut, Bogor, Bandung dan Tasikmalaya.
Berdasarkan segi
penyajiannya tari wayang dikelompokkan menjadi 3 bagian antara lain :
- Tari Tunggal yaitu tarian yang dibawakan oleh satu orang penari dengan membawakan satu tokoh pewayangan. Contoh : Tari Arjuna, Gatotkaca, dll
- Tari berpasangan, yaitu tarian yang dibawakan oleh dua orang penari atau lebih yang keduanya saling melengkapi keutuhan tariannya, contoh : Tari Sugriwa, Subali dll.
- Tari Massal yang berjumlah lebih dari satu penari dengan tarian atau ungkapan yang sama. Contoh : Tari Monggawa, Badaya.
Tari wayang memiliki
tingkatan atau jenis karakter yang berbeda misalnya karakter tari pria dan
wanita. Karakter tari wanita terdiri dari Putri Lungguh untuk tokoh Subadra dan
Arimbi serta ladak untuk tokoh Srikandi.
Sedangkan karakter tari
pria terdiri dari :
- Satria Lungguh untuk tokoh Arjuna, Abimanyu, dan Arjuna Sastrabahu.
- Satria Ladak Lungguh untuk tokoh Arayana, Nakula dan Sadewa
- Satria Ladak Dengah/Kasar untuk tokoh Jayanegara, Jakasono, Diputi Karna dan sebagainya
- Monggawa Dengah/Kasar seperti Baladewa dan Bima
- Monggawa Lungguh seperti Antareja dan Gatotkaca
- Denawa Raja seperti Rahwana dan Nakula Niwatakawaca.
Secara garis besar, jika
dilihat dari segi koreografinya tari wayang memiliki tiga gerakan utama yaitu :
Pokok ialah patokan tarian, gerak tersebut antara lain adeg-adeg, jangkung ilo, mincid, keupat, gedut, kiprahan, tindak tilu, engkek gigir, mamandapan, dan calok sembahan
Pokok ialah patokan tarian, gerak tersebut antara lain adeg-adeg, jangkung ilo, mincid, keupat, gedut, kiprahan, tindak tilu, engkek gigir, mamandapan, dan calok sembahan
Peralihan ialah gerak
sebagai sisipan yang digunakan sebagai peralihan dari gerak satu ke gerak yang
lainnya. Misal cindek, raras, trisi dan gedig. Khusus ialah gerak secara
spesifik yang terdapat pada tari tertentu.
TARI KURSUS
Berdasarkans etimologinya, arti kata khusus berasal dari Bahasa Belanda Curcus yaitu belajar secara teratur. Tari Kursus merupakan perkembangan dari tari Tayub yang tumbuh dan berkembang pada masa keemasan kaum bangsawan tempo dulu.
Berdasarkans etimologinya, arti kata khusus berasal dari Bahasa Belanda Curcus yaitu belajar secara teratur. Tari Kursus merupakan perkembangan dari tari Tayub yang tumbuh dan berkembang pada masa keemasan kaum bangsawan tempo dulu.
Tari kursus berdiri pada
1927 yang dikenal dengan nama perkumpulan Wirahmasari pimpinan R. Sambas
Wirakusumah dari Ranca Ekek Bandung. Tari Kursus merupakan salah satu tarian
yang diajarkan secara sistematis dan mempunyai patokan atau aturan tertentu
dalam cara membawakannya. Disamping itu tari kursus juga mempunyai nilai
estetis yang cukup tinggi dan kaya akan pokabuler gerak.
Berdasarkan bentuk
penyajiannya tari kursus dibagi kedalam 5 tahapan yakni :
- Tari Lenyepan : karakternya lembut, halus, selaras dengan Satrias Lungguh.
- Tari Gawil : karakternya lanyap atau ladak selaras dengan Satria Dangah
- Tari Kawitan : karakternya lenyep atau lanyap dan Ponggawa.
- Tari Gunungsari : karakternya ponggawa lungguh
- Tari Kastawa : karakternya agung
Tatanan gerak tari
kursus dapat dibagi kedalam lima kelompok yang terdiri dari :
- Gerak Pokok : rangkaian dari gerak unsur, penghubung dan peralihan
- Gerak Unsur : sikap-sikap yang terdiri dari kesatuan bentuk-bentuk yang terdapat pada kaki, lengan, kepala, leher, bahu, badan dan mata
- Gerak Penghubung : menghubungkan bentuk sikap yang satu untuk mencapai bentuk atau sikap lainnya
- Gerak Peralihan : menyangkut perpindahan adegan terutama pada gerak-gerak pokok yang satu kepada yang lain
- Gerak Pelengkap : gerak sisipan yang memperindah gerak dan sikap.
Karawitan yang digunakan
dalam penyajian tari kursus adalah gamelan pelengkap dengan laras Salendro atau
Pelog. Waditranya terdiri dari saron satu dan dua, seperangkat kendang, demung,
kenong, rebab, gambang, bonang, rincik, penerus, peking, kecrek, selentem,
kempul dan gong besar. Pada umumnya jenis lagu yang dibawakan yaitu lagu
ageung, opat wilet naek lagu kering dua dan tiga dengan tempo 4 gurudugan.
KESENIAN ADU DOMBA
Adu
domba merupakan salah satu kesenian khas rakyat jawa barat yang cukup digemari,
terutama di kalangan tradisional. Kesenian ini merupakan peninggalan leluhur
yang masih bertahan eksistensinya hingga saat ini. Pada intinya adu domba ialah ajang pamer ketangkasan
hewan ternak yang pada akhirnya akan menaikan gengsi suatu perkumpulan ternak
tertentu. Para pesertanya ialah peternak-peternak domba yang tersebar hampir di
seluruh jawa barat, terutama daerah garut, sumedang, bandung, majalengka dan
lainya. Event adu domba dilaksanakan setiap tahun dengan sistim kompetisi,
hampir setiap bulan kegiatan ini dilaksanakan bergilir di daerah-daerah. Di
bandung arena adu domba salah satunya terletak di lebak siliwangi.
Setiap event adu domba
selalu dipadati oleh penonton. Kegiatan ini juga memiliki gengsi yang cukup
tinggi karena banyak tokoh-tokoh sunda yang juga merupakan penggemar
sekaligus pemiliknya, seperti Kang Ibing, Dll.
Hadiah
yang diperebutkan juga tidak sembarangan, sebuah mobil atau motor adalah hal
yang sudah biasa. Ini tidaklah mengherankan karena harga seekor domba adu bisa
mencapai puluhan juta rupiah.
Seperti
halnya pertandingan tinju, ajang ini juga dilengkapi oleh juri penilai, wasit
dan pelatih domba yang ikut menari jaipongan setiap kali dombanya beraksi.
Biasanya setiap pertandingan dibagi ke dalam dua ronde, dan masing-masing ronde
terdiri dari sepuluh kali tumbukan kepala. Adu ketangkasan ini juga dibagi ke
dalam kelas-kelas yang berbeda berdasarkan bobot domba petarung. Ajang adu domba juga sering kali diselingi oleh atraksi
pencak silat, juga musik tradisional. Ini menjadikan kegiatan sangat meriah dan
menarik. Sayangnya peomosi yang masih bersifat internal di kalangan penggemar
domba, menjadikan atraksi yang memiliki nilai wisata ini belum bisa menarik
wisatawan asing dan mendatangkan devisa bagi daerah.
sejarah domba Garut berawal dari masa pemerintahan Bupati
Suryakanta Legawa sekitar tahun 1815-1829, beliau sering berkunjung ke teman
satu perguruannya bernama Haji Saleh yang mempunyai banyak domba. Salah satu domba
yang dipunyainya (si Lenjang) diminta oleh bupati untuk dikawinkan dengan domba
yang ada di Pendopo kabupten yang bernama si Dewa. Si Toblo, yang merupakan
anak dari si Dewa dan si Lenjang beranak-pinak dan menghasilkan keturunan domba
Garut sampai saat sekarang. Domba
Garut mempunyai karakteristik yang khas dari domba-domba yang ada di daerah
luar Garut . Fisik yang kekar dengan berat sekitar 60-80 Kg, tanduk baplang,
warna bulu kebanyakan putih dan telinga ngagiri. menjadi salah satu cirri
dominan dari domba-domba yang ada. Perkembangan selanjutnya dari
pemeliharaan domba garut mengarah pada dua sasaran utama, yaitu sebagai
penghasil daging dan untuk kesenangan atau hobi.
GAMELAN
DEGUNG
Ada beberapa gamelan yang pernah ada dan terus berkembang
di Jawa Barat, antara
lain GamelanSalendro, Pelog dan
Degung. Gamelan salendro biasa digunakan untuk
mengiringi pertunjukan wayang, tari, kliningan, jaipongan dan lain-lain. Gamelan pelog fungsinya hampir sama dengan gamelan salendro, hanya kurang begitu berkembang
dan kurang akrab di masyaraka dan jarang dimiliki oleh grup-grup kesenian di
masyarakat. Hal ini menandakan cukup terwakilinya seperangkat gamelan dengan keberadaan gamelansalendro, sementara gamelan degung dirasakan cukup mewakili
kekhasan masyarakat Jawa Barat. Gamelanlainnya adalah gamelan Ajeng berlaras salendro yang masih
terdapat di kabupaten Bogor, dan gamelan Renteng yang ada di beberapa tempat,
salah satunya di Batu Karut, Cikalong kabupaten Bandung.
Melihat bentuk dan interval gamelan renteng, ada pendapat bahwa
kemungkinan besar gamelan degung yang sekarang berkembang,
berorientasi pada gamelan Renteng
Ada gamelan yang sudah lama terlupakan yaitu
KOROMONG yang ada di Kp. Lamajang Desa Lamajang Kec. Pangalengan Kab. Bandung. Gamelan ini sudah tidak dimainkan sejak
kira-kira 35 – 40 tahun dan sudah tidak ada yang sanggup untuk menabuhnya
karena gamelan KOROMONG ini dianggap mempunyai nilai
mistis.Gamelan KOROMONG ini
sekarang masih ada dan terpelihara dengan baik. Untuk supaya gamelanKOROMONG ini dapat ditabuh,
maka kata yang memegang dan merawat gamelan tersebut harus dibuat Duplikatnya.
Sejarah Degung
Degung merupakan salah satu gamelan khas dan asli hasil kreasi urang
Sunda. Gamelan yang kini jumlahnya telah berkembang
dengan pesat, diperkirakan awal perkembangannya sekitar akhir abad ke-18/awal
abad ke-19. Jaap Kunst yang mendata gamelan di seluruh Pulau Jawa dalam
bukunya Toonkunst van Java (1934) mencatat bahwa degung terdapat di Bandung (5 perangkat), Sumedang (3 perangkat),
Cianjur (1 perangkat), Ciamis (1 perangkat), Kasepuhan (1 perangkat), Kanoman
(1 perangkat), Darmaraja (1 perangkat), Banjar (1 perangkat), dan Singaparna (1
perangkat).
Masyarakat
Sunda dengan latar belakang kerajaan yang terletak di hulu sungai, kerajaan
Galuh misalnya, memiliki pengaruh tersendiri terhadap kesenian degung, terutama
lagu-lagunya yang yang banyak diwarnai kondisi sungai, di antaranya lagu
Manintin, Galatik Manggut, Kintel Buluk, dan Sang Bango. Kebiasaan marak lauk
masyarakat Sunda selalu diringi dengan gamelan renteng dan berkembang ke gamelan degung.
Dugaan-dugaan
masyarakat Sunda yang mengatakan bahwa degung merupakan musik kerajaan atau
kadaleman dihubungkan pula dengan kirata basa, yaitu bahwa kata “degung”
berasal dari kata “ngadeg” (berdiri) dan “agung” (megah) atau “pangagung”
(menak; bangsawan), yang mengandung pengertian bahwa kesenian ini digunakan bagi
kemegahan (keagungan) martabat bangsawan. E. Sutisna, salah seorang nayaga
Degung Parahyangan, menghubungkan kata “degung” dikarenakan gamelan ini dulu hanya dimiliki oleh para
pangagung (bupati). Dalam literatur istilah “degung” pertama kali muncul tahun
1879, yaitu dalam kamus susunan H.J. Oosting. Kata “De gong” (gamelan, bahasa
Belanda) dalam kamus ini mengandung pengertian “penclon-penclon yang digantung”. Gamelan yang usianya cukup tua selain yang ada
di keraton Kasepuhan (gamelan Dengung)
adalah gamelandegung Pangasih di
Museum Prabu Geusan Ulun, Sumedang. Gamelan ini merupakan peninggalan Pangeran
Kusumadinata (Pangeran Kornel), bupati Sumedang (1791—1828).
Perkembangan Seni Degung
Dulu gamelan degung hanya ditabuh secara gendingan
(instrumental). Bupati Cianjur RT. Wiranatakusumah V (1912—1920) melarang
degung memakai nyanyian (vokal) karena membuat suasana kurang serius (rucah). Ketika
bupati ini tahun 1920 pindah menjadi bupati Bandung,
maka perangkat gamelan degung di pendopo Cianjur juga turut
dibawa bersama nayaganya, dipimpin oleh Idi. Sejak itu gamelan degung yang bernama Pamagersari ini
menghiasi pendopo Bandung dengan lagu-lagunya. Melihat dan
mendengarkan keindahan degung, salah seorang saudagar Pasar Baru Bandung keturunan Palembang, Anang Thayib,
merasa tertarik untuk menggunakannya dalam acara hajatan yang
diselenggarakannya. Kebetulan dia sahabat bupati tersebut. Oleh karena itu dia
mengajukan permohonan kepada bupati agar diijinkan menggunakan degung dalam
hajatannya, dan diijinkannya. Mulai saat itulah degung digunakan dalam hajatan
(perhelatan) umum. Permohonan semacam itu semakin banyak, maka bupati
memerintahkan supaya membuat gamelan degung lagi, dan terwujud degung baru
yang dinamakan Purbasasaka, dipimpin oleh Oyo.
Sebelumnya waditra (instrumen) gamelan degung hanya terdiri atas koromong
(bonang) 13 penclon, cempres (saron panjang) 11 wilah, degung (jenglong) 6 penclon,
dan goong satu buah. Kemudian penambahan-penambahan waditra terjadi sesuai
dengan tantangan dan kebutuhan musikal, misalnya penambahan kendang dan suling
oleh bapak Idi. Gamelan degung kabupaten Bandung, bersama kesenian lain
digunakan sebagai musik gending karesmen (opera Sunda) kolosal Loetoeng
Kasaroeng tanggal 18 Juni 1921 dalam menyambut Cultuurcongres Java Institut.
Sebelumnya, tahun 1918 Rd. Soerawidjaja pernah pula membuat gending karesmen
dengan musik degung, yang dipentaskan di Medan. Tahun 1926 degung dipakai untuk illustrasi film cerita pertama di Indonesia berjudul Loetoeng Kasaroeng oleh L.
Heuveldrop dan G. Kruger produksi Java Film Company, Bandung. Karya lainnya yang menggunakan
degung sebagai musiknya adalah gending karesmen Mundinglaya dikusumah oleh M.
Idris Sastraprawira dan Rd. Djajaatmadja di Purwakarta tahun 1931. Setelah Idi
meninggal (tahun 1945) degung tersendat perkembangannya. Apalagi setelah itu
revolusi fisik banyak mengakibatkan penderitaan masyarakat. Degung dibangkitkan
kembali secara serius tahun 1954 oleh Moh. Tarya, Ono Sukarna, dan E. Tjarmedi.
Selain menyajikan lagu-lagu yang telah ada, mereka menciptakan pula lagu-lagu
baru dengan nuansa lagu-lagu degung sebelumnya. Tahun 1956 degung mulai
disiarkan secara tetap di RRI Bandung dengan mendapatkan sambutan yang baik
dari masyarakat. Tahun 1956 Enoch Atmadibrata membuat tari Cendrawasih dengan
musik degung dengan iringan degung lagu palwa. Bunyi degung lagu Palwa setiap
kali terdengar tatkala pembukaan acara warta berita bahasa Sunda, sehingga
dapat meresap dan membawa suasana khas Sunda dalam hati masyarakat.
Pengembangan lagu degung dengan vokal
dilanjutkan oleh grup Parahyangan pimpinan E. Tjarmedi sekitar tahun 1958.
Selanjutnya E. Tjarmedi dan juga Rahmat Sukmasaputra mencoba menggarap degung
dengan lagu-lagu alit (sawiletan) dari patokan lagu gamelan salendro pelog. Rahmat Sukmasaputra
juga merupakan seorang tokoh yang memelopori degung dengan nayaga wanita.
Selain itu, seperti dikemukakan Enoch Atmadibrata, degung
wanita dipelopori oleh para anggota Damas (Daya Mahasiswa Sunda) sekitar tahun
1957 di bawah asuhan Sukanda Artadinata (menantu Oyo).
Tahun
1962 ada yang mencoba memasukkan waditra angklung ke dalam degung. Tetapi hal
ini tidak berkembang. Tahun 1961 RS. Darya Mandalakusuma (kepala siaran Sunda
RRI Bandung) melengkapi degung
dengan waditra gambang, saron, dan rebab. Kelengkapan ini untuk mendukung
gending karesmen Mundinglayadikusumah karya Wahyu Wibisana. Gamelan degung ini dinamakan degung Si Pawit.
Degung ini juga digunakan untuk pirigan wayang Pakuan. Dari rekaman-rekaman
produksi Lokananta (Surakarta) oleh grup RRI Bandung dan Parahyangan pimpinan E. Tjarmedi
dapat didengarkan degung yang menggunakan waditra tambahan ini. Lagu-lagu serta
garap tabuhnya banyak mengambil dari gamelan salendro pelog, misalnya lagu Paksi
Tuwung, Kembang Kapas, dsb. Pada tahun 1964, Mang Koko membuat gamelan laras degung yang nadanya berorientasi
pada gamelan salendro (dwi swara). Bentuk ancak
bonanya seperti tapal kuda. Dibanding degung yang ada pada waktu itu,
surupannya lebih tinggi. Keberadaan degung ini sebagai realisasi teori R.
Machyar. Gamelan laras degung ini pernah dipakai untuk
mengiringi gending karesmen Aki Nini Balangantrang (1967) karya Mang Koko dan
Wahyu Wibisana.
Tahun
1970—1980-an semakin banyak yang menggarap degung, misalnya Nano S. dengan grup
Gentra Madya (1976), lingkung seni Dewi Pramanik pimpinan Euis Komariah, degung
Gapura pimpinan Kustyara, dan degung gaya Ujang Suryana (Pakutandang, Ciparay)
yang sangat populer sejak tahun 1980-an dengan ciri permainan sulingnya yang
khas. Tak kalah penting adalah Nano S. dengan grup Gentra Madya-nya yang
memasukan unsur waditra kacapi dalam degungnya. Nano S. membuat lagu degung
dengan kebiasaan membuat intro dan aransemen tersendiri. Beberapa lagu degung
karya Nano S. yang direkam dalam kaset sukses di pasaran, di antaranya
Panglayungan (1977), Puspita (1978), Naon Lepatna (1980), Tamperan Kaheman
(1981), Anjeun (1984) dan Kalangkang yang dinyanyikan oleh Nining Meida dan
Barman Syahyana (1986). Lagu Kalangkang ini lebih populer lagi setelah direkam
dalam gaya pop Sunda oleh penyanyi Nining Meida dan Adang Cengos sekitar tahun
1987.
Berbeda
dengan masa awal (tahun 1950-an) dimana para penyanyi degung berasal dari
kalangan penyanyi gamelan salendro pelog (pasinden; ronggeng), para penyanyi
degung sekarang (sejak 1970-an) kebanyakan berasal dari kalangan mamaos
(tembang Sunda Cianjuran), baik pria maupun wanita. Juru kawih degung yang
populer dan berasal dari kalangan mamaos di antaranya Euis Komariah, Ida
Widawati, Teti Afienti, Mamah Dasimah, Barman Syahyana, Didin S. Badjuri, Yus
Wiradiredja, Tati Saleh dan sebagainya.
Lagu-lagu
degung di antaranya: Palwa, Palsiun, Bima Mobos (Sancang), Sang Bango, Kinteul
Bueuk, Pajajaran, Catrik, Lalayaran, Jipang Lontang, Sangkuratu, Karang Ulun,
Karangmantri, Ladrak, Ujung Laut, Manintin, Beber Layar, Kadewan, Padayungan,
dsb. Sedangkan lagu-lagu degung ciptaan baru yang digarap dengan menggunakan
pola lagu rerenggongan di antaranya: Samar-samar, Kembang Ligar, Surat
Ondangan, Hariring Bandung, Tepang Asih, Kalangkang, Rumaos, Bentang Kuring,
dsb.
Di Mancanegara
Di luar Indonesia pengembangan degung dilakukan oleh
perguruan tinggi seni dan beberapa musisi, misalnya Lingkung Seni Pusaka Sunda
University of California (Santa Cruz, USA), musisi Lou Harrison (US), dan
Rachel Swindell bersama mahasiswa lainnya di London (Inggris), Paraguna
(Jepang), serta Evergreen, John Sidal (Kanada). Di Melbourne, Australia, ada
sebuah set gamelan degung milik University of Melbourne yang seringkali
digunakan oleh sebuah komunitas pencinta musik Sunda untuk latihan dan
pementasan di festival-festival
WAYANG GOLEK
1. Asal-usul
Asal mula wayang golek tidak diketahui secara jelas karena tidak ada
keterangan lengkap, baik tertulis maupun lisan. Kehadiran wayang golek tidak
dapat dipisahkan dari wayang kulit karena wayang golek merupakan perkembangan
dari wayang kulit. Namun demikian, Salmun (1986) menyebutkan bahwa pada tahun
1583 Masehi Sunan Kudus membuat wayang dari kayu yang kemudian disebut wayang
golek yang dapat dipentaskan pada siang hari. Sejalan dengan itu Ismunandar
(1988) menyebutkan bahwa pada awal abad ke-16 Sunan Kudus membuat bangun
'wayang purwo' sejumlah 70 buah dengan cerita Menak yang diiringi gamelan Salendro.
Pertunjukkannya dilakukan pada siang hari. Wayang ini tidak memerlukan kelir.
Bentuknya menyerupai boneka yang terbuat dari kayu (bukan dari kulit
sebagaimana halnya wayang kulit). Jadi, seperti golek. Oleh karena itu, disebut
sebagai wayang golek.
Pada mulanya yang dilakonkan dalam wayang golek adalah ceritera panji dan
wayangnya disebut wayang golek menak. Konon, wayang golek ini baru ada sejak
masa Panembahan Ratu (cicit Sunan Gunung Jati (1540-1650). Di sana (di daerah
Cirebon) disebut sebagai wayang golek papak atau wayang cepak karena bentuk
kepalanya datar. Pada zaman Pangeran Girilaya (1650-1662) wayang cepak
dilengkapi dengan cerita yang diambil dari babad dan sejarah tanah Jawa.
Lakon-lakon yang dibawakan waktu itu berkisar pada penyebaran agama Islam.
Selanjutnya, wayang golek dengan lakon Ramayana dan Mahabarata (wayang golek
purwa) yang lahir pada 1840 (Somantri, 1988).
Kelahiran wayang golek diprakarsai oleh Dalem Karang Anyar (Wiranata
Koesoemah III) pada masa akhir jabatannya. Waktu itu Dalem memerintahkan Ki
Darman (penyungging wayang kulit asal Tegal) yang tinggal di Cibiru, Ujung
Berung, untuk membuat wayang dari kayu. Bentuk wayang yang dibuatnya semula
berbentuk gepeng dan berpola pada wayang kulit. Namun, pada perkembangan selanjutnya,
atas anjuran Dalem, Ki Darman membuat wayang golek yang membulat tidak jauh
berbeda dengan wayang golek sekarang. Di daerah Priangan sendiri dikenal pada
awal abad ke-19. Perkenalan masyarakat Sunda dengan wayang golek dimungkinkan
sejak dibukanya jalan raya Daendels yang menghubungkan daerah pantai dengan
Priangan yang bergunung-gunung. Semula wayang golek di Priangan menggunakan
bahasa Jawa. Namun, setelah orang Sunda pandai mendalang, maka bahasa yang
digunakan adalah bahasa Sunda.
2. Jenis-jenis Wayang Golek
Ada tiga jenis wayang golek, yaitu: wayang golek cepak, wayang golek purwa,
dan wayang golek modern. Wayang golek papak (cepak) terkenal di Cirebon dengan
ceritera babad dan legenda serta menggunakan bahasa Cirebon. Wayang golek purwa
adalah wayang golek khusus membawakan cerita Mahabharata dan Ramayana dengan
pengantar bahasa Sunda sebagai. Sedangkan, wayang golek modern seperti wayang
purwa (ceritanya tentang Mahabarata dan Ramayana, tetapi dalam pementasannya
menggunakan listrik untuk membuat trik-trik. Pembuatan trik-trik tersebut untuk
menyesuaikan pertunjukan wayang golek dengan kehidupan modern. Wayang golek
modern dirintis oleh R.U. Partasuanda dan dikembangkan oleh Asep Sunandar tahun
1970--1980.
3. Pembuatan
Wayang golek terbuat dari albasiah atau lame. Cara pembuatannya adalah
dengan meraut dan mengukirnya, hingga menyerupai bentuk yang diinginkan. Untuk
mewarnai dan menggambar mata, alis, bibir dan motif di kepala wayang, digunakan
cat duko. Cat ini menjadikan wayang tampak lebih cerah. Pewarnaan wayang
merupakan bagian penting karena dapat menghasilkan berbagai karakter tokoh.
Adapun warna dasar yang biasa digunakan dalam wayang ada empat yaitu: merah,
putih, prada, dan hitam.
4. Nilai Budaya
Wayang golek sebagai suatu kesenian tidak hanya mengandung nilai estetika
semata, tetapi meliputi keseluruhan nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat
pendukungnya. Nilai-nilai itu disosialisasikan oleh para seniman dan seniwati
pedalangan yang mengemban kode etik pedalangan. Kode etik pedalangan tersebut
dinamakan "Sapta Sila Kehormatan Seniman Seniwati Pedalangan Jawa
Barat". Rumusan kode etik pedalangan tersebut merupakan hasil musyawarah
para seniman seniwati pedalangan pada tanggal 28 Februari 1964 di Bandung.
Isinya antara lain sebagai berikut:
·
Seniman dan
seniwati pedalangan adalah seniman sejati sebab itu harus menjaga nilainya.
·
Mendidik
masyarakat. Itulah sebabnya diwajibkan memberi con-toh, baik dalam bentuk
ucapan maupun tingkah laku.
·
Juru
penerang. Karena itu diwajibkan menyampaikan pesan-pesan atau membantu
pemerintah serta menyebarkan segala cita-cita negara bangsanya kepada
masyarakat.
·
Sosial
Indonesia. Sebab itu diwajibkan mengukuhi jiwa gotong-royong dalam segala
masalah.
·
Susilawan.
Diwajibkan menjaga etika di lingkungan masyarakat.
·
Mempunyai
kepribadian sendiri, maka diwajibkan menjaga kepribadian sendiri dan bangsa.
·
Setiawan.
Maka diwajibkan tunduk dan taat, serta menghormati hukum Republik Indonesia,
demikian pula terhadap adat-istiadat bangsa.
JAIPONG
Tari ini
diciptakan oleh seorang seniman asal Bandung, Gugum Gumbira,
sekitar tahun 1960-an, dengan tujuan untuk menciptakan suatu jenis musik dan
tarian pergaulan yang digali dari kekayaan seni tradisi rakyat Nusantara,
khususnya Jawa Barat. Meskipun termasuk seni tari kreasi yang relatif baru,
jaipongan dikembangkan berdasarkan kesenian rakyat yang sudah berkembang
sebelumnya, seperti Ketuk Tilu, Kliningan, serta Ronggeng. Perhatian Gumbira pada kesenian
rakyat yang salah satunya adalah Ketuk Tilu menjadikannya mengetahui dan
mengenal betul perbendaharan pola-pola gerak tari tradisi yang ada pada Kliningan/Bajidoran atau Ketuk Tilu. Gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid dari beberapa kesenian menjadi
inspirasi untuk mengembangkan kesenian jaipongan.
Sebelum
bentuk seni pertunjukan ini muncul, ada beberapa pengaruh yang melatarbelakangi
terbentuknya tari pergaulan ini. Di kawasan perkotaanPriangan misalnya, pada masyarakat elite, tari
pergaulan dipengaruhi dansa Ball Room dari Barat. Sementara pada kesenian
rakyat, tari pergaulan dipengaruhi tradisi lokal. Pertunjukan tari-tari
pergaulan tradisional tak lepas dari keberadaan ronggeng dan pamogoran. Ronggeng dalam tari
pergaulan tidak lagi berfungsi untuk kegiatan upacara, tetapi untuk hiburan
atau cara bergaul. Keberadaan ronggeng dalam seni pertunjukan memiliki daya
tarik yang mengundang simpati kaum pamogoran. Misalnya pada tari Ketuk Tilu
yang begitu dikenal oleh masyarakat Sunda,
diperkirakan kesenian ini populer sekitar tahun 1916. Sebagai seni pertunjukan rakyat,
kesenian ini hanya didukung oleh unsur-unsur sederhana, seperti waditra yang
meliputi rebab, kendang,
dua buah kulanter, tiga buah ketuk, dan gong. Demikian pula dengan gerak-gerak
tarinya yang tidak memiliki pola gerak yang baku, kostum penari yang sederhana
sebagai cerminan kerakyatan.
Seiring
dengan memudarnya jenis kesenian di atas, mantan pamogoran (penonton yang berperan
aktif dalam seni pertunjukan Ketuk Tilu/Doger/Tayub) beralih perhatiannya pada seni
pertunjukan Kliningan, yang di daerah Pantai Utara Jawa Barat (Karawang, Bekasi, Purwakarta,Indramayu,
dan Subang) dikenal dengan sebutan Kliningan
Bajidoran yang pola tarinya maupun peristiwa pertunjukannya mempunyai kemiripan
dengan kesenian sebelumnya (Ketuk Tilu/Doger/Tayub). Dalam pada itu, eksistensi
tari-tarian dalam Topeng Banjet cukup digemari, khususnya di Karawang,
di mana beberapa pola gerak Bajidoran diambil dari tarian dalam Topeng Banjet
ini. Secara koreografis tarian itu masih menampakan pola-pola tradisi (Ketuk
Tilu) yang mengandung unsur gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa
ragam gerak mincid yang pada gilirannya menjadi dasar penciptaan tari
Jaipongan. Beberapa gerak-gerak dasar tari Jaipongan selain dari Ketuk Tilu,
Ibing Bajidor serta Topeng Banjet adalah Tayuban dan Pencak Silat.
Tarian
ini mulai dikenal luas sejak 1970-an. Kemunculan tarian karya Gugum Gumbira
pada awalnya disebut Ketuk Tilu perkembangan, yang memang karena dasar tarian
itu merupakan pengembangan dari Ketuk Tilu. Karya pertama Gugum Gumbira masih
sangat kental dengan warna ibing Ketuk Tilu, baik dari segi koreografi maupun
iringannya, yang kemudian tarian itu menjadi populer dengan sebutan Jaipongan.
PERKEMBANGAN
Karya
Jaipongan pertama yang mulai dikenal oleh masyarakat adalah tari "Daun
Pulus Keser Bojong" dan "Rendeng Bojong" yang keduanya merupakan jenis tari putri dan tari berpasangan (putra dan
putri). Dari tarian itu muncul beberapa nama penari Jaipongan yang handal
seperti Tati Saleh, Yeti Mamat, Eli Somali, dan Pepen
Dedi Kurniadi. Awal
kemunculan tarian tersebut sempat menjadi perbincangan, yang isu sentralnya
adalah gerakan yang erotis dan vulgar. Namun dari ekspos beberapa
media cetak, nama Gugum Gumbira mulai dikenal masyarakat, apalagi setelah tari
Jaipongan pada tahun 1980 dipentaskan di TVRI stasiun pusat Jakarta. Dampak dari
kepopuleran tersebut lebih meningkatkan frekuensi pertunjukan, baik di media
televisi, hajatan maupun perayaan-perayaan yang diselenggarakan oleh pihak
swasta dan pemerintah.
Kehadiran
Jaipongan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap para penggiat seni
tari untuk lebih aktif lagi menggali jenis tarian rakyat yang sebelumnya kurang
perhatian. Dengan munculnya tari Jaipongan, dimanfaatkan oleh para penggiat
seni tari untuk menyelenggarakan kursus-kursus tari Jaipongan, dimanfaatkan
pula oleh pengusaha pub-pub malam sebagai pemikat tamu undangan, dimana
perkembangan lebih lanjut peluang usaha semacam ini dibentuk oleh para penggiat
tari sebagai usaha pemberdayaan ekonomi dengan nama Sanggar Tari atau grup-grup
di beberapa daerah wilayah Jawa Barat, misalnya di Subang dengan Jaipongan gaya
"kaleran" (utara).
Ciri
khas Jaipongan gaya kaleran, yakni keceriaan, erotis, humoris, semangat,
spontanitas, dan kesederhanaan (alami, apa adanya). Hal itu tercermin dalam
pola penyajian tari pada pertunjukannya, ada yang diberi pola (Ibing Pola)
seperti pada seni Jaipongan yang ada di Bandung, juga ada pula tarian yang
tidak dipola (Ibing Saka), misalnya pada seni Jaipongan Subang dan Karawang.
Istilah ini dapat kita temui pada Jaipongan gaya kaleran, terutama di daerah
Subang. Dalam penyajiannya, Jaipongan gaya kaleran ini, sebagai berikut:
·
Tatalu
·
Kembang
Gadung
·
Buah
Kawung Gopar;
·
Tari
Pembukaan (Ibing Pola), biasanya dibawakan oleh penari tunggal atau Sinden
Tatandakan (serang sinden tapi tidak bisa nyanyi melainkan menarikan lagu
sinden/juru kawih)
·
Jeblokan
dan Jabanan, merupakan bagian pertunjukan ketika para penonton (bajidor) sawer
uang (jabanan) sambil salam tempel. Istilah jeblokan diartikan sebagai pasangan
yang menetap antara sinden dan penonton (bajidor).
Perkembangan
selanjutnya tari Jaipongan terjadi pada taahun 1980-1990-an,
di mana Gugum Gumbira menciptakan tari lainnya seperti Toka-toka, Setra Sari, Sonteng,Pencug, Kuntul Mangut,Iring-iring Daun Puring, Rawayan, dan Tari
Kawung Anten. Dari
tarian-tarian tersebut muncul beberapa penari Jaipongan yang handal antara lain Iceu Effendi, Yumiati Mandiri, Miming
Mintarsih, Nani,
Erna, Mira
Tejaningrum, Ine Dinar, Ega, Nuni, Cepy, Agah, Aa Suryabrata, dan Asep.
Dewasa
ini tari Jaipongan boleh disebut sebagai salah satu identitas keseniaan Jawa
Barat, hal ini nampak pada beberapa acara-acara penting yang berkenaan dengan
tamu dari negara asing yang datang ke Jawa Barat, maka disambut dengan
pertunjukan tari Jaipongan. Demikian pula dengan misi-misi kesenian ke manca
negara senantiasa dilengkapi dengan tari Jaipongan. Tari Jaipongan banyak
memengaruhi kesenian-kesenian lain yang ada di masyarakat Jawa Barat, baik pada
seni pertunjukan wayang, degung, genjring/terbangan, kacapi jaipong, dan hampir
semua pertunjukan rakyat maupun pada musik dangdut modern yang dikolaborasikan
dengan Jaipong menjadi kesenian Pong-Dut.Jaipongan yang telah diplopori oleh
Mr. Nur & Leni
CALUNG
Calung adalah alat musik Sunda yang merupakan
prototipe (purwarupa) dari angklung.
Berbeda dengan angklung yang dimainkan dengan cara digoyangkan, cara menabuh
calung adalah dengan memukul batang (wilahan, bilah) dari ruas-ruas
(tabung bambu) yang tersusun menurut titi laras (tangga nada) pentatonik (da-mi-na-ti-la). Jenis bambu untuk
pembuatan calung kebanyakan dari awi wulung (bambu hitam), namun ada pula yang
dibuat dari awi temen (bambu yang berwarna putih). Pengertian
calung selain sebagai alat musik juga melekat dengan sebutan seni pertunjukan.
Ada dua bentuk calung Sunda yang dikenal, yakni calung rantay dan calung
jinjing.
Calung rantay bilah
tabungnya dideretkan dengan tali kulit waru (lulub) dari yang terbesar sampai
yang terkecil, jumlahnya 7 wilahan (7 ruas bambu) atau lebih. Komposisi alatnya
ada yang satu deretan dan ada juga yang dua deretan (calung indung dan calung
anak/calung rincik). Cara memainkan calung rantay dipukul dengan dua tangan
sambil duduk bersilah, biasanya calung tersebut diikat di pohon atau bilik
rumah (calung rantay Banjaran-Bandung), ada juga yang dibuat ancak
"dudukan" khusus dari bambu/kayu, misalnya calung tarawangsa di
Cibalong dan Cipatujah, Tasikmalaya, calung rantay di Banjaran dan
Kanekes/Baduy
Adapun calung jinjing berbentuk
deretan bambu bernada yang disatukan dengan sebilah kecil bambu (paniir).
Calung jinjing terdiri atas empat atau lima buah, seperti calung kingking
(terdiri dari 12 tabung bambu), calung panepas (5 /3 dan 2 tabung bambu),
calung jongjrong(5 /3 dan 2 tabung bambu), dan calung gonggong (2 tabung
bambu). Kelengkapan calung dalam perkembangannya dewasa ini ada yang hanya
menggunakan calung kingking satu buah, panempas dua buah dan calung gonggong
satu buah, tanpa menggunakan calung jongjrong Cara memainkannya dipukul dengan
tangan kanan memakai pemukul, dan tangan kiri menjinjing/memegang alat musik
tersebut. Sedangkan teknik menabuhnya antar lain dimelodi, dikeleter,
dikemprang, dikempyung, diraeh, dirincik, dirangkep (diracek), salancar, kotrek
dan solorok.
Jenis
calung yang sekarang berkembang dan dikenal secara umum yaitu calung jinjing.
Calung jinjing adalah jenis alat musik yang sudah lama dikenal oleh masyarakat
Sunda, misalnya pada masyarakat Sunda di daerah Sindang Heula - Brebes, Jawa
tengah, dan bisa jadi merupakan pengembangan dari bentuk calung rantay. Namun
di Jawa Barat, bentuk kesenian ini dirintis popularitasnya ketika para
mahasiswa Universitas Padjadjaran (UNPAD) yang tergabung dalam Departemen
Kesenian Dewan Mahasiswa (Lembaga kesenian UNPAD) mengembangkan bentuk calung
ini melalui kreativitasnya pada tahun 1961. Menurut salah seorang perintisnya,
Ekik Barkah, bahwa pengkemasan calung jinjing dengan pertunjukannya diilhami
oleh bentuk permainan pada pertunjukan reog yang memadukan unsur tabuh, gerak
dan lagu dipadukan. Kemudian pada tahun 1963 bentuk permainan dan tabuh calung
lebih dikembangkan lagi oleh kawan-kawan dari Studiklub Teater Bandung (STB;
Koswara Sumaamijaya dkk), dan antara tahun 1964 - 1965 calung lebih
dimasyarakatkan lagi oleh kawan-kawan di UNPAD sebagai seni pertunjukan yang
bersifat hiburan dan informasi (penyuluhan (Oman Suparman, Ia Ruchiyat, Eppi
K., Enip Sukanda, Edi, Zahir, dan kawan-kawan), dan grup calung SMAN 4 Bandung
(Abdurohman dkk). Selanjutnya bermunculan grup-grup calung di masyarakat
Bandung, misalnya Layung Sari, Ria Buana, dan Glamor (1970) dan lain-lain,
hingga dewasa ini bermunculan nama-nama idola pemain calung antara lain Tajudin
Nirwan, Odo, Uko Hendarto, Adang Cengos, dan Hendarso.
Perkembangan
kesenian calung begitu pesat di Jawa Barat, hingga ada penambahan beberapa alat
musik dalam calung, misalnya kosrek, kacapi, piul (biola) dan bahkan ada yang
melengkapi dengan keyboard dan gitar. Unsur vokal menjadi sangat dominan,
sehingga banyak bermunculan vokalis calung terkenal, seperti Adang Cengos, dan
Hendarso.
Tari & Ibing Pencak Silat
Salah satu aspek yang tidak kalah penting dalam pencak silat adalah aspek seni pencak silat, yang lebih populer di Jawa Barat dengan sebutan ibing namun tidak sedikit orang menyebut aspek seni pencak silat ini dengan istilah tari pencak silat padahal dalam kenyataan yang sebenarnya bahwa istilah ibing pencak silat dengan istilah tari pencak silat mempunyai pengertian yang berbeda. Ibing Pencak Silat mempunyai pengertian yang lebih mendalam dibanding tari pencak silat, karena dalam ibing pencak silat selain ada unsur keindahan gerak di dalamnya, mempunyai tujuan akhir menjatuhkan lawan, sehingga dalam ibing pencak silat unsur beladirinya lebih menonjol. Sedangkan istilah tari lebih ditekankan pada unsur keindahannya saja tidak ada unsur beladirinya, seperti tari-tarian yang sering kita lihat. Oleh karena itu rasanya kurang tepat apabila pencak silat disebut sebagai tari pencak silat, sebab pada umumnya para ahli pencak silat di Jawa Barat menyebut seni pencak silat dengan sebutan ibing pencak silat bukan taripencak silat.
Salah satu aspek yang tidak kalah penting dalam pencak silat adalah aspek seni pencak silat, yang lebih populer di Jawa Barat dengan sebutan ibing namun tidak sedikit orang menyebut aspek seni pencak silat ini dengan istilah tari pencak silat padahal dalam kenyataan yang sebenarnya bahwa istilah ibing pencak silat dengan istilah tari pencak silat mempunyai pengertian yang berbeda. Ibing Pencak Silat mempunyai pengertian yang lebih mendalam dibanding tari pencak silat, karena dalam ibing pencak silat selain ada unsur keindahan gerak di dalamnya, mempunyai tujuan akhir menjatuhkan lawan, sehingga dalam ibing pencak silat unsur beladirinya lebih menonjol. Sedangkan istilah tari lebih ditekankan pada unsur keindahannya saja tidak ada unsur beladirinya, seperti tari-tarian yang sering kita lihat. Oleh karena itu rasanya kurang tepat apabila pencak silat disebut sebagai tari pencak silat, sebab pada umumnya para ahli pencak silat di Jawa Barat menyebut seni pencak silat dengan sebutan ibing pencak silat bukan taripencak silat.
Pada mulanya pencak silat lahir
karena kebutuhan masyarakat untuk mempertahankan diri, dapat dipahami kalau
aspek yang menonjol adalah aspek beladiri. Namun pada kurun waktu tertentu,
disebabkan situasi politik pada saat itu (zaman penjajahan Belanda) yang tidak
begitu respek terhadap beladiri pencak silat, maka pengembangan pencak silat
beralih dari aspek beladiri ke aspek seni. Hal ini merupakan salah satu taktik
dari para pendekar pencak silat untuk tetap melestarikan pencak silat. Padahal
jika diperhatikan lebih seksama, justru dalam seni
pencak silat tersembunyi kaidah beladiri pencak silat.
Di Jawa Barat, di samping dikenal
dengan aspek beladirinya, yang lebih dikenal dengan sebutan buah atau eusi,
dikenal pula aspek pencak silat seni yang disebut kembang atau ibing
pencak silat, sehingga apabila mendengar kata “pencak” yang terbayang oleh
masyarakat Jawa Barat bukanlah suatu sistem pembelaan diri, melainkan suatu
seni ibing pencak silat yang diambil dari gerak serangan dan
belaan.
Ada beberapa unsur yang perlu
diperhatikan dalam ibing pencak silat, antara lain:
Pertama, unsur kekayaan gerak
(wiraga) yaitu kekayaan gerak atau jurus-jurus yang dimiliki oleh seorang
pesilat selama belajar di perguruannya, sehingga penampilannya menjadi tidak
monoton atau membosankan apabila tampil di atas pentas (terutama dalam
pertandingan seni pencak silat), tetapi apabila dalam kaulan (spontanitas) pada
acara hajatan unsur kekayaan geraknya tidak begitu diperhatikan pesilat yang
penting pesilat mampu memperagakan gerakannya dengan baik dan benar sesuai
dengan kaidah pencak silat karena tidak terikat oleh sistem penilaian
dari juri seperti dalam pelaksanaan pertandingan pencak silat seni.
Kedua, unsur irama (wirahma) atau
musik, unsur inilah yang membedakan aspek seni dengan aspek yang lain dalam
pencak silat. Gendang Pencak adalah merupakan sejenis alat musik
tradisional yang biasa dipakai mengiringi pesilat yang tampil di atas panggung
atau pentas dan alat tradisional ini sering digunakan dalam
pertandinganpencak silat seni dan acara khitanan atau acara kesenian
daerah lainnya, daerah – daerah yang masih mempergunakan peralatan tradisional
ini di antaranya, daerah Bogor, Sukabumi, Bandung, Cianjur, Garut, dan banyak
lagi daerah lainnya di Jawa Barat.
Seperangkat peralatan pengiring seni
pencak silat atau lebih dikenal dengan nama
kendang pencak silat adalah:
- Gendang induk, (Kendang indung)
- Gendang anak, (kendang anak)
- Kulanter (kendang kecil)
- Terompet (tarompet)
- Goong (Gong)
Gendang pencak dimainkan oleh 4
(empat) orang penabuh (nayaga/wiyaga). Mereka mempunyai tugas masing-masing
dalam pelaksanaannya sehingga gendang pencak silat mempunyai nilai seni
kedaerahan yang khas dan selain itu mempunyai nilai keindahan, etika, dan estetika.
Adanya keserasian dari irama gendang, terompet, dan gong yang mengeluarkan
bunyi tersendiri membuat orang yang mendengarnya menjadi kagum apalagi apabila
irama ini sambil dihayati, dinikmati, dan dirasakan akan memiliki nilai seni
yang sangat tinggi. Ada beberapa kelebihan dari penabuh kendang pencak silat
yang sudah berpengalaman selain mampu mengiringi ibing pencak silat yang sudah
dirancang sebelumnya, ia mampu mengiringi gerakan-gerakan lain yang tidak
dirancang sebelumnya atau gerakan beladiri lain diluar pencak silat yang ingin
mencoba diiringi oleh tabuhan kendang pencak silat, biasanya penabuh
mempergunakan irama padungdung karena irama ini dianggapnya lebih mudah bila
dibandingkan dengan irama paleredan atau tepak dua. Apabila pesilat yang sedang
tampil di atas pentas tiba-tiba melakukan kesalahan maka iramanya tidak akan
cocok dengan gerakan yang ditampilkan, dan yang melihat akan menilai bahwa
penampilan pesilat tadi belum paham dengan irama gendang pencak yang
mengiringinya. Oleh karena itu, seorang pesilat seni sebelum tampil di atas
pentas perlu latihan lebih dahulu dengan tekun dan serius serta harus peka
terhadap gerakan – gerakan yang akan ditampilkannya di atas pentas serta
diwajibkan memperhatikan patokan-patokan irama ibing pencak silat yang
sudah ada, misalnya ibing paleredan, tepak dua, tepak tiga, padungdung, dan
lain sebagainya.
Ketiga, unsur penjiwaan gerak
(wirasa) yaitu salah satu unsur yang sangat penting dimiliki oleh seorang
pesilat karena penjiwaan gerak ini sulit dipelajari dan dipahami pesilat di
samping memerlukan waktu yang cukup lama. Penjiwaan gerak merupakan salah satu
unsur yang mempunyai nilai seni beladiri tinggi dalam aspek pencak silat seni.
Oleh karena itu, pesilat dituntut harus menguasai arti dan makna gerak pencaksilat yang
sebenarnya, serta mengerti maksud dan tujuan dari jurus-jurus dan
teknik-teknik pencak silat yang dipelajarinya.
Di samping unsur-unsur tersebut di
atas, ada faktor pendukung lainnya yang tidak bisa dipisahkan dari aspek seni
pencak silat, antara lain pakaian pencak silat, pakaian pencak silat di Jawa
Barat umumnya disebut pangsi, pangsi dipakai oleh seorang pesilat pada waktu
pentas (tampil) dalam pertandingan, latihan, ujian kenaikan tingkat, dan pada
upacara-upacara tertentu. Tokoh-tokoh pencak silat biasanya memakai pangsi
warna hitam dengan ikat kepala barangbang semplak atau peci, ikat pinggang
kulit atau kain sarung, namun sekarang pakaian pencak silat sudah
dikemas sedemikian rupa disesuaikan dengan kebutuhan, termasuk warna pakaian tidak
selalu hitam-hitam, begitupun dalam sabuk (ikat pinggang) disesuaikan dengan
tingkatan masing-masing, terutama dalam
pertandingan pencak silat seni.
Kesenian Lais
Kesenian Lais diambil dari nama
seseorang yang sangat terampil dalam memanjat pohon kelapa yang bernama Laisan,
yang sehari-hari dipanggil Pak Lais. Lais ini sudah dikenal sejak zaman
Penjajahan Belanda. Tempatnya di Kampung Nangka Pait, Kecamatan Sukawening. Atraksi yang ditontonkan mula-mula pelais memanjat bambu
lalu pindah ke tambang sambil menari-nari dan berputar di udara tanpa
menggunakan sabuk pengaman.
Kesenian
lais merupakan kesenian tradisional yang memperlihatkan ketangkasan pemainnya.
Kesenian ini mirip akrobat yang ditampilkan dalam acara sirkus. Orang yang
mengaksikan bisa dibuat berdebar-debar karena pemain lais membuat penonton
terpesona. Cara Pak Lais memanjat
kelapa sangat berbeda dengan yang dilakukan kebanyakan orang. la cukup memanjat
sekali saja untuk mengambil kelapa di beberapa pohon.
Caranya, setelah memanjat clan mengambil kelapa dari satu pohon,
ia tidak langsung turun. Tetapi ia akan mencari pohon terdekat clan menjangkau
pelepahnya untuk kemudian bergelayun pindah ke pohon lain. Demikianlah
seterusnya. la akan berpindah-pindah dari satu pohon kelapa ke pohon kelapa lainnya
dengan cara bergelayun melalui pelepahnya.
Karena keahliannya itu, la sering
dipanggil untuk diminta memetik kelepa oleh orang-orang sekampung. Caranya yang
unik dalam memetik kelapa akhirnya sering menjadi tontonan masyarakat. Jika ia
diminta memetik kelapa, orang suka berbondong-bondong menontonnya, terutama
anak-anak. Terkadang, orang yang menonton tidak hanyak bersorak sorai, tetapi
membunyikan berbagai tabuhan sambil menari-nari.
Atas inisiatif beberapa tokoh
masyarakat, ketangkasan Pa Lais kemudian dimodifikasi dalam bentuk lain dan
ditampilkan dalam berbagai acara hiburan. Sebagai pengganti pohon kelapa,
dipancangkanlah dua batang bambu setinggi ± 12 – 13 meter, dengan jarakrenggang
sekitar 6 meter. Pada ujung kedua batang bambu dipasang tali atau tambang besar
untuk Pak Lais mempertontonkan ketangkasannya. Sementara untuk menyemarakan
acara tersebut, disajikan berbagai tabuhan seperti dogdog, terompet, kendang,
dan kempul. Selain itu, ditampilkan pula seorang pelawak yang berdialog
langsung dengan pemain lais.
Kesenian
Gesrek
Gesrek
adalah sebuah kesenian yang mirip dengan kesenian debus yang sudah lama
berkembang di Kecamatan Pamilihan, terutama di Kampung Komongan, Desa Pakenjeng.
Dalam kesenian ini, ada beberapa atraksi yang bernuansa magis, misalnya
mempertontonkan orang yanvg tahan pukul, kebal senjata tajam atau tahan dengan
panasnya api.
Kesenian ini
sering juga disebut dengan bubuang pati yang artinya menaruhkan nyawa karena
memang orang yang melakukan kesenian ini memiliki keberanian yang sangat kuat
dan juga berani menaruhkan nyawanya. Namun demikian, kesenian ini sangatlah
religius. Doa-doa yang diucapkan oleh para pemain kesenian ini berasal dari
ayat-ayat suci Al-Qur’an.
Tidak jelas
asal-usul kesenian ini sehingga diberi nama gesrek. Sementara itu, “gesrek”
atau “pagesrek” dalam bahasa sunda memiliki arti yaitu dua benda keras yang
saling bergesekan. Memang, ketika atraksi-atraksi kesenian ini dimulai, para
pemain menggesek-gesekan berbagai benda keras dan tajam. Karena tubuh
para pemain gesrek yang kebal, maka benda-benda tajam dank eras tersebut tidak
melukai tubuhnya, melainkan hanya sekedar “pagesrek saja”. Dan kemungkinan
besar, nama dari kesenian ini diambil dari atraksi-atraksinya itu.
esenian ini
biasanya terdiri dari 10 orang pemain yang dibantu oleh 4-7 orang yang bertugas
untuk menyediakan peralatan, serta menjaga keamanan pertunjukan. Biasanya
kesenian ini diiringi dengan kendang penca. Sehari sebelum pertunjukan
dilakukan, ketua dari kesenian ini harus menyediakan sesajen berupa kelapa
muda, telur, rujak roti, rujak asam, rujak kelapa, pisang mas, nasi tumpeng dan
cerutu. Dan pada saat pertunjukan, peralatan harus digelar terlebih dahulu
untuk kemudian diberi mantra/doa agar Tuhan memberikan keselamatan selama
kesenian ini dilakukan.
Setelah doa
dibacakan, masuklah seorang pemain mempertunjukan jurus-jurus pencak silat.
Sesaat kemudian, pemain ini akan dirasuki arwah dan melakukan gerakan-gerakan
yang cepat dan menyeramkan. Jika sudah demikian, para pemain lainnya akan masuk
ke arena dan melakukan hal yang sama. Kemudian, ketua kesenian gesrek kembali
mengucapkan mantra-mantra agar arwah yang merasuki para pemain agar segera
keluar. Dan setelah itu, para pemain gesrek pun akan kembali sadar. Lalu
alat-alat yang sebelumnya digelar, kemudian dilemahkan. Golok yang awalnya
tajam, menjadi tumpulatau bamboo yang keras menjadi lunak. Setelah itu
tetabuhan dibunyikan diiringi dengan shalawat nabi. Dimulailah atraksi-atraksi
yang mirip pertunjukan debus, misalnya menusuk-nusuknan golok pada perut,
memukul kepala dengan bambu, atau berguling di atas bara api. Kesenian
ini sering ditampilkan dalam kegiatan Agustusan, atau sengaja diundang untuk
memeriahkan berbagai hajatan. Hingga saat ini tercatat ada beberapa grup
kesenian gesrek dan sangat berpotensi untuk dijadikan wisata budaya.
KESENIAN BANGKLUNG
Seni
Bangklung merupakan perpaduan antara Seni Terbang dengan Seni Angklung. Dari
Seni Terebang diambil kata " bang" dan dari Seni Angklung diambil
kata "klung". Nama Seni Bangklung ini di cetuskan oleh Bapak R.
Rukasa Kartaatmadja, Kasi Kebudayaan Kabupaten Garut. Para penggarap Seni
Terebang dan Seni Angklung juga masyarakat pendukungnya setuju dan menerima
dengan senang hati. Awal pertumbuhan Seni Bangklung yaitu di Kampung Babakan
Garut Desa Cisero Kecamatan Cisurupan Kabupaten Garut. Karena mayoritas
penduduknya beragama Islam maka tidak akan lepas dari pengaruh Kebudayaan
Islam. Mereka menghibur dirinya dengan melantunkan Shalawat Nabi dengan di
iringi tabuhan Terebang. Bahkan para Pemuka Agama Islam di sana menggunakan
Terebang sebagai media untuk menyebarkan Dakwah Islamnya. Pada saat itu ada dua
rombongan Seni Terebang yaitu : Seni Terebang pimpinan H. Ma'sum dam Seni
Terebang pimpinan Aki Majusik. Waditra yang di gunakan terdiri dari:
·
Terebang
ke-I disebut Kempring yang berfungsi sebagai Pengatur Tempo
·
Terebang
ke-II di sebut Tempas dan fungsinya yaitu sebagai Pengiring Kempring
·
Terebang
ke-Ill di sebut Bangsing yaitu sebagai Kempui (Goong Kecil)
·
Terebang
ke-IV di sebut Indung sebagai Goong
·
Terebang
ke-V di sebut Anak fungsinya yaitu sebagai Juru Lagu (Seperti halnya Kendang
pada perangkat Gamelan lain).
Perkembangan
Terebang ini terus di perbaharui dan di tata rapi sehingga terbentuklah Seni
Terebang lain yang di sebut Nerebang atau Nyalawat yang berasal dari kata
Shalawat Ncbi. Lagu-lagu yang di sajikan kebanyakan berbahasa Arab yang
bersumber ari Kitab Barjanjij yang berisikan Puji-pujian kepada Nabi Muhammad
SAW.
Lama
kelamaan terjadi perubahan pada Seni Terebang ini yaitu para penggarapnya
menambahkan waditra lain berupa Angklung yang terdiri dari:
·
Empat buah
Angklung Ambruk yang berfungsi sebagai pengikut Angklung Roel
·
Empat buah
Angklung Roel yang fungsinya sebagai Juru Lagu
·
Satu buah
Angklung Engklok yaitu sebagai pengisi kekosongan tabuhan dari Angklung Ambruk
dan Angkluk Roel
·
Satu buah
Tarompet sebagai Melodi
Tokoh
Angklung Badud yaitu Aki Muntasik dan Aki Mausurpi serta tokoh Terebang yaitu
H. Ma'sum dan Aki Majusik berembuk dan akhirnya sepakat bahwa antara Seni
Angklung dan Seni Terebang di satukan dan Akhirnya terbentuklah Seni Bangklung
ini.
Selain
menyajikan lagu-lagu yang bernafaskan ke Islaman, Seni Bangklung juga
menyajikan lagulagu yang berbahasa Sunda seperti Soleang,. Anjrag, Buncis dan
Tokecang. Dalam pertunjukkannya pun di sertakan tarian yang mana gerak
tariannya sangat sederhana yaitu menggambarkan perilaku masyarakat tani ketika
mengolah sawahnya di pedesaan.
Dari tarian
tersebut timbulah bentuk Seni yang lain yang di sebut Seni Yami Rudat. Selain
lagu yang syiar-syiarnya merupakan Shalawat Nabi ada juga yang berupa
sindiran-sindiran tentang situasi yang terjadi pada saat itu. Hal tersebut
merupakan daya tarik bagai para pendukungnya sehingga Seni Bangklung semakin di
gemari oleh para penonton.
Busana
yang di pakai oleh para pemain Bangklung yaitu Penabuh Terebang dan Angklung
Badud mengenakan Baju Kampret, Celana Sontog dan Totopong. Para penari pun
btrpakaian sama hanya berbeda wama, ini di maksudkan untuk membedakan pemberian
tugas yang diperankannya.
Jumlah
pemain Bangklung yaitu 20 orang yang terdiri dari:
·
5 orang
Penabuh Terebang
·
7 orang
pemain Angklung Badud
·
8 orang
sebagai Penari Yami Rudat
Dari sekian
banyak pemain Bangklung, satu orang di antara mereka menjadi pimpinan rombongan
Bangklung dan biasanya di pilih yan paling tua di antara mereka.
KESENIAN
CIGAWIRAN
Sama halnya seperti Cianjuran dari Cianjur dan Ciawian
dari Tasikmalaya, Cigawariran merupakan salah satu jenis tembang Sunda yang
berasal dari Desa Cigawir, Kecamatan Selaawi, Garut. Dibandingkan dengan
jenis-jenis tembang Sunda lainnya, Cigawiran memiliki karakteristik dan
kekhasan tersendiri dan berkembang dilingkungan yang khusus pula. Kesenian ini
tergolong Sekar Merdika.
Tembang Sunda yang satu ini berkembang di lingkungan pesantren dan dijadikan
sebagai media untuk berdakwah. Hasil penelitian menunjukan bahwa kesenian ini
diciptakan oleh Raden Haji Jalari dan telah ada sejak tahun 1713. Kesenian
ini awalnya berkembang di lingkungan keluarga pesantren. Biasanya tembang ini
dipelajari setelah mengaji. Pada periodisasi awal, syair-syairnya sangat kental
dengan syiar Islam.
Pada perkembangan yang
selanjutnya, tembang Cigawiran lebih dikenal oleh masyarakat luas diluar
pesantren karena usaha-usaha yang dilakukan oleh beberapa tokoh-tokohnya, yaitu
R. Abdullah Usman, R. Moch Isya, R. Mochamad Amien, R. Iyet Dimiyati, dan R.
Agus Gaos.Syairnya pun mengalami pelebaran tema yaitu mengandung berupa kritik
social, pepatah, pergaulan yang bersifat humoris dan tentunya dakwah
Islamiyah. Jika jenis tembang sunda yang
lainnya diiringi instrumen musik, jenis tembang sunda yang satu ini tidak
diiringi instrument musik, walaupun masih menggunakan laras pelog, salendro,
madenda, dan mataraman yang terdapat dalam karawitan Sunda. Karena lahirnya di
lingkungan pesantren, kesenian ini sangat dipengaruhioleh sosok ulama dan
cenderung kukuh pada nilai agama dan tradisi yang kuat.
KESENIAN BADENG
berada di
desa Tanjung mekar kecamatan Rajapolah Kabupaten Tasikmalaya.Menurut ceritera
seni Badeng ini berasal dari desa Sukamerah kecamatan Pagerageung. Seni Badeng
ini di pergelarkan pada waktu pesta khitanan, namun pada saat ini kadang-kadang
di pergelarkan pada acara-acara kenegaraan. Bentuk pertunjukan seni badeng ini
didukung oleh 14 orang pemain antara lain: 7 orang juru Angklung, 4 orang juru
Dog-dog, 2 orang juru Dog-dog Badeng, seorang juru Angklung Badeng. Sedangkan
Angklung yang di pergunakan sejenis dengan Angklung Buncis atau Badud sebanyak
7 buah di mainkan sebagai Angklung melodi namun lagunya tidak sama dengan lagu
pada Angklung Buncis.
Salah
seorang tokoh penggarap Angklung Badeng ini adalah bapak Ahri Sobari. Demikian
uraian singkat mengenai Seni Badeng dari desa Tanjung mekar kecamatan Rajapolah
kabupaten Tasikmalaya. Menurut penuturan bapak Ahmada Husna Penilik Kebudayaan
Kandep Dikbud Kecamatan Rajapolah, Kabupaten Tasikmalaya.
Kesenian
Badeng juga terdapat di kampung Sukabatu desa Sanding Kec. Malangbong Kab.
Garut, menurut keterangan dari salah seorang tokoh di daerah tersebut di
perkirakan sudah ada sejak abad ke 17.Istilah Badeng sendiri berasal dari kata
Pahadreng yang berarti musyawarah, akan tetapi ada juga yang mengatakan berasal
dari bahasa Arab yaitu badiun yang berarti aneh. Pencipta dan pembuat waditra
Badeng ini adalah Embah Santing, Embah Acok, Embah Arpaen dan Embah Nursaen. Setiap
kali akan mengadakan pergelaran seni badeng, maka penduduk setempat terlebih
dahulu berjiarah ke makam Embah Acok (kepala desa Sanding) sebagai tanda
penghtormatan atas jasanya dalam menciptakan seni Badeng tersebut.
Pada abad 18
seni Badeng di lanjutkan oleh Madnuki, Djaja, Suminta dan Madja. Pada abad 19
di lanjutkan oleh Sarkowi dan Naedji. Sedangkan dari tahun 1950 -1970 di
lanjutkan oleh Kohri, Saman dan Suherman. Bentuk pertunjukan dari seni badeng
ini di dukung oleh 7 orang pemain yang mempunyai fungsi sebagai berikut :
·
2 orang
penabuh Dog-dog lojor
·
1 orang
pemegang Angklung Roel
·
1 orang
pemegang Angklung Kecer
·
1 orang
pemegang Angklung Indung
·
1 orang
pemegang Angklung Kencrung
·
1 orang juru
Kawih. Pemain Dog-dog sambil menabuh kadang-kadang di barengi dengan menari.
KESENIAN HADRO
HADRO
adalah jenis kesenian perpaduan antara budaya Parahyangan dengan budaya Parsi
atau Arab. Seni ini diperkenalkan oleh Kyai Haji Sura dan Kyai Haji Achmad
Sayuti yang berasal dari Kampung Tanjung Singuru Samarang Kabupaten Garut
sekitar tahun 1917. kehadirannya tentu saja mendapat sambutan hangat dari
masyarakat Desa Bojong. Maka tidak heran apabila perkembangannya sungguh sangat
menggembirakan.
Jenis kesenian ini memiliki ciri tertentu dalam gaya dan lagunya. Gaya/laga adalah gerak geriknya yang diambil dari jurus-jurus pencak silat yang menggambarkan kepatriotan.
Lagu / liriknya diambil dari sajak pujangga Islam Syech Jafar Al Banjanji. Alat pengiringnya terdiri dari:
Jenis kesenian ini memiliki ciri tertentu dalam gaya dan lagunya. Gaya/laga adalah gerak geriknya yang diambil dari jurus-jurus pencak silat yang menggambarkan kepatriotan.
Lagu / liriknya diambil dari sajak pujangga Islam Syech Jafar Al Banjanji. Alat pengiringnya terdiri dari:
·
Rebana
·
Tilingtit
·
Kemprin
·
Kompeang
·
Bangsing
·
Tarompet dan Bajidor.
Sedangkan
para pemainnya mengenakan busana berupa baju dan celana putih yang dihiasi
dengan selendang merah melilit di dada. Seni hadro menggambarkan kepatriotan
para pejuang muslim dalam menentang kaum penjajah. Masyarakat Desa Bojong
sebenarnya boleh berbangga hati karena pada saat ini seni tersebut berada pada
kondisi yang masih mampu bertahan dengan kemandiriannya. bagaimanapun tetap hadro, satu jenis kesenian
tradisional kebanggaan masyarakat Desa Bojong Kecamatan Bungbulang Kabupaten
Garut. Kita bersyukur atas kebesaran Tuhan Pencipta, yang dengan segala kemaha
kuasaan-Nya telah menurunkan salah satu khasanah budaya di Kabupaten Garut
tercinta. Seni tradisional hadro yang
tumbuh dan berkembang di Desa Bojong senantiasa tampil dalam setiap kesempatan,
baik dalam upacara hari besar nasional atau acara-acara penting di tingkat
Desa, Kecamatan, Kabupaten, bahkan di tingkat Propinsi, disamping itu
ditampilkan pula dalam acara perkawinan, khitanan dan acara keagamaan lainnya.
0 comments:
Post a Comment